CIAMIS, KOMPAS — Tokoh masyarakat Tatar Galuh, terutama keturunan raja-raja Kerajaan Galuh di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ingin kembali ke jatidiri Galuh yang mulai terempas oleh kehidupan modern. Ajaran Galuh berupa kearifan lokal banyak yang bernilai universal sehingga berguna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara kolektif.
Hal itu diungkapkan oleh tokoh-tokoh keturunan Raja Galuh, yakni Ketua Galuh Sadulur, RR Hanif Radinal (Ketua Galuh Sadulur), Ruyat Sudrajat, dan pemerhati budaya dari Universitas Indonesia, Deddy Bratamanggala, pada Milangkala (peringatan hari jadi) Ke-1405 Tahun Galuh di Jambansari, Kota Ciamis, Kamis (23/3/2017).
Kearifan ajaran Galuh yang diwariskan leluhur Galuh, menurut Hanif, antara lain peduli terhadap masyarakat dan tidak serakah kekuasaan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Momentum peringatan hari jadi Galuh ini sangat relevan dengan kondisi dekadensi bangsa yang dilatarbelakangi pemahaman dan pengamalan budaya luar.
Mereka mencontohkan, budaya hedonis dan impor yang begitu deras telah mengoyak-ngoyak kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya warga Kabupaten Ciamis. Budaya impor ternyata telah memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Hanif menyebutkan, pemuda desa di Ciamis lebih senang pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mengadu nasib di kota.
Para pemuda desa lebih tertarik terhadap gemerlapnya kota dibandingkan dengan tinggal di desa memaksimalkan sumber daya produksi (tanah) untuk menjaga generasi sektor pertanian/pangan. Padahal, gemerlapnya perkotaan sering kali menyilaukan warga desa yang pada umumnya memiliki keterampilan terbatas. Di lain pihak banyak tanah desa tidak produktif karena hanya dikelola oleh para tetua yang kemampun fisiknya sudah menurun.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ciamis Nanang Permana mengungkapkan, salah satu ajaran Galuh yang masih relevan hingga kini adalah tidak serakah atau jangan berlebih. Kearifan lokal itu dirangkai dalam kata-kata Sunda, Tong nyokot leuwih ti misti. Akan tetapi, kehidupan tata pemerintahan dan bermasyarakat dewasa ini telah jauh dari sifat-sifat itu.
Dimekarkan
Nanang mengakui, ketika Kabupaten Ciamis berusia 100 tahun pada Juni 2016, sangat sedikit perubahan yang signifikan pada kehidupan masyarakat Galuh yang ada di Ciamis. Malah wilayah administratif pun semakin menyempit karena kabupaten ini sudah dimekarkan menjadi Kabupaten Pangandaran dan Kota Banjar mendampingi induknya Kabupaten Ciamis.
“Bisa jadi ini sebagian indikator dari nama Ciamis yang tidak memberi keberuntungan atau tidak layak disematkan pada wilayah dan masyarakat Galuh saat ini,” ujar Nanang. Pihaknya sudah menerima usulan dari masyarakat agar nama Kabupaten Ciamis diubah menjadi Kabupaten Galuh. Perubahan itu diharapkan menjadi awal gerakan perubahan untuk kembali ke jatidiri Galuh di segala aspek kehidupan.
Pada peringatan 1405 tahun itu, Galuh Sadulur sebagai wadah dari seuweu-siwi (keturunan) Galuh berkumpul, berdiskusi, dan berziarah ke makam-makam leluhur. Mereka mencoba mengingatkan kembali kesadaran masyarakat Galuh di Ciamis, khususnya untuk kembali ke jatidiri Galuh yang universal.
“Kami melihat peringatan ini sangat penting sebagai pengungkit harga diri urang Galuh yang diwarisi kepemilikan wilayah dan identitas budaya cukup tua untuk terus hidup sejajar dengan budaya tua lainnya di Indonesia,” kata Hanif. Ajaran Galuh yang melekat pada kerajaan di awal abad ke-7 ini telah mendarah daging pada kesadaran masyarakat dan membentuk filosofi Galuh. Namun, kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini berbicara lain.