Empat Masalah Sebabkan Kebijakan Otonomi Khusus di Papua Belum Optimal
Oleh
Fabio Maria Lopes Costa
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Papua mengidentifikasi empat masalah yang menyebabkan pelaksanaan kebijakan otonomi khusus di Papua sejak 2001 belum berjalan optimal.
Empat masalah itu antara lain persoalan kepemilikan tanah, pengolahan sumber daya alam (SDA) belum optimal, serta konektivitas dan infrastruktur yang belum memadai.
Hal ini disampaikan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Papua Laduani Ladamay di sela kegiatan Workshop Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Kelitbangan Provinsi Papua di Jayapura, Jumat (21/4/2017), di Jayapura.
Turut hadir Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyadmadji, Prof Hariadi Kartodihardjo dari Institut Pertanian Bogor, dan Asisten II Setda Pemprov Papua Elia Loupatty.
Laduani mengatakan, Papua memiliki potensi SDA yang besar, tetapi belum dikelola dengan optimal menjadi pendapatan bagi masyarakat setempat. Hal ini dipicu empat masalah mendasar tersebut.
”Masalah pertanahan yang terjadi di Papua menghambat proses pembangunan sehingga harus dituntaskan. Hal itu dapat memberikan kesejahteraan yang pasti bagi masyarakat. Selain itu, telah ada pengolahan SDA, tetapi belum memiliki nilai tambah produk yang tinggi,” kata Laduani.
Terkait konektivitas, hasil produksi komoditas di Papua masih terkendala proses distribusi dan pemasaran. Dari sisi infrastruktur, potensi pengolahan SDA terhambat minimnya pasokan tenaga listrik.
”Kami menemukan bahwa masyarakat yang terlibat pengolahan SDA masih menggunakan pola-pola konvensional,” kata Laduani.
Ia menyatakan, diperlukan data riset yang kompeten dari Litbang Papua dan berbagai instansi terkait untuk empat permasalahan tersebut.
”Kami telah menggandeng Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia agar menyiapkan data, seperti identitas orang asli Papua dan kebijakan-kebijakan ekonomi. Tujuannya, agar kebijakan otsus bagi masyarakat dapat tepat sasaran,” ujarnya.
Hariadi berpendapat, Badan Litbang Papua berperan mnyediakan data pada tiga bidang, yakni SDA dan lingkungan, pemerintahan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil riset dari ketiga bidang tersebut saling terkait dan harus memiliki manfaat yang konkret serta berguna langsung bagi masyarakat setempat.
”Biasanya riset iptek untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi yang langsung terserap oleh masyarakat yang sering terlupakan. Misalnya, pembangunan jalan layang yang belum tentu bermanfaat bagi masyarakat,” kata Hariadi.
Ia menambahkan, sudah banyak hasil riset ataupun kegiatan pendampingan di Papua. Namun, upaya tersebut belum berhasil mengatasi berbagai masalah karena belum diadopsi oleh pemerintah daerah setempat.
”Data dari Badan Litbang Papua harus masuk program anggaran dan diimplementasi oleh pemda. Jangan sampai posisi litbang itu hanya menjadi seperti mercusuar,” kata Hariadi.
Sementara itu, Elia menegaskan, Badan Litbang Papua harus berkolaborasi dengan Pusat Data Papua untuk menyiapkan program yang bersifat teknis, baik jangka pendek maupun jangka menengah.
”Selama dua tahun ini, Papua hanya mengekspor kayu olahan. Mudah-mudahan dengan upaya Badan Litbang Papua, komoditas lain nonkayu olahan di Papua yang berkualitas dunia, seperti rumput laut, bisa diekspor dengan memanfaatkan jalur kapal Jayapura Sorong ke Port Moresby di Papua Niugini hingga Melbourne, Australia,” katanya berharap.