Tiga puluh sembilan tahun sudah mereka bergulat dengan prasangka. Mengapa dipaksa meninggalkan tanah kelahiran ke tempat baru dengan setumpuk problema? Teon, Nila, dan Serua, daratan mungil penghias Laut Banda yang ditinggalkan itu selalu mengundang rindu. Bila dikenang, air mata kan berlinang.
Suara Nicolaas Leunura (71) perlahan mengecil hingga akhirnya terdiam. Sejenak ia menengadah, sengaja membendung air matanya. Ia berusaha tetap tegar agar beberapa pemuda yang menyimak kisah memilukan warga Pulau Teon, Nila, dan Serua itu jangan sampai hanyut dalam kesedihan. Namun, ia tak sanggup.
“Hati saya ini seperti baja. Saya tidak mudah menangis. Tapi, kalau mengingat kenangan itu, saya selalu menangis,” ujarnya diikuti suara seekor cicak seakan membenarkan kisah yang dituturkan Nicolaas, Rabu (13/1) malam di Pulau Seram, tepatnya di Desa Watludan, Kecamatan Teon Nila Serua, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Dentang lonceng di Desa Sifluru, Pulau Nila, pada 3 Maret 1978 pagi itu mengusir Nicolaas dan 48 keluarga lain dari pulau itu. Ia masih ingat, saat menutup pintu rumah dan berjalan tanpa menoleh ke belakang, ia menangis dengan keras. Tanah tumpah darah harus ditinggalkan atas instruksi rezim yang minim kompromi. Tangis warga bak paduan suara saat kapal menjauh dari bibir pantai. Selamat tinggal Nila.
Tak hanya Sifluru, semua warga desa di Pulau Nila dan dua pulau yang mengapitinya, yakni Teon dan Serua, pun harus angkat kaki. Di Nila ada tujuh desa, Teon sebanyak lima desa, dan Serua terdapat empat desa. Total jumlah penduduk tiga pulau di tengah kepungan Laut Banda pada tahun 1978 sekitar 5.000 jiwa.
Evakuasi dilakukan setelah rentetan gempa vulkanik mengguncang Nila tahun 1968. Ada Gunung Lawarkawra di Nila yang aktif sehingga dianggap menjadi ancaman serius bagi keselamatan warga. Pemerintah dengan segala kekuatan memaksa warga keluar. Segala cara dilakukan termasuk dengan ancaman kekerasan.
Hampir semua warga menolak evakuasi dadakan itu. Mereka menganggap gempa dan aktivitas Lawarkawra adalah hal biasa yang dialami generasi ke generasi. Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, gunung itu pernah meletus pada 1899, 1903, dan 1932. Akrab dengan bencana dan berkah di baliknya, mereka merasa tak perlu pindah.
Tanah vulkanik membuat pulau itu kaya berbagai jenis tanaman palawija, hortikultura, dan buah-buahan. Mereka tak kekurangan pangan termasuk ikan. Bahkan, hasil pertanian dijual ke Banda Naira hingga Ambon. Jeruk di Ambon yang terkenal pada masa itu berasal dari ketiga pulau tersebut.
Belum lagi pala dan cengkeh. Hampir setiap pulau ada perahu layar. Mereka memasarkan cengkeh langsung ke Pulau Jawa. Nicolaas pernah mengangkut cengkeh miliknya ke Jawa sebanyak dua kali. “Kami pakai perahu layar selama satu minggu ke Jawa,” ujarnya.
Dari tiga pulau itu, mereka dievakuasi ke pesisir selatan Pulau Seram, tepatnya Negeri (Desa) Makariki. Mereka ditempatkan di barak-barak berdinding dan beratap seng. Siang panas membakar dan malam dingin menusuk. Sarana mandi cuci kakus pun tak memadai, bahkan hanya bisa dipakai satu hari sehingga warga terpaksa buang air besar sembarangan. Tidak manusiawi. Penyakit pun merebak menewaskan lebih dari 200 orang. Persoalan itu jauh dari publikasi media.
