Kiat Mahasiswa Rantau Melawan Sepi di Bulan Suci
Di perantauan, mahasiswa juga bisa menciptakan momen-momen berharga bersama teman-teman.
Momen kebersamaan dengan keluarga di bulan suci Ramadhan jadi hal yang harus direlakan oleh sebagian mahasiswa tahun ini. Sebab, mereka harus melewati bulan puasa saat tengah menjalani studi di perantauan.
Masyita Deta Rahadiani atau Tata (22) menghabiskan sebulan penuh berpuasa di Jatinangor, Jawa Barat. Jauh dari keluarganya di Yogyakarta, ia memanfaatkan momen berpuasa sendirian untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta secara lebih sunyi dan intim.
Salah satu cara agar hatinya tetap merasa penuh adalah dengan mencari pengalaman-pengalaman baru. Misalnya, sahur dan berbuka dengan makanan-makanan di Jatinangor yang belum pernah ia coba.
”Aku juga kalau tarawih itu pindah-pindah masjid. Misalnya, hari ini di masjid dekat kos, kemarin di masjid kampus. Ini caraku mencari memori baru di tempat-tempat baru,” tambah mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran itu, Selasa (2/4/2024).
Saat beribadah di salah satu masjid, Tata berinteraksi dengan beberapa mahasiswa yang juga menghabiskan bulan Ramadhan di perantauan. Obrolan-obrolan kecil yang hangat ini membuatnya merasa tak sendiri dalam menjalani puasa jauh dari keluarga. Ia pun berupaya terlibat dalam kegiatan positif di masjid, seperti memberi makan kucing-kucing di sekitar masjid.
Sebagai mahasiswa semester akhir, bulan puasa kali ini adalah Ramadhan terakhirnya di Jatinangor. Oleh karena itu, ia berusaha menciptakan suasana Ramadhan yang penuh arti di sana. Tantangan yang signifikan pun tak ditemuinya. Sebab, Tata mengungkapkan, dirinya justru sangat menikmati tiap detik pada bulan suci kali ini.
”Justru karena menjalaninya sendirian, aku jadi benar-benar bertumpu pada Tuhan,” ucap Tata merangkum pengalaman berpuasanya tahun ini.
Berbeda dengan Tata, bagi Ibrahim Arya (22) yang merantau di Depok, Jawa Barat, berpuasa di perantauan sempat jadi tantangan tersendiri. Bagaimana tidak? Bagi mahasiswa asal Padang ini, sejak ia kecil, Ramadhan identik dengan kehangatan keluarga.
”Suasana kebersamaan keluarga membuat semangat berpuasa terasa lebih kuat. Tapi, yo, di perantauan, aku harus menciptakan suasana tersebut sendiri,” ucap mahasiswa Teknik Komputer Universitas Gunadarma tersebut, Selasa.
Bagi Ibrahim, sebagai mahasiswa rantau, ia kerap merasa kesepian ketika jauh dari keluarga. Terlebih, saat satu per satu teman seperantauannya harus pulang kampung lebih awal. Sementara itu, Ibrahim yang masih memiliki jadwal riset harus menunda kepulangannya dekat-dekat hari Lebaran.
Mahasiswa semester akhir ini merasa tak lagi punya banyak kegiatan. Ia merasa harus pandai-pandai mengisi hari dengan berbagai aktivitas agar tak kesepian dan bermalas-malasan. Namun, di samping itu, ia belum memiliki penghasilan sehingga harus mengirit uang bulanannya.
”Dilema banget pokoknya mahasiswa semester tua kayak aku ini. Puasanya sendiri itu berkah, kesepiannya itu yang musibah. Ha-ha-ha,” ujar Ibrahim tertawa getir.
Baca juga: Mudik yang Dirindukan Gen Z
Akhirnya, karena butuh kehadiran orang lain untuk meramaikan suasana, ia pun melebur dengan warga lokal dan perantau lainnya di Kelapa Dua, Depok. Ia bergabung jadi bagian ”pasukan subuh” alias para warga yang keliling membangunkan untuk sahur. Bahkan, Ibrahim ikut mengoordinasi dan menjaga anak-anak yang terlibat.
