Antusiasme dan Kehati-hatian Pemilih Pemula Tentukan Jagoan
Pengalaman menjadi pemilih pemula sangat mengasyikkan sekaligus menegangkan. Soal siapa jagoan akan dipilih bisa ditimbang-timbang dari sekarang. Mau tanya orangtua, teman, atau medsos?
Warna-warni bendera partai politik marak berkibar menghiasi sisi-sisi jalan raya. Tayangan di televisi pun sudah kerap dipenuhi acara yang memuat wajah calon presiden-wakil presiden, calon anggota legislatif, serta tokoh nasional lainnya. Itu tanda pemilihan umum makin dekat.
Para calon, baik eksekutif maupun legislatif, pun mulai aktif mempromosikan diri berikut tawaran aneka program demi menarik hati dan simpati dari masyarakat. Sementara itu, calon pemilih mungkin sudah mulai menimbang-nimbang calon yang akan mereka ”coblos” pada pemilu yang ditetapkan pada 14 Februari 2024. Atau, mungkin mereka masih bingung menentukan pilihan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Per Juli 2023, oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih tetap pun sudah ditetapkan, yakni 204.807.222 orang. Nama-nama mereka tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Dari jumlah itu, ada 46.800.161 orang pemilih (22,85 persen) berkategori generasi Z. Sebagian dari mereka akan memilih untuk pertama kalinya pada Pemilu 2024, dengan rentang usia 17-21 tahun pada saat pencoblosan nanti. Jika dilihat dari jumlahnya, keberadaan pemilih pemula ini terbilang amat layak diperhitungkan.
Baca juga: Kampus Mendua Menyikapi AI
Salah satu dari mereka adalah Ivana Rosaline Tejakusuma (21). Ivana adalah mahasiswi Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Bina Nusantara, Malang, Jawa Timur. Dia sangat antusias bisa mengikuti pemilu untuk pertama kalinya. Dia bertekad memberikan yang terbaik untuk negara.
”Indonesia adalah negara multikultural. Makanya, aku berharap pemimpinnya (bisa) bersikap adil dan menghargai kepentingan seluruh (pemeluk) agama, suku, dan juga ras. Berpihak pada (kaum) minoritas (juga) bukan berarti meninggalkan kepentingan (yang lebih) luas,” ujar Ivana saat dihubungi dari Jakarta.
Antusiasme dan kegembiraan senada menjadi pemilih pemula juga diperlihatkan generasi Z lainnya. Dua di antaranya Muhamad Rafly Sahdan Putra Reza (18), mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB University dan Kiran Farrell Kumar (17), pelajar Sekolah Menengah Atas Swasta Sang Timur, Jakarta.
Rafly mengatakan, ia sangat berharap pemilu perdana yang akan diikutinya itu nanti bisa menjadi momen yang sangat berkesan. Sementara Kiran meyakini kontribusi suaranya di Pemilu 2024 akan berpengaruh besar pada perjalanan nasib bangsa ini lima tahun ke depan.
”Semoga tak ada kericuhan sesama pemilih karena perbedaan kubu. Perbedaan pendapat dan pandangan akan banyak terjadi saat pemilu. Apalagi banyak adu domba seperti di pemilu sebelumnya. Aku berharap pemilu ini damai, tentram dan lancar tanpa ada keributan,” ujar Rafly, Rabu (25/10/2023).
Dua siswa memasukkan surat suara pemilihan calon OSIS di SMA 1 Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (27/9/2023).
Orangtua dan medsos
Untuk menentukan pilihan dalam pemilu eksekutif dan legislatif nanti Ivana, Rafly, dan Kiran punya strategi beragam. Mereka mengaku sudah mulai mengamati, terutama ketiga pasangan bakal capres-cawapres.
Untuk memutuskan pilihan, mereka mencari masukan dari orang terdekat, seperti orangtua. Ivana mengatakan, ayahnya rajin memberi pertimbangan terkait pilihannya pada pemilu nanti. Salah satu pesan penting dari ayahnya, kata Ivana adalah dia harus bisa mencari dan memilih sosok pemimpin yang bisa menghargai orang lain. Sosok pemimpin yang tegas, berwibawa, dan bijaksana tidak akan sempurna jika tidak diikuti sikap toleran dan menghargai perbedaan.
