Saras Dewi tengah melakukan riset tentang tari sakral Sang Hyang Dedari, yang menghilang lebih dari dua tahun. Tari tradisional sebagai ritual terancam karena zaman berubah.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·1 menit baca
Sebagai orang Bali, Saras Dewi tumbuh sehari-hari lekat dengan seni tradisional. Dia menyayangkan karena perubahan zaman sering kali mengancam seni tradisional, salah satunya tari sakral di Bali.
Pengajar filsafat, penyanyi, dan penulis ini sedang melakukan riset tentang tari sakral Sang Hyang Dedari, yang menghilang lebih dari dua tahun. ”Belakangan ini, aku sedang riset di Nusa Ceningan, sekitar 30 menit naik kapal dari Pantai Sanur. Sebenarnya sudah lama aku riset, dari tahun 2015, dan sudah memublikasikan hasil riset yang dilakukan di Karangasem,” tutur Saras, Jumat (21/2/2020).
Alam, seperti hutan dan lautan, semakin terimpit. Dalam keyakinan orang Bali, para prinsip Tri Hita Karana, unsur Pawongan (manusia) dengan Palemahan (alam) dan Parahyangan (Tuhan), harus dijaga keselarasannya agar mencapai kebahagiaan.
Dari warga Nusa Ceningan, Saras mendapat cerita bahwa modernisasi, juga perubahan besar, menyebabkan tari Sang Hyang Dedari menghilang. Warga menunjukkan, yang tersisa dari tari tersebut mahkotanya saja.
Menurut Saras, tari tradisional sebagai ritual terancam karena zaman berubah, khususnya karena tari tersebut bertumpu pada alam. ”Saat ini, aku lihat alam semakin tergerus. Alam, seperti hutan dan lautan, semakin terimpit. Dalam keyakinan orang Bali, para prinsip Tri Hita Karana, unsur Pawongan (manusia) dengan Palemahan (alam) dan Parahyangan (Tuhan), harus dijaga keselarasannya agar mencapai kebahagiaan,” papar Saras.
Dia berharap, kepunahan tari Sang Hyang Dedari hanya sementara. Saras ingin mengajak kerja sama antara desa dan kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia untuk lebih erat bersinergi merawat budaya leluhur. (FRO)