PALU, KOMPAS — Pola perhutanan sosial di sejumlah kesatuan pengelolaan hutan produksi Provinsi Sulawesi Tengah mulai memberdayakan masyarakat sekitar. Banyak produk dari hasil hutan bukan kayu dipasarkan. Ke depan, produk yang dihasilkan perlu distandardisasi agar kompetitif di pasar.
Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah Nahardi menyampaikan, hingga pertengahan 2017 sudah ada 37.000 hektar dari alokasi 100.000 hektar hingga 2019 perhutanan sosial yang tersebar di 13 kesatuan pengelolaan hutan (KPH) produksi. ”Banyak potensi hutan bukan kayu perlu dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan,” ujarnya pada forum multipihak yang membahas percepatan pengembangan ekonomi berbasis masyarakat di wilayah KPH se-Sulawesi Tengah di Palu, Sulteng, Senin (4/9).
Dari perhutanan sosial yang terbentuk, masyarakat bersama dengan pengelola KPH memproduksi berbagai jenis hasil hutan bukan kayu. Di KPH Pogogel, Kabupaten Buol, misalnya, warga pengelola hutan sosial menghasilkan gula aren. Gula aren dijual dalam kemasan plastik berstandar. Produk itu telah dipasarkan hingga ke Palu. Di KPH Sintuwu Maroso, Poso, warga menyadap getah pinus di dalam kawasan KPH.
Nahardi menyatakan setiap KPH memiliki potensi hasil hutan non kayu yang layak dikembangkan warga sekitar. Sebelum dilegalisasi dalam skema perhutanan sosial, warga tidak mempunyai akses untuk mengambil hasil hutan non kayu tersebut.
”Dengan melihat contoh yang sudah ada, kami yakin perhutanan sosial menjadi solusi untuk menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Karena itu, kami meminta agar pemerintah pusat segera mempercepat menyetujui sisa usulan perhutanan sosial yang telah kami ajukan,” kata Nahardi.
Sisa perhutanan sosial yang dimaksud seluas 63.000 hektar dari total alokasi 100.000 hektar untuk Sulteng. Perhutanan sosial merupakan program Presiden Joko Widodo dengan alokasi 8 juta hektar atau 12,7 hektar dengan program reforma agraria. Dengan kebijakan ini, masyarakat berhak mengelola hutan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dengan tetap memperhatikan aspek konservasi.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rufi’ie menyampaikan, agar produk warga sekitar hutan kompetitif, diperlukan kerja sama dengan berbagai pihak. Pemerintah bisa menggaet pelaku industri dan konsumen sehingga produk yang dihasilkan terserap pasar. Karena itu, cara dan pengelolaannya harus berstandar.
Pada forum tersebut, hadir juga pelaku usaha di bidang hasil hutan bukan kayu yang selama ini mengolah produk untuk diekspor. Ada pelaku usaha yang menghasilkan lilin dengan bahan baku sarang/rumah lebah, hadir pula pelaku usaha di bidang minyak wangi yang ingin menjalin kerja sama dengan warga sekitar hutan yang menanam nilam. Sarang lebah yang berkualitas baik, misalnya, dihargai Rp 90.000 per kilogram.