Tak Cukup Buang Sampah pada Tempatnya
Buang sampah meninggalkan masalah jika tidak dipilah. Anak muda tak diam dan memilih bergerak untuk mengelola sampah.
Pesan buang sampah pada tempatnya sudah tak lagi cukup. Membuang saja tanpa disertai upaya pemilahan sampah dari hulu tetap berujung penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir. Di tengah kondisi ini, sejumlah anak muda bergerak mencari penyelesaian.
Beberapa bulan lalu, tertangkap di media sosial, seorang nenek, warga Tejokusuman, Yogyakarta, berurusan dengan petugas Satuan Polisi Pamong Praja Yogyakarta karena kedapatan meletakkan lima plastik berisi sampah di dekat jembatan Kali Winongo, Yogyakarta. Petugas mengingatkan sang nenek untuk tak melakukan aksi itu.
Bukan tanpa alasan sang nenek meninggalkan sampahnya di dekat kali. Menurut dia, sudah seminggu lebih tukang sampah tak datang. Padahal, iuran mingguan masih dibayarkan. Di kawasan lain di Yogyakarta, berplastik-plastik sampah yang ditaruh di pinggir jalan kian menggunung. Warga kucing-kucingan dengan petugas satpol PP agar bisa meninggalkan sampahnya di tepi jalan.
Kondisi ini merupakan dampak seusai penutupan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan pada Juli 2023. Saat ini tumpukan sampah sudah berkurang meski belum signifikan.
Di sisi lain, anak muda mencari cara ramah lingkungan untuk keluar dari persoalan. Rifqi Dwantara (27) dan Yanuardi Satrio (28), alumni Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, misalnya, memilih membantu warga mengurangi limbah dengan mengambil sampah plastik untuk didaur ulang.
Di bawah bendera Paste Lab atau Plastic Waste Laboratory yang dibangun sejak 2021, Rifqi dan Satrio membangun usaha ekonomi sirkular yang salah satunya menyediakan layanan jemput sampah plastik bagi masyarakat Yogyakarta.
”Kami berharap bisa menjadi ruang edukasi bagi masyarakat dalam mengolah sampah. Dimulai dari mengklasifikasikan sampah organik dan non-organik dari rumah serta tidak malu menggunakan produk daur ulang.” ujar Rifqi di Yogyakarta, Rabu (8/11/2023).
Kami berharap bisa menjadi ruang edukasi bagi masyarakat dalam mengolah sampah.
Selain menjemput sampah, mereka juga bekerja sama dengan bank sampah di Sleman dan para pemungut sampah. Nantinya sampah plastik yang telah dipisahkan dari hulu akan diubah menjadi produk yang unik dan bernilai.
Produk yang dihasilkan Paste Lab, antara lain, top table, meja kafe, kursi, stools, hingga berbagai dekorasi rumah. Ada juga yang bersalin rupa menjadi aneka aksesori, seperti kacamata, jam tangan, jam dinding, tempat gawai, gantungan kunci, asbak, dan tatakan gelas.
Setiap bulan, Paste Lab mampu mengolah hingga 540 kilogram sampah plastik. Ke depan mereka berusaha mengolah lebih banyak lagi. ”Selama TPA-TPA masih penuh, kami merasa belum berhasil,” kata Satrio.
Selain menyelamatkan lingkungan, Paste Lab juga membuka peluang kerja bagi 19 pemuda setempat dan para mahasiswa yang tengah menjajal pengalaman magang.
Baca juga : Generasi Muda Menanti Komitmen Bakal Capres Atasi Krisis Iklim
Tanggung jawab sampah
Pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular juga dijalankan Garduaction atau Garbage Care and Education, komunitas lokal yang berada di dekat area wisata Pantai Parang Kusumo dan Gumuk Pasir, Bantul. Berdiri pada 2015, Garducation dipicu membeludaknya sampah dari Parangtritis dan Parang Kusumo yang baunya menyengat kala itu.
Berkat aksi Garduaction dan kontribusi besar dari masyarakat sekitar, lokasi tumpukan sampah yang dekat dengan gerbang obyek wisata itu bersolek menjadi taman sederhana yang asri.
Ketua Garduaction Hindratna menjelaskan, Garduaction tak hanya mengolah sampah plastik. Mereka juga membuat paving block, batako ringan, pot, dan mainan anak dari sampah yang tak laku di industri daur ulang, tidak bisa busuk, tidak boleh dibakar seperti sampah plastik kemasan saset dan styrofoam.
Ardha Kesuma, Sekretaris Garduaction, menambahkan, ikhtiar pengolahan sampah banyak menghadapi tantangan. Salah satu yang utama adalah masyarakat ogah repot mengklasifikasikan sampah. Semua dibiarkan bercampur dan cukup membayar retribusi sampah agar terangkut. Akibatnya, terjadi penumpukan sampah di TPA.
Hal serupa disampaikan Ida Bagus Mandhara Brasika, founder dari Griya Luhu. Menurut Mandhara, masyarakat harus diajak terlibat langsung sehingga tumbuh rasa memiliki. Bank sampah juga perlu disediakan di berbagai titik.
Ini pula yang dilakukan Griya Luhu sejak 2017. Bermula dari Bali, Griya Luhu menyebar ke Jawa dan Kalimantan dengan menciptakan lebih dari 80 bank sampah.
”Banyak proyek sampah yang dibuat, tetapi tidak menyelesaikan masalah karena masyarakat hanya dilihat sebagai obyek, bukan subyek. (Sampah) harus dikurangi yang ke TPA, kalau enggak, ya, seperti bom waktu,” ujar Mandhara.
Griya Luhu, yang kini digerakkan mayoritas oleh mahasiswa, turut andil dalam advokasi hingga lahirnya dua peraturan gubernur (pergub) yang bertujuan menyelamatkan lingkungan, yakni Pergub Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai dan Pergub Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber.
Secara terpisah, Ruhani Nitiyudo (22), pendiri The Antheia Project, yang fokus pada pengelolaan sampah di Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu, berpandangan, gerakan akar rumput untuk menangani sampah ini sangat baik. Hanya tetap butuh peraturan dan kebijakan yang menaungi sehingga perjalanannya simultan dan jangkauannya luas.
”Satu per satu dari kita bisa beri solusi untuk masalah sampah, tetapi diperlukan upaya bersama,” ujar Ruhani.
The Antheia Project yang berdiri sejak 2020 ini telah masuk ke sekolah-sekolah untuk memberikan edukasi kepada pelajar karena nyatanya para pelajar lebih mau mendengarkan dan mengubah kebiasaannya terkait persoalan sampah. Mereka juga menggelar lokakarya daur ulang sampah untuk ibu-ibu. Selain itu, The Antheia Project tengah gencar pula mengampanyekan aksi say no to styrofoam.
Ruhani yakin aksi anak muda lewat gerakan pengelolaan sampah ini bisa menjadi bahan bakar untuk mendorong pemerintah mengambil sikap. ”Kalau ”kita mau bergerak bersama, pergerakan ini akan makin besar dan efeknya anak muda juga yang akan merasakan karena anak muda akan menjadi penduduk di masa depan,” kata Ruhani.
Kolaborasi dengan Intern Kompas: Nikolaus Daritan, Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma