Tanah Longsor, "Tetangga" yang Akhirnya Meminta Nyawa
Oleh
Ambrosius Harto/Dimas W Nugraha
·4 menit baca
Masyarakat Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, amat terguncang oleh tanah longsor yang merenggut nyawa 28 warga dan menimbun 32 rumah, Sabtu (1/4) pukul 07.30.
Mereka tidak menyangka, dinding tebing sisi timur dusun itu yang telah bertahun-tahun menjadi "tetangga" yang baik ternyata runtuh dan meminta banyak nyawa. Tebing berkemiringan lebih dari 40 derajat dan berketinggian 1.030 mdpl itu telah bertahun-tahun menjadi ladang warga untuk tanaman semusim hortikultura, terutama jahe, ketela, dan jagung.
Namun, Sabtu pagi yang cerah itu, saat belasan warga kembali dari pengungsian untuk memanen jahe, "tetangga" runtuh dalam sekejap. Mahkota yang ambles dan meluncur dengan cepat selebar 200 meter menghantam dinding di depannya sehingga berbelok ke selatan, menerjang dan menimbun kawasan sampai sejauh lebih dari 1 kilometer.
"Saya enggak sangka tebing itu runtuh," kata Samani (50), saksi mata. Sabtu pagi itu, Samani sedang nongkrong bersama warga yang kembali dari pengungsian. Samani masih sempat berbicara dengan beberapa warga yang kemudian tertimbun.
Saat tanah longsor mulai bergerak, Samani berteriak dan mengambil langkah seribu. Dia berlari sekitar 20 meter dari tempat nongkrong. Cuma empat detik berlari dan menengok ke belakang, tempat dia nongkrong tertimbun.
"Saya sudah 50 tahun hidup di sini, tidak pernah melihat bencana seperti ini," kata Samani. Di Desa Banaran, warga kerap membicarakan munculnya rekahan pada tebing, banjir, dan tanah longsor skala rendah. Namun, warga merasa tanda-tanda itu tidak akan memburuk. Namun, ternyata petaka terjadi.
Suyitno (60), warga Tangkil, menambahkan, mereka telah turun-temurun tinggal di kawasan yang dikelilingi perbukitan di kaki Gunung Wilis itu. Leluhur mereka beranak-pinak dan menetap di permukiman yang terpencar di punggungan dan lereng yang curam. "Belum pernah lho kejadian seperti ini. Kami selama ini enggak takut, tetapi akibat bencana ini kami jadi gelisah," katanya.
Zona merah
Ketua Tim Tanggap Darurat Bencana Tanah Longsor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Herry Purnomo mengatakan, Dusun Tangkil berada di zona merah atau sangat berbahaya untuk dihuni. Meski warga mengklaim bahwa tanah longsor baru terjadi sekali, tim mengetahui bahwa gejala risiko bencana sudah ada sejak 2008. "Ada laporan pada 2008 dan 2010 muncul retakan tetapi tidak sampai terjadi tanah longsor sehingga mungkin disikapi tenang-tenang saja," katanya.
Sarnu, Kepala Desa Banaran, mengakui, setahun ini warga melaporkan munculnya retakan dan tanah longsor skala kecil. Namun, warga menilai kondisi itu tidak membuat mereka cemas karena belum pernah terjadi bencana yang dahsyat.
"Jangankan korban jiwa, merusak bangunan saja tidak pernah. Makanya warga desa semua terguncang karena peristiwa ini. Semoga jadi yang pertama sekaligus terakhir," ujar Sarnu.
Dusun Tangkil dikelilingi perbukitan dengan kontur curam dengan kemiringan lereng di atas 40 derajat. Perbukitan merupakan batuan lapukan material gunung api yang bersifat lepas, gembur, atau tidak padat. Struktur geologi berisiko tinggi bencana alam dengan kontur perbukitan mengikuti aliran sungai.
Tata guna lahan didominasi tanaman semusim dengan akar tidak kuat, yakni jahe, ketela, dan jagung. Selain itu, ada rumpun-rumpun bambu tetapi tidak tepat berada di lereng yang miring. Seharusnya bambu ditanam di bawah lereng pada daratan yang datar.
"Tata guna lahan yang tidak baik itu ternyata sudah berlangsung bertahun-tahun," kata Bagus Kamarullah dari Tim Kaji Cepat Universitas Gadjah Mada.
Cepat menghasilkan uang
Sarnu mengatakan, telah lama hidup warga Desa Banaran bergantung pada ladang kebun. Berbagai tumbuhan semusim seperti jagung, jahe, dan singkong menjadi andalan warga desa untuk menyambung hidup.
Sampai lima tahun lalu sebenarnya warga masih membudidayakan tanaman keras, seperti cengkeh, sengon, jabon, dan jati. Namun, dua tahun lalu virus menyerang tanaman cengkeh dan membuat banyak pohon ditebang karena tidak menghasilkan apa pun.
Karena cengkeh mati, warga berharap tanaman kayu (sengon, jabon, dan jati) dapat memberikan penghasilan yang baik. Ternyata harganya tidak sesuai harapan, padahal untuk memanen tanaman kayu membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Pada saat itu, tanaman jahe memiliki nilai ekonomis tinggi. Harganya mencapai Rp 20.000 per kilogram, sementara singkong Rp 1.000 per kilogram. Karena tanaman itu cepat tumbuh dan dipanen, warga lebih tertarik membudidayakan tanaman semusim. Padahal, secara ekologis tanaman semusim menambah risiko bencana.
Setahun terakhir, harga jahe anjlok menjadi Rp 2.000 per kilogram dan singkong anjlok menjadi Rp 400 per kilogram. Meskipun harga anjlok, warga tetap memilih membudidayakan tanaman semusim.
"Untuk menutupi kebutuhan jangka pendek yang praktis, ya, dengan menanam tanaman semusim. Cepat panen, cepat dapat uang. Begitu kira-kira kebanyakan pemikiran warga," kata Sarnu.