YOGYAKARTA, KOMPAS — Skema pengembangan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai belum ramah bagi lingkungan serta tatanan sosial dan budaya setempat. Masyarakat lokal kerap hanya menjadi penonton dan bahkan tersingkir dari daerahnya sendiri.
“Sisi gelap dari pengembangan pariwisata adalah warga lokal tidak mendapatkan kompensasi sepadan atas pengembangan wilayah mereka. Bahkan, pembangunan kerap menghilangkan hak-hak mereka,” ujar Peneliti Pariwisata Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Pitra Hutomo, dalam diskusi bertema "Pembangunan Pariwisata di Yogyakarta untuk Siapa?" di Gedung Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (28/2).
Dia mencontohkan, rencana penataan pesisir pantai di Desa Kelor Kidul, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, dengan mendatangkan investor membuat warga tergusur dari wilayahnya. Investor lewat pengacara sejak 2015 menyomasi warga untuk merobohkan bangunan dan pergi meninggalkan Watu Kodok.
Setelah terusir, investor melarang warga masuk pantai untuk aktivitas harian. Selain itu, rencana investor untuk membangun resor pribadi berpotensi memangkas bukit yang selama ini menjadi penghalang abrasi.
Sebagian warga terpaksa merobohkan rumah, tetapi banyak juga yang mencoba mempertahankan ruang hidup mereka. Warga tak hanya teriintimidasi dengan somasi, bahkan percobaan kriminalisasi karena warga dilaporkan penyerobotan tanah.
“Investor datang dan mengusir warga dengan dasar surat kekancingan (pemberian hak pakai/sewa-menyewa) dengan dalih mereka tinggal di tanah milik Kesultanan Yogyakarta,” kata Pitra.
Konflik serupa terjadi di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, akibat rencana pemerintah daerah untuk merevitalisasi obyek wisata Gumuk Pasir. Warga terkena dampak relokasi hingga kini belum menerima kompensasi, baik berupa uang maupun lahan baru yang dijanjikan sebelumnya.
Pelibatan warga dalam setiap rencana pengembangan pariwisata tidak pernah menyeluruh. Selain itu, mekanisme kontrol tidak pernah transparan, seolah tidak ada skema yang mengkaji dampak pembangunan ataupun revitalisasi terhadap perubahan tatanan sosial masyarakat.
“Konflik perampasan lahan dan penundaan relokasi akibat rencana pengembangan pariwisata berimbas pada semakin melebarnya ketimpangan ekonomi dan malah menggagalkan tujuan dari pembangunan, yakni menyejahterakan rakyat,” ujar Pitra.
Peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM Janianton Damanik menilai, pola pengembangan pariwisata di wilayah DI Yogyakarta terlalu berorientasi terhadap angka. Pemerintah daerah fokus pada peningkatan jumlah wisatawan dan pemasukan investasi.
Padahal, pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika masyarakat lokal terlibat langsung dalam penyediaan atau pengembangan objek serta daya tarik wisata.
“Besarnya angka, baik jumlah wisatawan maupun nilai investasi, tidak memberikan dampak apa pun terhadap kesejahteraan masyarakat. Uang yang berputar di industri pariwisata DIY mengalir ke Jakarta atau bahkan luar negeri,” ujarnya.
Menurut Janianton, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memperpendek mata rantai distribusi hasil pariwisata. Contohnya, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan kegiatan pariwisata sesuai dengan ketersediaan dan kapasitas sumber daya setempat.
“Pariwisata hanya akan berkembang dengan baik jika berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di destinasi pariwisata,” kata Janianton.
Pemerintah daerah tetap perlu mendampingi masyarakat untuk merumuskan gagasan dan mengalokasikan sumber daya bagi pengembangan pariwisata. Hal ini dinilai akan efektif dalam membuka peluang kerja dan usaha bagi warga miskin di destinasi pariwisata.