Riri Riza menyebut Usmar Ismail, Sjumandjaja, Teguh Karya, dan Arifin C Noer perlu diteladani karena mampu melalui kesulitan pada masa masing-masing. Riri pun tetap berkarya dengan menggarap film baru pada pandemi ini
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·2 menit baca
Dunia perfilman nasional tak berjalan linear, melainkan sirkuler. Riri Riza (50) pun memaknai pasang surut sinematik, termasuk masa pandemi, yang berulang setiap beberapa masa. Sineas tersebut menjalin benang merah ketangguhan sutradara-sutradara legendaris dengan kalabendu yang dilaluinya.
”Usmar Ismail, misalnya, berjuang saat revolusi,” kata Riri seusai acara Panjang X Lebar, program menonton cuplikan film yang pemutarannya tertunda, di Jakarta, pekan lalu. Di masa perjuangan dan setelahnya, Usmar harus berkutat dengan ekonomi yang baru bergerak.
”Saya yakin, sekitar 70 tahun lalu, Usmar mengalami situasi seperti sekarang. Keterampilan belum seberapa. Pasar juga masih lemah,” katanya. Usmar melewati Perang dingin, masa bioskop-bioskop dipenuhi film impor, hingga karut-marut tahun 1965.
”Tahun ini, 100 tahun kelahiran Usmar diperingati. Semangatnya menghadapi masa-masa sulit perlu diteladani. Saya selalu menengok (ke Usmar) saat terjadi krisis,” ucap Riri. Ia lantas menyebut Sjumandjaja, Teguh Karya, dan Arifin C Noer yang melanjutkan spirit tersebut.
”Sinema Indonesia lalu kolaps pada tahun 1990-an. Reformasi dimulai dan saya bikin Kuldesak. Lama-lama stabil, eh, datang pandemi,” ujarnya. Riri mengapresiasi rekan-rekannya yang meyakini film sebagai elemen penting dalam kehidupan dengan tetap berkarya.
”Ya, harus dimulai lagi. Saya pun sedang menggarap Paranoia yang rencananya diluncurkan sebelum September 2021,” ujarnya.
Karya bergenre thriller atau kisah mencekam itu diproduksi saat pandemi. Riri merefleksikan film tersebut dengan situasi saat ini yang membawa kerisauan.