Sastrawan Martin Aleida (76) punya kesibukan baru. Sambil berdiam di rumah selama masa pandemi Covid-19 ini, Martin melayani pesanan dari berbagai kalangan yang berminat membeli buku karya terbarunya.
Oleh
Nasrullah Nara
·2 menit baca
Sastrawan Martin Aleida (76) punya kesibukan baru. Sambil berdiam diri di rumah selama masa pandemi Covid-19 ini, Martin melayani pesanan dari berbagai kalangan yang berminat membeli buku karya terbarunya, Romantisme Tahun Kekerasan (sebuah memoar).
”Memoar itu mulai ditulis akhir Oktober 2019, selesai pertengahan Februari 2020. Pemasarannya sendiri lewat online. Lumayan untuk bertahan dalam kepungan virus,” ujar Martin dalam percakapan via aplikasi WA, Kamis (11/6/2020).
Memoar setebal buku 271 halaman itu ditulisnya dalam kondisi fisik dan ekonomi yang kurang prima. Tekanan darahnya buruk (90/60) disertai vertigo sampai muntah. Sudah dua semester tak kebagian jadwal mengajar di sebuah kampus di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Buku itu dipasarkannya melalui media sosial. Semua teman-temannya di akun pertemanan ditawarinya. Satu per satu, pesanan dikirimkan oleh Martin melalui usaha jasa pengiriman barang dari kediamannya di Pasar Minggu, Jakarta.
Kalau ada yang bilang buku ini ”bagus”, hati Martin merasakan dua hal: sedih dan lucu. Pasalnya, dia menulisnya dengan spontan. ”Tengah malam sering terbangun oleh tekanan darah yang bikin kliyengan. Turun dari tempat tidur. Menulis. Spontan...,” ujar Martin.
Kisah hidup pria asal Tanjung Balai, Sumatera Utara, itu sarat pahit getir pelarian karena diduga terkait dengan prahara politik 1965. Untuk mengingat sejumlah kejadian, Martin banyak dibantu istrinya, Sri Sulasmi (71). Meski sang istri disebutnya mulai diserang demensia, kejadian puluhan tahun silam masih lengket benar di benaknya.
Air mata dan darah
Untuk siapa buku itu dipersembahkan? Martin menjawab, ”Untuk semua yang percaya bahwa sastra memihak korban, sebagai takdirnya. Saya melalui satu era yang gemuruh dalam gerakan politik, air mata darah oleh kekejian yang membinasakan dari rezim militeristis Soeharto. Saya juga menikmati (dalam kecemasan yang tiada surut) kebahagian sebagai jurnalis di era dengan kontrol pers yang ketat era Soeharto-Harmoko. Saya telah menuliskan bagian saya dari sejarah pendek republik ini. Semoga angkatan anakku juga menulis. Sastra (tulisan pada umumnya) yang baik tidak harus lahir dari kancah penderitaan. Kepekaan pada bagaimana hidup itulah kuncinya.”
Martin menambahkan, ”Membaca kembali memoar itu saya tahu spontanitas jiwa dari pendekatan tulisan. Jangan mau rapi karena itu akan membuat kalimat tumpul. Banyak salah cetak. Penyelaras aksara kedua tak sempat masuk karena naskah terlambat masuk lantaran banjir (di awal tahun 2020). Saya tak menduga walau terkepung pandemi, hidup saya baik, kompor menyala terus, karena pesanan yang mengalir. Alhamdulillah. Puji Tuhan....” (NAR)