Selain masukan dari ayahnya, Ivana memanfaatkan informasi media sosial sebagai pertimbangan untuk menentukan pilihan mereka kelak, terutama capres dan cawapres. Platform media sosial yang kerap dia manfaatkan untuk mencari masukan antara lain Instagram dan Tiktok.
Dari kedua medsos itu dia mencari informasi-informasi seputar politik dan Pemilu 2024. Namun, Ivana tetap berhati-hati lantaran informasi yang didapatnya tak sedikit bersifat opini dan mengedepankan kepentingan pribadi pihak tertentu.
Semoga tak ada kericuhan sesama pemilih karena perbedaan kubu. Perbedaan pendapat dan pandangan akan banyak terjadi saat pemilu.
Rafly juga menggunakan media sosial sebagai pertimbangan untuk memilih. Yang ia pakai antara lain Twitter yang kini berganti nama jadi X. Sejauh ini, ia mengaku belum mendapat informasi seperti yang diharapkan dari postingan-postingan yang ada di sejumlah platform media sosial. Padahal, dia berharap bisa mendapat informasi secara lebih mendalam tentang strategi dan tujuan setiap pasangan calon. Dia hanya berharap para calon menepati janjinya saat masa kampanye jika nanti berhasil terpilih.
Sedikit berbeda dengan Ivana dan Rafly, Kiran, yang masih duduk di kelas 12 mengatakan, ia tak mencari secara khusus informasi terkait sosok para calon dari akun-akun media sosial. Kalaupun ada berita-berita terkait pemilu, hanya sekadar lewat saja. Kiran mengaku mendapat masukan setelah bertukar pikiran dengan teman-teman sebayanya.
Antrean siswa saat akan mendaftarkan diri untuk memilih calon OSIS di SMA 1 Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (27/9/2023).
Massa mengambang
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya, Algooth Putranto, mengatakan, kecenderungan pemilih pemula mendapatkan masukan dari orang terdekat, seperti orangtua, adalah wajar dan moderat. Hal seperti itu, menurut dia, sudah ada sejak pemilu-pemilu di masa lalu.
Algooth meyakini para pemilih pemula tadi hingga saat ini masih bersifat seperti massa mengambang (floating mass). Mereka baru akan memutuskan pilihan pada detik-detik terakhir saat akan mencoblos. Sayangnya, yang seperti itu dinilai tidak bagus karena menunjukkan kemampuan mengidentifikasi partai yang sangat rendah.
”Kalau dulu, misalnya, anak-anak PNS akan mengidentifikasi diri ke Golkar, warga Muslim biasanya ke PPP dan yang non-PNS ke PDI. Nah, sejak (Pemilu) 1999 kemampuan mengidentifikasi seperti itu cenderung turun. Diperparah lagi dengan sistem one man one vote sehingga yang penting asal calon terlihat pintar dan populer mereka akan pilih,” ujar Algooth.
Baca juga: Pemilih Muda Menjadi Pertimbangan Partai Politik Menjaring Caleg
Terkait perilaku bermedsos para pemilih pemula, Algooth berpendapat optimismenya terhadap generasi Z, terutama mereka yang kelahiran tahun-tahun terakhir menjelang peralihan ke generasi Alpha. Berbeda dengan mereka, generasi Z kategori awal sudah banyak berkeluarga dan tak lagi berkategori pemilih pemula. Karakter keduanya pun terbilang berbeda dibandingkan kakak-kakaknya.
”Anak-anak generasi Z periode akhir dan juga generasi Alpha punya tipikal sebagai antitesis dari generasi Z. Mereka mirip dengan generasi X yang antitesis generasi baby boomer,” katanya.
Ia melanjutkan, generasi Z periode akhir ini sangat independen. ”Mereka justru anti-medsos dan enggak takut untuk jalan sendiri dan enggak peduli untuk ngegank (membuat kelompok),” ujar Algooth.
Tangan seorang siswa memegang surat suara calon OSIS di SMA 1 Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (27/9/2023).
Kolaborasi dengan Intern Kompas: Nikolaus Daritan, Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.