Bagi penari kontemporer Rianto (38), tari bukan sekadar menggerakkan tubuh mengikuti irama. Tari adalah caranya berkomunikasi dengan dunia di luar tubuhnya sekaligus kanal bagi pertentangan-pertentangan dalam dirinya.
”Perkembangan pikiran dan perasaan saya, ditambah metode, membuat karya lebih mudah diekspresikan lewat tari. Apa pun yang terjadi dengan tubuh saya, bisa lebih nyaman diungkap lewat gerakan; mulai dari tangan, badan, rambut, lirikan mata yang membesar dan mengecil,” kata penari yang menggeluti tarian Lengger Banyumasan ini di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Rianto pernah mementaskan gubahannya yang bernama Tari Medium di banyak negara, seperti di Australia, Jerman, dan Belgia. Tarian itu merupakan pengembangan dari Tari Lengger Banyumasan.
Gerakan tari Rianto bersumber dari banyak hal yang pernah dialami dan dirasakan tubuhnya. Bagi penari yang sering tinggal di Jepang bersama istrinya, Miray Kawashima, ini, tubuhnya ibarat museum yang bisa menceritakan banyak hal lewat tari.
”Tubuh saya adalah sebuah kebebasan, sebuah museum hidup yang bisa mewakili apa saja. Di sini (tubuhnya) maskulin dan feminin adalah satu. Dalam berkarya, saya tidak pernah membatasi sebagai perempuan atau laki-laki,” ujarnya.
Kisah hidup Rianto menjadi latar film Kucumbu Tubuh Indahku garapan sutradara dan penulis naskah Garin Nugroho. Garin membuat dramaturgi bagi pementasan Tari Medium gubahan Rianto sekitar dua tahun lalu.
”Tubuh penari dibentuk melalui pengalaman sosial dan trauma. Maka biografi Rianto ini juga merupakan biografi dari orang banyak,” kata Garin.