Konflik Cantrang yang Belum Berujung
Konflik menyangkut cantrang sesungguhnya telah diberitakan sejak lama. Harian Kompas, Sabtu (27/4/1996) di halaman 9 menulis soal ”Nelayan Tradisional Rembang Menjerit Karena Cantrang”.
Diberitakan soal bentrokan yang terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan pengguna jaring cantrang (lampara dasar) di daerah itu. Wartawan Kompas, ketika itu, berjalan menyusuri perkampungan nelayan di daerah Kecamatan Rembang Kota hingga Kecamatan Sarang di perbatasan Jateng-Jatim.
Menurut sejumlah nelayan tradisional yang ditemui Kompas, kehadiran jaring cantrang tidak hanya mengancam sumber kehidupan mereka. Namun, sumber hayati laut yang ada di lepas pantai hingga jalur II dipastikan bakal terkuras habis.
”Jaring tersebut, mampu menyapu apa saja yang ada di dalam laut. Ikan kecil-kecil, udang, kepiting, semua disikat habis. Lha, jika sudah begitu, kami nelayan tradisional ini mau makan apa?” ujar para nelayan tradisional.
baca: berita utama harian Kompas di halaman 1 tentang keresahan nelayan.
Pelarangan penggunaan cantrang juga tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebelumnya, pada tahun 2009, Departemen Kelautan dan Perikanan memutuskan tetap membatasi penangkapan ikan demersal menggunakan alat tangkap cantrang.
Keputusan itu diambil pemerintah untuk mencegah penurunan stok kelimpahan ikan demersal, terutama di perairan Laut Jawa. Ikan demersal adalah jenis ikan yang sebagian besar siklus kehidupannya di dekat dasar perairan.
Keputusan itu diambil pemerintah untuk mencegah penurunan stok kelimpahan ikan demersal.
Ratusan nelayan pesisir utara Jawa Tengah di Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang, sempat meminta pemerintah mengizinkan menangkap ikan menggunakan cantrang. Apalagi, setelah penghasilan nelayan turun setelah pemerintah melarang penggunaan cantrang.
Namun ketika itu, dispensasi hanya diberikan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Tangkap DKP kepada 400 kapal nelayan di Jateng yang berbobot di bawah 30 gros ton (GT). ”Kapal berbobot di atas 30 GT tetap tidak diperbolehkan menangkap dengan cantrang,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Tangkap DKP Ali Supardan, Jumat (24/4).
Penurunan produksi ikan
Pro kontra penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dari arsip berita harian Kompas terjadi dari waktu ke waktu. Namun faktanya, rusaknya terumbu karang telah mengurangi persediaan ikan. Di laut Jawa misalnya, nelayan terpaksa meluaskan jangkauan melaut hingga ke perairan pulau lain.
Menurut Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan pada Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal, Jawa Tengah, Endang Heryanti, Kamis (15/4/2010), berkurangnya sumber daya ikan di Laut Jawa terjadi akibat penggunaan alat tangkap kurang ramah lingkungan, antara lain arad dan cantrang.
Jaring arad memiliki mata jaring yang kecil sehingga mampu menangkap ikan dari berbagai ukuran. Jaring cantrang juga mampu menjaring ikan dari berbagai ukuran karena, setelah ditebar, jaring ikan diseret dengan mesin.
Endang menyebutkan, penurunan produksi ikan mulai terjadi sejak 2005. Berkurangnya populasi ikan di Laut Jawa dikonfirmasi oleh uji coba yang dilakukan Balai Pengembangan dan Penangkapan Ikan Jateng bersama Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tegal tahun 2007. Saat itu, dari satu tebaran jaring selama sekitar 30 menit, hanya diperoleh 12,5 kilogram ikan dari berbagai jenis.
Mencari solusi
Pelarangan pengunaan alat tangkap tertentu, sekali lagi, dilakukan jauh sebelum pemerintahan terkini. Dan, jelas jauh sebelum penurunan produksi ikan di Laut Jawa sejak tahun 2005.
Larangan penggunaan cantrang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.
Sebelumnya, di era Orde Baru telah terbit Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl (Pukat Harimau) di perairan Jawa, Sumatera, dan Bali.
Kemudian, pada tahun 2010, terbit Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06/MEN/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia yang melarang penggunaan alat tangkap yang merusak sumber daya.
Pertanyaannya, bila alat tangkap yang biasa dipakai nelayan kemudian dilarang. Lantas, alat tangkap seperti apa yang harus digunakan? Ketika kehidupan nelayan pun seolah pasang surut seperti halnya gelombang, apakah mungkin dalam waktu singkat terjadi penggantian alat tangkap?
Dalam artikelnya di harian Kompas edisi Jumat (20/3/2015), yang berjudul ”Menanti Jalan Tengah”, wartawan Kompas, BM Lukita Grahadyarini sesungguhnya telah menyerukan solusi terhadap pro kontra larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Pemerintah di satu sisi, sebaiknya mempercepat pembagian alat tangkap alternatif yang ramah lingkungan. Pelarangan hanya dalam hitungan bulan. Lagi pula, nelayan harus tetap menangkap ikan demi penghidupan mereka.
Di sisi lain, ada nelayan, yang biasa disebut nelayan cantrang, yang berdaya untuk beralih alat tangkap sendiri. Persoalannya, mereka berharap ada dukungan pemerintah memfasilitasi pembiayaan agar mereka bisa mengganti alat tangkap.
Persoalan demi persoalan ini, idealnya dapat segera diatasi sehingga nelayan tidak lagi dilanda keresahan.