Bahasa emosional merupakan konsekuensi dari derasnya informasi digital. Ini menimbulkan keengganan fokus membaca satu buku hingga tuntas dan mendalam. Begitu kata Agnes Sianipar.
Oleh
Nawa Tunggal
·2 menit baca
Kunci dari aktivitas membaca adalah memahami narasi. Demikian Agnes Sianipar, lulusan program Doktoral Neurosains Kognitif, Universitas Radboud Nijmegen, Donders Institute for Brain, Cognition, and Behaviour, Belanda, tahun 2017, yang kini mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Kamis (4/2/2021).
”Untuk membaca, dibutuhkan keterampilan berbahasa yang harus dilatih dengan membiasakan mengungkapkan pikiran, berani bercerita, atau menulis. Dari situlah nanti terbiasa memahami narasi suatu bacaan,” ujar Agnes, yang mengambil tema disertasi doktoral, Pemrosesan Bahasa Emosional.
Bahasa emosional merupakan konsekuensi dari derasnya informasi digital. Ini menimbulkan keengganan fokus membaca satu buku hingga tuntas dan mendalam. Bahasa emosional kemudian menyebabkan sikap tidak kritis, bahkan memicu ujaran kebencian dan penyebaran informasi palsu atau hoaks.
”Bahasa emosional menyebabkan orang tidak peduli dengan kebenaran. Pemrosesannya bersifat peripheral atau emosional belaka berdasar rasa suka atau tidak suka,” ujar Agnes, yang kini disibukkan riset di Laboratorium Psikologi Politik UI.
Ia kini juga disibukkan dengan gerakan literasi lewat Program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pengembangan metode pengajaran guru SD di Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Di dalam disertasinya, Agnes mengembangkan riset koginitif neurosains berupa analisis hasil perekaman otak orang-orang yang sedang belajar bahasa tertentu. Ia mengambil responden orang yang belajar bahasa Belanda dan bahasa Jerman.
Mengenai buku bacaan paling berkesan bagi Agnes, ternyata sebuah novel terjemahan yang pernah difilmkan berseri, yaitu The Little House on The Prairie, karya Laura Ingalls Wilder. Dari buku itu, Agnes belajar memahami narasi tentang keluarga.
”Buku itu membentuk imajinasi dan memengaruhi interaksi saya dengan orangtua. Buku itu seperti mengajarkan saya untuk mengetahui saat-saat harus membantu Ibu dan sebagainya,” ujar Agnes, yang masih merasa prihatin dengan buku-buku bacaan anak-anak di Indonesia karena banyak di antaranya menggunakan kata-kata abstrak yang sulit diketahui atau disentuh anak-anak.
Bagi Agnes, satu hal yang tidak kalah penting bisa ditumbuhkan dari aktivitas membaca ialah sikap empati. Di situlah kita biasa dilatih untuk mengambil perspektif orang lain dalam menghadapi suatu masalah.