Dipercepat, Pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Oleh
Nikson Sinaga
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat dipercepat. Apalagi, peraturan itu dinilai sebagai jalan keluar atas konflik agraria yang dihadapi masyarakat adat. Regulasi di tingkat provinsi juga diandalkan sebagai solusi atas mandeknya pengesahan peraturan daerah di tingkat kabupaten dan kota.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD Sumatera Utara Mustofawiyah Sitompul, Senin (18/9), mengatakan, pada prinsipnya mereka menyetujui peraturan daerah itu. ”Kami sudah berkonsultasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Dalam Negeri. Mereka juga mendorong agar aturan ini segera disahkan,” katanya saat rapat dengar pendapat dengan Koalisi Percepatan Pengesahan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
Perda Masyarakat Adat itu diajukan ke Komisi A DPRD Sumut pada Agustus 2016. Perda itu diinisiasi koalisi yang terdiri antara lain dari Hutan Rakyat Institute, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Saat ini, perda sudah berada di BPPD DPRD Sumut.
Sitompul mengatakan, pengesahan Perda Masyarakat Adat itu menghadapi sejumlah kendala, antara lain soal legalitas naskah akademik dan keterwakilan kelompok masyarakat adat yang ada di Sumut. Naskah akademik harus diajukan lembaga akademik perguruan tinggi. Sementara naskah akademik yang mereka terima merupakan usulan dari koalisi masyarakat adat.
Sitompul mengatakan, DPRD akan memfasilitasi penerbitan naskah akademik dari Universitas Sumatera Utara (USU). ”Biar masalah ini kami yang tangani. DPRD punya anggaran untuk menerbitkan naskah akedemik dari perguruan tinggi,” katanya.
Rancangan peraturan daerah yang ada saat ini, kata Sitompul, masih hanya mewakili sebagian masyarakat adat di Sumatera Utara, terutama di kawasan Toba. Rancangan perda itu belum mencakup kepentingan seluruh masyarakat adat di Sumatera Utara di sepanjang pantai timur, daerah pegunungan, pantai barat Sumut, dan Kepulauan Nias. ”Perda ini harus disempurnakan agar mencakup seluruh kepentingan masyarakat adat di Sumatera Utara,” katanya.
Direktur Hutan Rakyat Institute Wina Khairina menyatakan, naskah akademik dan konsep rancangan peraturan daerah itu disusun oleh lembaga koalisi bekerja sama dengan beberapa pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. Namun, keikutsertaan beberapa pengajar dari FISIP USU belum secara resmi mewakili lembaga mereka.
Wina mengatakan, Rancangan Perda Masyarakat Adat yang mereka ajukan memang belum mencakup seluruh masyarakat adat secara spesifik dari semua komunitas adat di Sumatera Utara, hanya secara umum. Mereka akan menyempurnakan naskah itu agar lebih baik.
Ketua Aman Sumatera Utara Harun Nuh mengatakan, pihaknya berharap pengesahan Perda Masyarakat Adat jangan lagi berlama-lama. Perda itu merupakan turunan dari sejumlah aturan di tingkat nasional yang selama ini sulit diterapkan karena tidak ada aturan turunannya.
Direktur Walhi Sumut Dana Tarigan mengatakan, masyarakat adat selama ini terpinggirkan. Hutan di sekitar desa mereka lebih banyak dikelola oleh perusahaan-perusahaan yang diberi hak kelola oleh pemerintah. Sementara mereka hanya jadi penonton. ”Sudah saatnya masyarakat adat diberi kesempatan memperbaiki kesejahteraan mereka,” ujarnya.