Beduk masjid yang dibawa berkeliling pun jadi penambah keramaian. Biasanya, mereka berkumpul dari pukul 02.30, lalu berkeliling. Ibrahim mengungkapkan, kebanyakan anak warga lokal yang ikut masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Namun, mereka memiliki semangat yang luar biasa.
Pengalaman ini membuatnya sadar, menghabiskan Ramadhan jauh dari rumah bisa mendatangkan cerita-cerita yang tak kalah berkesan.
“Di rumah, suasana dan tradisi keluarga memang memberikan kehangatan. Namun, di perantauan, ternyata aku juga bisa menciptakan momen-momen berharga bersama teman-teman,” ucapnya.
Sementara itu di Yogyakarta, Rusdy Wastu (22) asal Bogor, Jawa Barat, menikmati bulan puasa dengan cara lain. Banyaknya masjid di Yogyakarta yang menyediakan takjil gratis membuat ia merasakan semangat tinggi dalam berburu takjil. Namun, ketika merasa berat badannya mulai naik, Wastu, demikian panggilannya, mulai makan dengan porsi secukupnya.
“Gue cari makanan buat berbuka tergantung kebutuhan juga. Misalnya, gue beli makanan yang kaya protein atau beli sayur saat merasa lagi butuh lebih sehat,” tutur mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, pada Kamis (4/4/2024).
Wastu bercerita, setiap bulan Ramadhan, Kota Pelajar itu penuh dengan berbagai Kampung Ramadhan yang menyediakan bazar makanan. Salah satu yang paling dikenal adalah Kampung Ramadhan Jogokariyan. Kepadatan di wilayah itu berlangsung hingga magrib. Suasananya pun membantu para perantau seperti Wastu tak merasa kesepian.
Selain Kampung Ramadhan, Masjid Kampus UGM menyediakan makanan untuk umum. Bahkan, termasuk saat sahur. Kesempatan ini membuat para mahasiswa dan warga sekitar harus bersiap di masjid sekitar satu jam sebelum sahur.
“Pokoknya asik banget, deh. Makanya gue kalo Ramadhan di perantauan itu nggak mikirin uang, nggak mikir bakal lapar,” ujar Wastu.
Sahur jadi tantangan
Tak hanya merasakan euforianya, Wastu juga merasakan tantangan puasa di perantauan: sulit bangun tidur untuk sahur. Hal ini, menurutnya, terjadi karena ia biasa dibangunkan keluarganya.
“Karena kesiangan sahur, jadinya kalah war untuk berburu makanan sahur juga,” ungkapnya.
Baca juga: Menemukan Makna dalam Kegiatan Sukarelawan
Tantangan yang sama dirasakan oleh Isti Adilia (21), mahasiswa asal Bandung yang berkuliah di Institut Pertanian Bogor. Karena sering bergadang, ia kerap kebablasan tidur hingga azan subuh. Menurut Isti, alarm pun sering kali kurang mempan membangunkan rasa kantuknya.
“Caraku menghadapinya adalah sahur di jam 1 atau 2 dini hari ketika masih terbangun, atau minta dibangunin teman lewat telepon,” ungkapnya, Rabu (3/4/2024).
Isti merasa, buka bersama (bukber) juga kadang menjadi tantangan bagi sebagian mahasiswa rantau yang berusaha berhemat. Menurutnya, bukber tak perlu bertempat di restoran atau kafe. Kebersamaan merupakan aspek yang lebih penting.
“Buka puasa cukup undang teman ke kos dan siapkan bahan makanan bersama,” pungkas Isti.
Di balik keceriaan berbuka bersama dan berkeliling membangunkan sahur, terdapat momen-momen para mahasiswa rantau menghadapi kesepian dan rindu akan keluarga. Meskipun begitu, Ramadhan menjadi cara mereka untuk lebih mengenal teman ataupun diri sendiri. Tak lupa, juga untuk lebih menghargai momen bersama keluarga.
—
Hasil kolaborasi dengan intern harian Kompas, Chelsea Anastasia, mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dan Kamila Meilina, mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.