MANADO, KOMPAS — Di tengah kenaikan harga bahan pokok akibat cuaca buruk, harga kopra justru anjlok. Turunnya harga kopra menjadi Rp 8.000 per kilogram tidak sebanding dengan biaya produksi. Petani kelapa di Sulawesi Utara menghadapi krisis ekonomi nyata, penurunan harga kopra diikuti penurunan produksi setiap tahun.
Decky Mangetik (53), petani kelapa di Kabupaten Talaud di Manado, Kamis (9/3), mengatakan, turunnya harga kopra membuat banyak petani di daerahnya merana. Harga kopra dijual tidak sebanding dengan harga beras yang kini naik tinggi. Harga beras dari Rp 12.000 naik menjadi Rp 16.000 di sejumlah pasar tradisional.
Masalah lain, banyak pedagang juga menunda pembelian akibat minimnya moda angkutan kapal ke Manado dan Bitung yang menjadi tempat pemasaran kopra Kabupaten Talaud an Sangihe.
“Harga kopra jauh di bawah harga beras. Kami harus menjual dua kilogram kopra untuk membeli satu kilogram beras,” katanya.
Menurut Daniel Karundeng (59), petani kopra di Kabupaten Minahasa Utara, turunnya harga kopra menjadikan banyak petani beralih ke pekerjaan lain, misalnya menjadi tukang ojek untuk mencari penghidupan.
Di samping penurunan harga, terjadi penurunan produksi terjadi akibat usia tua pohon kelapa petani dan sedikitnya tenaga pemanjat kelapa di perkebunan. Tenaga panjat kelapa sangat sulit disebabkan anak-anak petani banyak memilih bekerja di toko ataupun perusahaan daripada bekerja di kebun.
Julianus, petani Kabupaten Induk Minahasa, mengatakan, hasil kopra miliknya harus dibagi dua dengan pemanjat kelapa yang juga bekerja memproduksi kopra. Masa produksi kopra setiap tiga bulan tidak lagi menguntungkan petani.
Julianus mengatakan, setiap tiga bulan memproduksi 2-3 ton kopra. Apabila harga kelapa Rp 8.000, dari dua ton kopra ia memperoleh uang Rp 16 juta yang harus dibagi dua dengan pekerja.
“Saya juga harus mengeluarkan uang untuk membayar ongkos angkut dari kebun ke tempat penjualan di kota. Hitung-hitung saya hanya mendapat Rp 3 juta,” katanya.
Penurunan produksi kopra juga terjadi di semua sentra produksi di Sulawesi Utara. Provinsi yang dikenal dengan sebutan ”Nyiur Melambai” tersebut kini menghadapi krisis produksi secara nyata setelah jutaan pohon kelapa rusak sebagai dampak kemarau tahun lalu. Kelangkaan itu berpengaruh terhadap ekonomi petani kelapa.
Enam kabupaten di Sulawesi Utara dikenal sebagai sentra produksi kelapa adalah Kepulauan Talaud, Minahasa Selatan, Minahasa, Minahasa Utara, Kepulauan Sangihe, dan Bolaang Mongondow.
Kepala Dinas Perkebunan Sulawesi Utara Refly Ngantung menyatakan, sekitar 40 persen tanaman kelapa di daerahnya mengalami krisis produksi sebagai dampak musim kemarau tahun lalu.
Sebelumnya, Dinas Perkebunan Sulut mendata produksi kelapa mengalami penurunan akibat pohon kelapa tua dan rusak mencapai 30.000 hektar dari 287.000 luas areal tanaman kelapa. Kelapa tua berusia 60-100 tahun cukup banyak ditemui di Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Refly mengatakan, Pemerintah Provinsi Sulut telah menyiapkan sejumlah program, yakni pengadaan bibit kelapa baru 200.000 serta program intensifikasi dan pupuk dengan nilai sekitar Rp 4 miliar tahun ini.