“Dalam satu hari bahkan lebih dari dua orang meninggal,” kata Yanes Tuakura, Raja (Kepala Desa) Sifluru, mengenang. Kesengsaraan itu berlangsung selama hampir satu tahun saat menunggu pemerintah selesai membangun hunian bagi mereka. Kemudian mereka pun dibagi rumah semipermanen berukuran 8 x 6 meter serta lahan seluas 2 hektar tanpa benih. Agar bisa menanam, mereka harus berjalan kaki sejauh lebih dari 30 kilometer untuk mengambil benih di Negeri Haruru. Tanah yang baru ini berbeda 180 derajat dengan tempat asal mereka.
Sampai kini, lahan pemberian pemerintah itu terus digugat pemilik ulayat, yakni penduduk asli Pulau Seram yang berasal dari Negeri Sepa, Amahai, Makariki, Haruru, Nuaulu, dan Waraka. Bahakan, ada oknum yang mengaku pemilik hak ulayat membabat habis sejumlah tanaman umur panjang, seperti kelapa dan cokelat, yang ditanam warga pindahan. Alasannya, pelepasan lahan pada 1978 itu belum diikuti kompensasi dari pemerintah.
Warga pindahan yang kini berjumlah sekitar 25.000 jiwa dan tersebar di 16 desa itu menahan diri. Mereka mengalah. Keluarga baru pun tidak berani mencari lahan sehingga terpaksa menumpang satu atap bersama keluarga lain atau mendirikan rumah berimpitan. Bahkan, kuburan anggota keluarga dibangun di pekarangan. Di Negeri Usliafan, ada pekarangan rumah yang diisi delapan kuburan.
Dance M Lakotani, tokoh pemuda Teon, Nila, Serua, mengatakan, pemindahan merupakan tanggung jawab Pemerintah Provinsi Maluku, tetapi tidak dilakukan tuntas. Masyarakat dilepas seperti anak ayam kehilangan induk. Sudah 39 tahun berlalu, pembebasan lahan nihil solusi. Setiap kali pergantian gubernur, masalah itu dilaporkan. Namun, niat penguasa untuk menyelesaikan masalah masih sebatas janji.
Prasangka liar pun mengalir tak terbendung. Alasan pemindahan kembali dipertanyakan. Sejumlah tokoh masyarakat Teon, Nila, Serua menuding pemindahan didorong kepentingan penguasaan terhadap sumber daya alam di tiga pulau itu oleh kelompok tertentu. Setelah ditinggalkan, ada pengusaha yang membujuk warga agar menjual lahan mereka di pulau itu, tetapi ditolak. Ada belerang, uranium, dan emas.
Dikutip dari tesis Alexander N Relmasira di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, tahun 1997, warga tiga pulau itu mulai mengenyam pendidik formal awal abad ke-20. Namun, kontak dengan dunia luar dimulai tahun 1645 lewat ekspor belerang dari Nila. Kompas pernah mendatangi Pulau Serua, Maret 2016. Menurut Edo Ritiau (53), warga di Serua, pulau itu kaya akan belerang dan uranium. Data itu diperoleh dari peneliti yang datang ke Serua.
Hingga saat ini banyak warga sering kembali ke tiga pulau itu memanen cengkeh dan pala. Bahkan, ada yang tinggal di sana karena persoalan lahan di Pulau Seram belum diselesaikan pemerintah. Saat dikonfirmasi, Gubernur Maluku Said Assagaff mengarahkan ke Asisten Bidang Pemerintahan Angky Renjaan. Angky malah menyarankan ke Biro Pemerintahan. Sementara itu, Biro Pemerintahan tidak berani menjawab karena sudah masuk ranah kebijakan.
Jika terus digantung, ketegangan antara warga pindahan dan warga asli bisa semakin memanas dan bukan tak mungkin akan terjadi konflik horizontal terbuka. Maluku belum sepenuhnya pulih dari konflik berkepanjangan selama belasan tahun. Pemerintah harusnya sadar akan itu.