Doa Keselamatan dari Kaki Gunung Agung
Sejak meletus terakhir pada 1963, Gunung Agung kini kembali menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya. Terakhir pada Jumat (22/9) pukul 20.30 Wita, status Gunung Agung ditingkatkan hingga status tertinggi, yakni Awas. Alunan doa umat pun berkumandang memohon keselamatan.
Di awal kenaikan aktivitas vulkanik Gunung Agung, ribuan umat Hindu di Bali, Rabu (20/9), serentak melakukan sembahyang tilem. Ritual peribadatan itu biasa dilakukan di kala bulan mati sempurna.
Namun, sembahyang tilem kemarin berbeda. Doa-doa yang dirapalkan juga disatukan dengan sembahyang peneduh jagat untuk memohon keselamatan agar bencana letusan Gunung Agung pada tahun 1963 tidak terulang.
Harum dan asap dupa ditemukan di semua pura. Pun demikian yang terjadi di Pura Pengubengan, salah satu dari delapan pura terdekat dengan puncak Gunung Agung.
Sebelum ditetapkan berstatus Awas, harian Kompas saat itu masih berkesempatan berada di radius kurang dari 6 kilometer. Kompas bertemu dengan I Wayan Mangku Badra (66), pemandu jalur pendakian Gunung Agung, seusai upacara peneduh jagat dilakukan. Ia bersama tujuh rekannya baru turun dari Tirta Giri Kusuma. Lokasi tersebut berada 3 kilometer dari puncak Gunung Agung.
”Saya berangkat dari Besakih pukul 04.00 dan tiba di Tirta Giri Kusuma pukul 07.30. Saya diminta oleh ibu (Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri) untuk menghaturkan sesaji dan mengambil air suci untuk sembahyang peneduh jagat,” ujarnya kala itu.
Badra menuturkan, saat itu kondisi pendakian di lereng Gunung Agung masih normal. Ia tidak menemukan guguran lava pijar dan hujan abu seperti yang tersebar di media-media sosial. Namun, ia mencium bau belerang dan melihat ada asap kecil di pinggiran kawah.
Namun, ia mencium bau belerang dan melihat ada asap kecil di pinggiran kawah.
Kondisi itu merupakan fenomena alam yang normal. Karena hampir tiap kali mendaki ke Gunung Agung, Badra menemui hal seperti itu. Dalam seminggu, Badra bisa tiga hingga empat kali mendaki ke Gunung Agung.
Kondisi saat ini, kata Badra, berbeda dengan kondisi ketika ia mengalami letusan Gunung Agung tahun 1963. Badra yang kala itu berumur 12 tahun masih ingat betul, situasi sebelum, saat kejadian, dan sesudah letusan Gunung Agung.
Badra menuturkan, satu bulan sebelum letusan, alam sudah memberi tanda-tanda. Pohon-pohon yang berada di radius 1 kilometer dikabarkan mengering. Ia juga melihat aneka satwa, misalnya, kijang, ular, dan kera, turun dari gunung masih ke kampung-kampung.
Ia juga melihat aneka satwa, misalnya, kijang, ular, dan kera, turun dari gunung masih ke kampung-kampung.
”Waktu itu getaran terjadi terus-menerus. Sempat terjadi hujan abu selama dua hari kemudian diikuti hujan pasir. Saat terjadi letusan, rumah saya bergetar, ada asap besar keluar dari Gunung Agung diikuti lontaran batu-batu berwarna merah dan kilatan petir,” ujarnya. Setelah letusan kala itu, Badra harus mengungsi selama 1,5 bulan di Menanga yang letaknya 7 kilometer dari Besakih.
Terus waspada
Namun, ia tetap meminta warga selalu waspada karena kehendak alam bisa terjadi sewaktu-waktu. Peningkatan aktivitas Gunung Agung juga dipantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Kepala Pusat Pos Pemantauan Gunung Agung Dewa Martayasa mengatakan, gempa vulkanik yang terjadi di Gunung Agung merupakan hal biasa bagi gunung api yang masih aktif. Menjadi tidak biasa karena intensitasnya yang naik drastis.
”Apabila biasanya hanya ada satu, dua, hingga lima getaran per hari, sejak pertengahan Agustus intensitas getaran di atas 100 gempa per hari. Pada 18 September terjadi 363 gempa vulkanik, intensitasnya naik menjadi 437 gempa vulkanik pada 19 September, dan pada 20 September ada 700 lebih getaran,” ujar Dewa.
Karena tingginya intensitas aktivitas Gunung Agung tersebut, kini PVMBG merekomendasikan evakuasi warga yang berada di radius 9 kilometer dari puncak Gunung Agung. Hal itu dilakukan untuk memudahkan evakuasi dan mencegah banyaknya korban jiwa. Gunung Agung bisa meletus sewaktu-waktu.
Itu berarti, warga di sejumlah desa di radius 9 kilometer harus dievakuasi. ”Kita tidak tahu kapan gunung akan meletus. Kita hanya bisa berupaya mencegah jatuhnya korban lebih banyak karena lambannya proses mitigasi. Evakuasi perlu dilakukan saat ini tanpa harus menunggu terjadi letusan. Saat terjadi letusan, tingkat kepanikan warga tinggi, jalur-jalur evakuasi akan padat. Kendaraan akan saling beradu cepat membawa penumpang menyelamatkan diri. Jangan sampai justru terjadi kecelakaan saat proses evakuasi,” katanya.
Dewa berharap warga menaati rekomendasi yang telah dikeluarkan dan mulai mengungsi ke tempat yang aman sampai kondisi Gunung Agung dinyatakan normal kembali.
Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri ketika ditemui di Pura Pengubengan mengatakan, pihaknya telah menyediakan 40 titik posko pengungsian yang bisa digunakan warga. Ia juga mengimbau warga agar terus waspada tanpa perlu panik yang berlebihan.
”Warga yang berpotensi terdampak letusan Gunung Agung ada di lima kecamatan, yaitu Kubu, Abang, Bebandaem, Selat, dan Karangasem. Jumlahnya sekitar 60.000 jiwa. Kami juga sudah menyusun skenario evakuasi yang memprioritaskan kelompok rentan, difabilitas, lansia, anak-anak, dan wanita,” ujar I Gusti Ayu Mas Sumantri.
Nantinya, salah satu lokasi pengungsian yang diproyeksikan menjadi yang terbesar akan ditempatkan di sekitar dermaga cruise Tanah Ampo. ”Kami berharap 10.000 orang bisa ditampung di sana,” ujarnya.
Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, tercatat 1.148 orang meninggal dunia dan 140.000 orang dievakuasi. Kini, dengan upaya mitigasi yang lebih baik, semoga kerugian dan korban jiwa saat Gunung Agung benar-benar meletus dapat diminimalkan.
Kini, dengan upaya mitigasi yang lebih baik, semoga kerugian dan korban jiwa saat Gunung Agung benar-benar meletus dapat diminimalkan.
Hari ini, Pura Pengubengan, Pura Besakih, dan pura lainnya di dekat puncak Gunung Agung sudah sepi ditinggal warganya yang mengungsi. Namun, alunan doa masih terdengar di tenda-tenda pengungsian. Doa mereka semua sama, yakni meminta keselamatan bersama.