SIDOARJO, KOMPAS — Empat titik tanggul di kolam penampungan lumpur Sidoarjo, Jawa Timur, ambles karena terjadi penurunan tanah sebagai dampak munculnya semburan. Amblesnya tanggul itu mengakibatkan penampungan tidak maksimal dan berpotensi meluber ke permukiman warga. Mengantisipasi terjadinya bencana, pusat pengendalian lumpur Sidoarjo langsung melakukan perbaikan.
Empat titik tanggul yang ambles itu meliputi titik 67, 81, 83, dan titik 42. Panjangnya mencapai 8 kilometer dengan ketinggian tanggul saat ini di kisaran 10-11 meter atau turun dari sebelumnya 12 meter. Penurunan permukaan tanggul itu mengakibatkan elevasi atau jarak antara permukaan lumpur dan ketinggian tanggul berkurang tinggal 90-100 sentimeter.
Hengky Listria Adi dari Humas Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo (PPLS) mengatakan, berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukannya, rata-rata penurunan tanah mencapai 3-5 cm per bulan. Penurunan itu terjadi karena dampak munculnya semburan lumpur di Desa Banjarpanji, Kecamatan Porong, Sidoarjo, pada 2006.
“PPLS saat ini sedang memperbaiki tanggul yang ambles. Perbaikan itu untuk memperkuat dan menambah ketinggian agar perannya untuk menahan semburan lumpur bisa maksimal. Sebab, pada musim kemarau kolam penampungan menjadi andalan untuk penanggulangan semburan lumpur,” ujar Hengky, Kamis (20/7).
Pada musim hujan, lumpur dialirkan langsung ke Sungai Porong. Lumpur yang keluar dari pusat semburan mudah dialirkan ke sungai karena ketersediaan air yang melimpah untuh menggelontor. Namun, pada musim kemarau, PPLS kesulitan mengalirkan lumpur ke sungai karena ketersediaan air sangat terbatas. Pada musim kemarau lumpur cair yang keluar dari pusat semburan cepat mengental dan akhirnya menjadi padat.
Henky menambahkan, selain memperkuat tanggul, pihaknya juga mengeruk kolam penampungan untuk memaksimalkan daya tampungnya. Penambahan atau perluasan kolam penampungan sulit dilakukan sebab ketiadaan lahan. Selain itu, diperlukan biaya besar untuk membuat sebuah kolam penampungan dengan tanggul setinggi 12 meter.
Lumpur di Sidoarjo menyembur pada 29 Mei 2006 dari perut bumi di Kecamatan Porong. Lokasi semburan itu dekat dengan sumur pengeboran Lapindo Brantas Inc di Desa Banjarpanji. Awalnya, semburan lumpur itu menghasilkan 100.000-150.000 meter kubik lumpur panas per hari. Saat ini rata-rata volume lumpur tinggal 30.000-50.000 meter kubik atau setara dengan 6.250 truk bergardan tunggal dengan asumsi setiap truk berkapasitas 8 meter kubik.
Lumpur panas itu meluber ke permukiman warga, pabrik, dan sejumlah infrastruktur, seperti Jalan Tol Sidoarjo-Gempol. Sebanyak 19 desa terkena luberan lumpur dan lebih dari 20.000 jiwa menjadi korban. Mereka tercerabut dari akar budayanya karena rumah dan tempat tinggal terkubur lumpur.
Lebih dari 30 perusahaan tenggelam dan 10.000 karyawannya kehilangan pekerjaan. Lumpur juga menenggelamkan ribuan hektar sawah dan tambak milik masyarakat. Selain itu, terkubur pula fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti sekolah, tempat ibadah, jalan desa, dan panti asuhan.
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengatakan, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berharap semburan lumpur segera berhenti. Alasannya, sejak muncul semburan lumpur, pembangunan di kawasan selatan Sidoarjo, mulai Kecamatan Tanggulangin, Porong, hingga Jabon, terkendala. Industri tas dan koper Tanggulangin juga terdampak hingga omzetnya merosot tajam.