Ahmad Tohari, Kedaulatan Pengarang

Kompas/MEGANDIKA WICAKSONO

Budayawan Ahmad Tohari di rumahnya Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (25/6/2020).

Memasuki usia 73 tahun, penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, selalu taat terhadap pengetatan mobilitas bagi warga lansia pada masa pandemi Covid-19. Ia, antara lain, tidak bepergian sesuai dengan anjuran pemerintah. Meskipun memilih tidak menggunakan peranti teknologi yang terhubung internet, kesehariannya tidak terasa sepi karena diisi dengan hobi bertanam tanaman langka.

”Saya akan kehilangan banyak kedaulatan kalau pakai (internet). Masih pakai HP ’jadul’. Tapi, pernah dijangkau orang Istana, utusan Presiden Jokowi, ya, kontak lewat HP jadul ini,” kata Tohari yang diundang untuk berdiskusi bersama Presiden Jokowi bersama beberapa budayawan di Istana Negara, Jakarta.

Selain masih melestarikan bahasa lokal dengan menjadi pemimpin redaksi majalah bulanan berbahasa Banyumasan bernama Ancas, Tohari memang banyak menghabiskan hari-harinya dengan berkebun. Ketika ditanya apakah masih menulis buku, Tohari mengaku sudah tidak sanggup lagi.

”Bagi saya, menulis buku itu total. Pengerjaan yang total menuju totalitas. Untuk kerja keras semacam itu, saya sudah tidak cukup energi. Saya merayakan apa yang sudah saya tulis saja. Yang ternyata sudah cetakan ke-17 Ronggeng Dukuh Paruk dan masih dibicarakan orang, di perguruan tingi di kelompok sastra. Saya menikmati apa yang sudah lewat saja,” ujar Tohari ketika dihubungi lewat telepon pada Rabu (9/2/2022).

Sembari berkebun itulah ia bisa bebas memandang para cucunya yang bermain berlarian di kebun. ”Itulah kenikmatan saya.” Salam sehat.