Suhu di Pontianak Bisa Mencapai 36 Derajat Celsius
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·2 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Equinox atau fenomena astronomi ketika Matahari melintasi khatulistiwa akan terjadi pada Sabtu (23/9). Sebagai wilayah yang dilintasi garis khatulistiwa, suhu di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, yang normalnya 33-34 derajat celsius diperkirakan akan berkisar 35-36 derajat celsius. Meskipun perubahan suhu tidak ekstrem, masyarakat hendaknya tetap mewaspadainya.
”Sebetulnya, fenomena ini tidak ada dampak yang mengkhawatirkan. Apalagi, masyarakat di Pontianak terbiasa dengan suhu panas. Hanya saja, memang ada peningkatan suhu sehingga respons tubuh setiap orang berbeda-beda dengan adanya fenomena itu,” tutur Debi, prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bandara Supadio Pontianak, Jumat (22/9).
Fenomena Matahari melintasi khatulistiwa ini, lanjut Debi, terjadi dua kali setahun, yakni 21 Maret dan 23 September. Untuk yang terjadi Sabtu (23/9) hanya berlangsung sehari. Minggu (24/9), secara perlahan suhu akan kembali normal pada kisaran 33-34 derajat celsius.
Debi mengimbau masyarakat tidak khawatir karena meskipun ada peningkatan suhu, tidak secara ekstrem. Hanya saja, diharapkan masyarakat tetap menjaga kesehatan tubuh. Daya tahan setiap orang berbeda. Respons tubuh terhadap perubahan suhu berbeda-beda bagi setiap orang.
Berdasarkan catatan Kompas, equinox adalah kondisi saat Matahari dalam gerak semunya menyeberangi bidang ekuator langit, yang juga dikenal sebagai garis lintang nol derajat atau khatulistiwa. Fenomena tersebut terjadi dua kali setahun, setiap 21 Maret (Matahari bergerak ke utara) dan 23 September (Matahari bergerak ke selatan).
Gerak semu terjadi karena sumbu rotasi Bumi miring 23,5 derajat terhadap bidang orbitnya. Equinox, dari bahasa Latin, berarti malam yang setara. Saat terjadi equinox, durasi malam dan siang hampir setara, yakni 12 jam, meski nyatanya tak persis sama. Jika dilihat dari pengalaman tahun lalu saat terjadi fenomena ini, meski suhu di Pontianak naik, tidak sampai mengganggu aktivitas masyarakat.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Hendrikus Adam, mengatakan, equinox sebetulnya merupakan fenomena biasa. Namun, seiring dengan rusaknya hutan dan lingkungan di Kalbar secara umum, panas akan cukup terasa. Bahkan, jika tidak ada upaya ekstra untuk menjaga hutan dan sisa hutan yang ada, lama-kelamaan saat terjadi equinox—yang semula tidak terlalu berdampak signifikan bagi masyarakat—pada waktu yang akan datang tidak menutup kemungkinan panasnya akan sangat terasa.