YOGYAKARTA, KOMPAS — Draf Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang disusun Badan Legislasi DPR terus mendapat penolakan. Minggu (9/7), sebanyak 65 lembaga dari beberapa daerah yang tergabung dalam Koalisi Pecinta Penyiaran Sehat Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap untuk menolak draf yang dinilai tidak mencerminkan semangat demokratisasi penyiaran itu.
Lembaga yang menyatakan penolakan sangat beragam, seperti Jaringan Radio Komunitas Indonesia, Yayasan Satunama, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Perkumpulan Masyarakat Peduli Media, dan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab).
Penolakan juga disuarakan oleh para pengelola program studi atau departemen ilmu komunikasi di beberapa universitas, misalnya Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Airlangga, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Stikom Muhammadiyah Jayapura, dan lainnya.
”Dalam pemahaman kami, draf RUU Penyiaran versi Badan Legislasi (Baleg) bisa dibilang sebagai hasil perselingkuhan antara sistem otoritarianisme dan neoliberalisme,” kata anggota Koalisi Pecinta Penyiaran Sehat Indonesia, Puji Rianto, dalam konferensi pers, Minggu, di Yogyakarta.
Puji menyatakan, draf RUU Penyiaran versi Baleg sangat tidak mendukung semangat demokratisasi penyiaran. Salah satu indikatornya, draf itu tidak berupaya memperkuat dan bahkan tampak memperlemah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator independen. Di sisi lain, draf itu justru memperkuat peran pemerintah sebagai regulator dan bahkan melahirkan satu regulator baru bernama Organisasi Lembaga Penyiaran.
Draf itu menyebut, susunan Organisasi Lembaga Penyiaran ditentukan oleh lembaga-lembaga penyiaran yang ada. ”Jadi, lembaga penyiaran yang seharusnya menjadi pihak yang diatur justru menjadi pengatur,” kata Puji.
Dia menambahkan, draf tersebut juga tidak mendukung keberagaman isi siaran (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan industri penyiaran (diversity of ownership). Selain tidak mengatur secara jelas pemberlakuan Sistem Siaran Jaringan, draf itu juga membolehkan siaran muatan lokal diisi dengan siaran yang bersifat lintas budaya. Di sisi lain, draf tersebut tidak merumuskan dengan jelas soal pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran.
Valentina Sri Wijiyati dari Yayasan Satunama mengatakan, draf RUU Penyiaran yang disusun Baleg DPR juga menghapuskan larangan menayangkan iklan rokok di televisi. Padahal, larangan tersebut sebenarnya sudah tercantum dalam draf RUU Penyiaran yang disusun Komisi I DPR sebelumnya.
Penghapusan larangan iklan rokok, kata Valentina, bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya serta tak sejalan dengan mandat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). ”Apalagi, berdasarkan data WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) tahun 2013, sudah ada 144 negara yang melarang iklan rokok di dunia penyiaran,” ungkapnya.
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Muzayin Nazaruddin, berharap Baleg DPR mau mendengarkan penolakan yang disuarakan berbagai elemen masyarakat. ”Kami meminta betul teman-teman di Baleg DPR untuk membuka mata bahwa draf yang kalian bikin sudah dikritisi oleh sekian banyak lembaga. Kami juga akan terus mengawal pembahasan RUU Penyiaran ini,” katanya.