Yogyakarta Berbalut Suka-Duka
Respek adalah kata kunci untuk mahasiswa perantau di Yogyakarta dalam hidup berdampingan dengan kultur Jawa.
Berjuta suka-duka lahir di Yogyakarta. Magnetnya sebagai kota pelajar mendatangkan puluhan ribu pelajar dari berbagai penjuru Tanah Air yang lantas menjadi ”warga” Yogyakarta. Mereka berbaur, berdinamika, dan merangkai cerita di kota istimewa ini.
”Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan”. Petikan puisi karya Joko Pinurbo itu menjadi kalimat favorit mahasiswa perantau asal Kabupaten Puncak, Papua Tengah, Epison Kulla (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
Son, begitu ia disapa, sudah merantau dan menimba ilmu di Yogyakarta selama 7 tahun sejak masih berseragam putih abu-abu. Saat berangkat, ia tak memiliki ekspektasi tentang Yogyakarta. Ia merantau berbekal perintah dari sang paman yang menyebut Yogyakarta sebagai kota pelajar.
Tujuh tahun berlalu, Son kini penggemar berat angkringan. Selain harga yang relatif murah dan rasa orek tempenya yang lezat, di angkringan Son bisa berinteraksi dengan warga sekitar yang menyambutnya dengan sangat terbuka.
Baca juga : Dilema Muda Terkait Minat dalam Pekerjaan
Ia senang dengan warga yang ingin tahu dan banyak bertanya tentang kampung halamannya. Kadang juga muncul pertanyaan jahil. ”Apakah angkringan ada di Papua?” ujar Son sambil tertawa, mencontohkan warga yang bertanya, Selasa (7/11/2023), di Yogyakarta.
Salah satu pengalaman menggelitik yang dia alami adalah saat pertama kali diwajibkan memakai pakaian adat Jawa oleh sekolahnya berupa belangkon, surjan, dan kain. Perasaannya campur aduk antara kaget, senang, dan bangga dengan pakaian yang belum pernah ia temukan sebelumnya itu.
Soal perlakuan, Son mengaku selama ini tak pernah mendapat diskriminasi dari teman-temannya di sekolah atau di perkuliahan. Justru hubungan Son dan teman-temannya sangat dekat. Hingga kini, Son senang tinggal di Yogyakarta, terutama Sleman karena warga di sana menerimanya dengan hangat dan ramah.
Maria Clarissa Delvi Madur (21), mahasiswi Hukum Atma Jaya Yogyakarta, dan Wenseslaus Jemparu (19), mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Yogyakarta dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur, juga senang tinggal di Yogyakarta dengan kehidupan perkuliahan dan pertemanan mereka yang terbuka. Mereka memiliki komunitas bernama Niang Gejur, dalam bahasa Indonesia artinya rumah berkreasi.
Wences, sapaan Wenseslaus, dan Delvi menganggap penting hidup berkomunitas sebagai mahasiswa perantau. Tujuan dari Niang Gejur adalah sebagai ruang kreasi, saling membantu, bertukar pikiran, dan saling mengenal, serta mengenalkan wajah NTT, khususnya Manggarai. Mereka kerap menggelar acara kesenian, kesusastraan, dan berbagai diskusi.
Pertama kali tinggal di Yogyakarta, Wences mendapati sesuatu yang berbeda. Dia melihat warga Yogyakarta tidak terlalu suka keramaian dan sangat tenang. Berbeda dengan warga di Manggarai yang senang berdansa dan bermusik.
Soal makanan, Wences sangat gemar makan di warung burjo. Menurut dia, burjo memiliki makanan yang variatif, murah, dan memorable sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi.
Kendala bahasa
Di salah satu warung burjo di Jalan Seturan, Agnes Silitonga (22), mahasiswi Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta asal Batam berdarah Batak, menceritakan pengalaman hidupnya di Yogyakarta. Sambil menyantap magelangan, makanan favoritnya, ia mengaku tak sulit beradaptasi dengan warga lokal karena mereka ramah. Ia pun merasa diterima dengan terbuka di kota ini.
