Kegiatan yang padat pada masa pandemi tidak menghalangi Garin Nugroho merampungkan buku memoar yang merekam perkembangan film Indonesia.
Oleh
Susie Berindra
·3 menit baca
Di tengah masa pandemi Covid-19, sutradara senior Garin Nugroho tak mau berdiam diri. Di sela-sela menjadi pembicara di webinar, Garin menyelesaikan buku Era Emas Film Indonesia: Memoar Garin Nugroho. Buku yang diterbitkan Warning Books ini dirilis pekan lalu.
”Setiap pagi, biasanya aku sempatkan menulis. Di buku itu, ada tulisan mengenai 35 sutradara pasca-Reformasi, dari berbagai genre film, dari mulai Gundala sampai Dilan,” kata Garin yang dihubungi di Tangerang Selatan, Sabtu (12/9/2020).
Garin menceritakan, niatnya membuat buku film terbetik setelah bertemu dengan Salim Said yang meminta dirinya menulis memoar film pasca-Reformasi. Sebelumnya, Garin telah menulis buku sejarah film, Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2015), bersama Dyna Herlina.
”Buku ini seperti ensiklopedia kecil dengan bekal aku berupa pengalaman masa kecil di era film Indonesia tahun 1970-an, masa remaja di era emas perfilman Indonesia tahun 1980-an, serta pengalaman membuat film di masa transisi Orde Baru ke Reformasi,” kata Garin.
Saat ini, Garin juga disibukkan dengan menjadi Ketua Komite Seleksi Oscar Indonesia yang bertugas memilih film Indonesia yang akan dibawa ke ajang Oscar. ”Dari mulai sekarang sampai Oktober, kami menyeleksi 55 film Indonesia. Semua rapat dan diskusi dilakukan secara online,” ujarnya.
Selama pandemi, Garin melakukan semua kegiatannya secara virtual. Selain rapat komite, webinar, dan menjadi pembicara pembuka kuliah perdana, dia juga mentoring peserta program Galeri Indonesia Kaya untuk kategori panggung dan film.
”Jadwal mentoring hampir setiap hari, ada 14 tim. Kalau online itu malah capek, enggak bisa menanggapi dengan emosi,” katanya sambil tertawa.
Sejarah film Indonesia
Lewat buku perjalanan perfilman Indonesia yang ditulis Garin, kita dibawa mengarungi jaman, melintasi waktu. Seperti dikatakan Dosen Prodi Film Binus University Ekky Imanjaya dalam kata pengantarnya.
"Membaca memoar dari seorang maestro bernama Garin Nugroho itu ibarat kita diajak masuk ke mesin waktu, menjelajahi momen-momen penting dalam film dan perfilman secara personal," tulis Ekky.
Dalam setiap bab, pembaca disuguhjan perjalanan film dari berbagai genre, seperti film remaja, komedi, horor sampai pada bahasan mengenai film dan agama. Bagi sutradara yang sudah berkarya lebih dari 30 tahun ini, buku ini ditulis dari pertemuan dan pengamatan terhadao para sutradara.
"Awalnya ingin fokus pada pengerjaan memoar ringan tetapi dalam prosesnya timbul inisiatif meletakkan aspek sosial politik film dan sejarah, disertai uraian geliat sutradara pascareformasi," kata Garin.
Salah satu bab yang mengupas tentang film remaja, Garin menggambarkan perkembangan film remaja yang memasukkan unsur budaya populer sesuai dengan jamannya. "Formula film remaja meski berbeda di setiap zamannya selalu mencangkok unsur-unsur budaya populee di zamannua. Yang pasti formula film remaja adalah formula klasik yang penuh adegan romantis, musik dan melahirkan pasangan potret ketampanan dan kecantikan yang diidolakan," tulis Garin.
Di bagian lain, Garin menulis tentang surtradara pascareformasi yang mewarnai perfilman Indonesia. Beberapa cerita sutradara yang ditulisnya seperti Deddy Mizwar, Joko Anwar, Nia Dinata sampai sutradara muda yang juga dosen Universitas Multimedia Nusantara, Lucky Kuswandi.
Dengan bahasan setiap bab yang menarik dan ringan, buku ini bisa menjadi bacaan wajib para mahasiswa. Selain tulisan menarik, buku ini juga dilengkapi ilustrasi untuk membantu ingatan para pembaca. Tak heran bila di masa pandemi ini, Garin pun laris menjadi pembicara kunci pembukaan tahun ajaran mahasiswa baru.
"Sudah tiga kali aku menjadi pembicara kuliah perdana, semuanya lewat virtual. Biasanya, aku cerita saja soal sejarah film Indonesia," ujarnya.