LAMONGAN, KOMPAS — Pengguna media sosial atau penyebar informasi harus berhati-hati. Di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, seorang pendidik, Mdm, di Kecamatan Brondong, berdalih hanya menyalin, menempel, dan membagikan informasi yang masuk lewat Whatsapp. Namun, ia harus mendatangi kantor Dewan Pengurus Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Lamongan, Kamis (21/9), untuk meminta maaf.
Jika tidak meminta maaf secara terbuka, Mdm terancam akan dilaporkan ke kepolisian. Informasi yang disebarkan antara lain tertulis... ”PDIP harus intropeksi diri bukan melulu laporkan kiai karena curigai PDIP sarang PKI...”. Posting itu pun dianggap menyebarkan ujaran kebencian.
Saya khilaf, tidak membaca secara jernih langsung share begitu saja menyebarkan informasi di grup.
Saat meminta maaf, Mdm mengaku khilaf karena membagikan tulisan yang mengaitkan PDI-P sebagai sarang komunis. Postingan itu ia sebarkan melalui grup WA, yakni Buletin Wahas 1 Glagah, pada 19 September lalu.
”Saya khilaf, tidak membaca secara jernih langsung share begitu saja di grup. Makanya saya datang ke kantor PDI-P Lamongan untuk meminta maaf. Saya tak akan mengulangi lagi kedua kalinya,” katanya.
Awalnya, ia mendapatkan tulisan itu dari grup SMA di Tuban. ”Copasan dari grup lain itu tidak saya baca tuntas. Saya tidak berpikir lagi dan langsung saya bagikan,” kata Mdm.
Sekretaris DPC PDI-P Lamongan Sa’im mengatakan, pihaknya memaafkan karena alasan kemanusiaan. Apalagi, istri Mdm, WH, terkena kanker payudara stadium empat. Ia harus fokus pada operasi istrinya.”Ia sudah dua kali datang ke kantor DPC PDI-P Lamongan dan kini permintaan maaf itu juga dilakukan terbuka melalui teman-teman media,” katanya.
Mdm telah meminta maaf kepada kader dan simpatisan PDI-P Lamongan dan seluruh Indonesia. Ia juga akan membuat tulisan meminta maaf di grup WA Buletin Wahas. ”Kami tidak akan membawa persoalan ini ke ranah hukum terkait ujaran kebencian. Kalau nanti ia melakukan hal yang sama, secara tegas kami akan membawa ke ranah hukum. Kami hanya menegaskan PDI-P bukan partai sarangnya komunis. PDI-P berideologi Pancasila,” ujar Sa’im.
Sebelumnya, di Gresik, Andhy Mardi Utama (41) telah divonis bersalah pada Selasa (12/9). Ia diganjar hukuman kurangan 1 bulan dan denda Rp 5 juta dan membayar biaya perkara Rp 2.000. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa Pompy Polansky yang menuntut terdakwa dengan 3 bulan kurungan dan denda Rp 10 juta.
Andhy dilaporkan ke poisi karena menyebarkan meme: bernuansa pelecehan terhadap Bupati Gresik Sambari Halim Radianto, dan pengusaha asli Gresik Saiful Arif. Dalam foto aslinya, kedua orang itu sedang menghadiri pengajian.
Andhy bukan pembuat meme itu, ia hanya menyebarkannya melalui grup WA Partai Golkar. Foto itu juga dimunculkan di akun Facebook Deviana Pramudya atau Tribuana Pramudya Tungga Devi walau sejak kasus itu mencuat akun tersebut tidak aktif.
Dalam meme tersebut, kedua tokoh itu diberi tanduk di bagian kepala.
Jaksa Penuntut Umum Pompy Polansky menyatakan banding atas putusan hakim. Terdakwa melalui kuasa hukumnya, Nashihan, juga banding ke pengadilan tinggi. Nashihan menyatakan, pihaknya menghormati putusan hakim, tetapi ia menilai fakta persidangan menunjukkan kejanggalan. ”JPU tidak bisa menghadirkan saksi pemilik akun Facebook, tetapi hanya saksi gambar. Kami banding,” kata Nashihan.