MALANG, KOMPAS — Pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sedang mengevaluasi kesesuaian fungsi cagar alam Pulau Sempu di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Evaluasi dilakukan untuk memotret kondisi terkini cagar alam Pulau Sempu juga untuk merekomendasikan langkah lanjutan terkait aktivitas lain di luar fungsi cagar alam.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada Juli 2017 membentuk tim teknis evaluasi kesesuaian fungsi cagar alam Pulau Sempu. Tim itu terdiri dari pemerintah, ahli, akademisi, dan masyarakat. Saat ini, tim sudah mengumpulkan bahan dan sedang membuat analisis. Dari analisis tersebut akan diberikan rekomendasi bagi Menteri LHK terkait pengelolaan Pulau Sempu.
Jika terjadi kerusakan ringan di Pulau Sempu, rekomendasinya adalah fungsi cagar alam dipertahankan dengan melakukan rehabilitasi kawasan. Namun, jika kondisi sudah rusak parah, rekomendasi bisa berupa perubahan fungsi pengelolaan, baik perubahan sebagian maupun menyeluruh.
Sebagai cagar alam, Pulau Sempu harusnya hanya menjadi laboratorium alam dan rujukan penelitian dan pendidikan terkait alam. Pulau Sempu bahkan ditunjuk sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 46 Stbld No.69 tanggal 15 Maret 1928. Luas lahan cagar alam Pulau Sempu adalah 877 hektar.
”Namun, kenyataannya, kami menemukan ada wisatawan berwisata di sana. Wisata di dalam kawasan cagar alam itu dilarang,” kata Ketua tim teknis evaluasi kesesuaian fungsi cagar alam Pulau Sempu, Siti Chadijah Kaniawati, Rabu (13/9), dalam Sosialisasi Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu di Malang.
Akibat adanya aktivitas wisata yang dilakukan oleh warga desa setempat, Siti Chadijah mengatakan, terjadi kerusakan (pemadatan tanah dan kerusakan tumbuhan) di jalur antara Teluk Semut dan Segara Anakan. Ada pula indikasi perubahan perilaku satwa primata di sana (menjadi agresif dan suka merebut barang) serta adanya persoalan sampah.
Menurut Siti Chadijah, yang juga merupakan Kepala Sub-Direktorat Pemolaan Kawasan Konservasi Kementerian LHK, tim juga menemukan adanya kelembagaan informal pengelolaan wisata pada masyarakat sekitar Pulau Sempu, baik paguyuban nelayan penyedia perahu penyeberangan maupun pemandu wisata.
Aktivitas masyarakat
”Yang kami lakukan utamanya adalah memotret kondisi terkini cagar ala Pulau Sempu. Meski begitu, kami tidak akan menutup mata akan aktivitas di dalamnya yang telah dilakukan oleh masyarakat sekitar. Saat ini, kami sedang melakukan analisis dan akan segera mengeluarkan rekomendasi,” kata Siti Chadijah.
Selama ini manajemen pengelolaan kawasan hutan ada lima, yaitu cagar alam (hanya untuk penelitian dan pendidikan), suaka margasatwa (tujuannya untuk perlindungan satwa), taman nasional (tujuannya adalah perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan), taman wisata alam (tujuannya untuk kepentingan rekreasi) serta taman hutan raya (tujuannya sebagai kebun koleksi kota/kabupaten/provinsi). Dari lima kawasan tersebut, hanya fungsi cagar alam yang tidak boleh menerima kunjungan wisatawan komersial.
”Kondisi di Pulau Sempu di mana saat ini sudah dimanfaatkan untuk kepentingan wisata akan menjadi bagian pertimbangan tim dalam membuat rekomendasi. Kami tidak akan menutup mata hanya mementingkan konservasi tanpa melihat ada hal lain yang kini terjadi di sana. Sebab, konservasi pun tak akan berjalan tanpa dukungan banyak pihak,” katanya.
Selama ini, di Indonesia, hanya ada satu cagar alam yang berubah fungsi menjadi taman wisata alam, yaitu Cagar Alam Guci di Tegal, Jawa Tengah. Fungsi cagar alam itu, menurut Siti Chadijah, tidak bisa dipertahankan karena kerusakan sudah parah dan telanjur banyak aktivitas wisata di dalamnya.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur Ayu Dewi Utari mengatakan, hingga saat ini, status Pulau Sempu masih cagar alam. Ayu mengatakan, itu untuk meyakinkan kegalauan sejumlah pihak pemerhati lingkungan yang khawatir Pulau Sempu akan berubah menjadi taman wisata alam akibat desakan kepentingan bisnis.
Hingga saat ini, status Pulau Sempu masih cagar alam.
Ketua Badan Permusyawaratan Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang (desa terdekat dengan Pulau Sempu), Sayogyo mengatakan, masyarakat berharap tetap bisa beraktivitas mengelola wisata di Pulau Sempu.
”Dahulu tahun 1980-1990-an, masyarakat belum tahu bahwa Pulau Sempu bisa memberi manfaat wisata. Akhirnya, masyarakat hanya mengambil hasil hutannya berupa kayu. Lahan hutan di sana akhirnya rusak. Namun, setelah tahu bahwa Pulau Sempu bisa memberikan manfaat wisata, masyarakat otomatis menjaga dan mencegah kerusakan hutan di sana. Saya khawatir, kalau nanti masyarakat dilarang memanfaatkan Pulau Sempu untuk menambah penghasilan, mereka kembali akan menjarah hutan,” katanya.