”Mudah dan nyaman beradaptasi di sini, let it flow aja aku menjalani kehidupan. Tak perlu strategi khusus untuk dekat dengan masyarakat Yogyakarta,” tutur Agnes, Selasa (7/11/2023).
Namun, Agnes memiliki kendala dalam bahasa. Ia belum menguasai bahasa Jawa. Di sisi lain, ia kerap melontarkan bahasa daerahnya secara tak sengaja. Hasilnya, dia dan orang yang diajak bicara sama-sama bingung.
Cerita unik terjadi ketika ia memesan es teh yang dalam bahasa Batam disebut teh obeng. ”Bu, teh obeng satu,” ujarnya saat memesan. Namun, hingga menunggu lama, pesanan teh obeng miliknya tak kunjung datang. Belakangan, ia sadar sang penjual bingung apa artinya teh obeng.
Angelrey Ellycla Pandey (19), mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma dari Kalimantan Barat berdarah Manado, punya kisah berbeda. Di Yogyakarta, Angel tak hanya menimba ilmu, tetapi juga berkarier dan mengasah ketertarikannya di dunia tarik suara. Ia sudah memiliki lagu yang ia buat dan dimainkan bersama temannya dalam kisah asmara yang ditemukan di Yogyakarta.
Namun, hingga menunggu lama, pesanan teh obeng miliknya tak kunjung datang. Belakangan, ia sadar sang penjual bingung apa artinya teh obeng.
Angel sudah membuktikan bahwa Yogyakarta adalah kota yang ramah. Sambutan masyarakat dan teman-teman yang berasal dari Yogyakarta penuh kehangatan. Namun, terkadang kehangatan itu sulit dipahami karena kendala bahasa.
”Saat datang ke Yogyakarta, aku tak menemukan kota yang kata orang ngangenin, unik, istimewa. Tetapi, aku dapatkan justru ketika aku mengenal orang yang ada di sekitarku,” ujar Angel, Selasa (7/11/2023).
Agus Indy (50), dosen Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, menuturkan, ketertarikan orang datang ke Yogyakarta ada hubungannya dengan nilai Yogyakarta sebagai kota pelajar. Ini menjadi dasar orangtua menyekolahkan anaknya ke Yogyakarta. Yogyakarta dianggap sebagai kota yang memberikan pendidikan terbaik.
Orang Yogyakarta, menurut Indy, menyambut kehadiran mahasiswa perantau dengan sangat senang, terbuka, dan positif meski dalam beberapa tahun terakhir sedikit berbeda cara mereka menanggapi.
Di masa lalu, induk semang menganggap mahasiswa menjadi bagian dari keluarganya. ”Orang membayar telat, jika ada mahasiswa yang tidak punya uang dikasih makanan, itu hal biasa sekali terjadi,” terang Indy, Kamis (9/11/2023).
Seiring waktu, hal tersebut berubah. Semakin lama Yogyakarta mengarah seperti kota besar lainnya. Pola kos-kosan mulai berubah, keluarga kos yang tidak seatap dengan anak kos, bahkan banyak orang luar membuat kos di Yogyakarta. Hal itu menimbulkan pergeseran pola dalam hubungan pemilik dan anak kos serta memunculkan perubahan dalam penerimaan masyarakat dengan mahasiswa. Sifatnya menjadi komersial, berjarak, dan menimbulkan banyak penyimpangan.
Indy juga menanggapi rumor di kalangan mahasiswa bahwa Yogyakarta bukan lagi kota yang murah dan tidak menjanjikan untuk bekerja ketika lulus karena UMR yang rendah.
Bagi mahasiswa perantau, Indy memberikan pesan agar mau berusaha mendekat dan beradaptasi dengan masyarakat serta proaktif berkegiatan untuk berbaur. Indy menyebut banyak orang yang sukses di Yogyakarta dari luar karena mereka berhasil beradaptasi. Kuncinya dimulai dengan belajar berbahasa Jawa.
Kolaborasi dengan peserta program magang harian Kompas, Nikolaus Daritan, mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.