Kampus Mendua Menyikapi AI
Pemanfaatan AI untuk mengerjakan tugas kuliah bisa membantu, tetapi berisiko menumpulkan kognisi. Lantas harus bagaimana?
Penggunaan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) disikapi secara mendua di kalangan kampus. Ada yang menolaknya mentah-mentah karena dianggap ancaman. Sebaliknya, ada yang melihatnya sebagai alat yang membantu mengerjakan tugas kuliah.
Annika (21), mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta, mulai menggunakan AI untuk mengerjakan tugas satu tahun terakhir ini. Dia diajari teman-temannya yang telah lebih dulu menggunakan beberapa aplikasi AI seperti ChatGPT dan Quillbot.
Setelah mencoba, Annika merasa sangat terbantu aplikasi AI, terutama untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosennya. Proses mengerjakan tugas jadi lebih cepat, dari yang awalnya bisa satu hari penuh menjadi beberapa jam saja.
Satu waktu Annika harus mengerjakan soal ujian berupa studi kasus dari dosennya. Dia mengambil jalan pintas dengan menyalin ulang jawaban-jawaban yang dikeluarkan ChatGPT begitu saja, bahkan tanpa membaca ulang lagi. Tugas itu ia kerjakan hanya dalam waktu dua jam.
Kalau terlalu tergantung pada AI, otak kita juga jadi enggak terlatih bekerja sendiri.
”Aku kayaknya lagi beruntung waktu itu karena enggak sampai ketahuan, tapi aku jadi tidak tenang dan malah jadi menyesal setelahnya. Kalau terlalu tergantung pada AI, otak kita juga jadi enggak terlatih bekerja sendiri,” ujar Annika, Rabu (18/10/2023), di Jakarta.
Karena perasaan bersalah itu, Annika bertekad hanya akan menggunakan teknologi AI sebagai sumber inspirasi saja. Dia tak akan menyalin mentah-mentah jawaban yang diberikan ChatGPT seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya.
Saat ini, akses ke situs-situs AI telah diblokir oleh jaringan Wi-Fi kampusnya. Pemblokiran terjadi tanpa pemberitahuan terlebih dulu dan baru disadari oleh Annika pada 25 September lalu.
Akan tetapi, pemblokiran tidak menghalangi Annika dan teman-teman untuk tetap menggunakan AI. Mereka mencari cara lain agar tetap bisa mengakses situs AI, antara lain, dengan menggunakan paket data pribadi atau Wi-Fi di luar area kampus.
Baca juga: Putar Otak Setelah Tiktok Shop Tutup
Seperti Annika, Muhammad Najmi Rizki (21), mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Negeri Veteran Jawa Timur, juga ikut memanfaatkan AI saat mengerjakan tugas-tugas kuliah. Namun, ia tidak mau percaya begitu saja pada data yang disajikan lewat pencarian AI.
Jawaban-jawaban baik yang diberikan ChatGPT maupun Grammarly, misalnya, menurut Najmi, tidak bisa dijadikan referensi utama. ”Kalau AI agak kurang eligible (memenuhi syarat) buat dijadikan data sumber,” tambahnya.
Najmi menyoroti sikap kampus dan dosen terkait pemakaian AI dalam perkuliahan. Sebagian dosen, menurut dia, ada yang sangat permisif. Sebagian lagi sama sekali tidak menoleransi penggunaan AI di perkuliahan yang mereka ampu.
”Ada teman aku yang langsung copy paste dari ChatGPT. Belakangan dia ketahuan sama dosen. Dia langsung ditegur dan diminta memperbaiki atau nilainya akan dinolkan,” ucapnya.
Najmi mengatakan, kampusnya secara spesifik tidak melarang pemakaian AI dalam perkuliahan. Pihak kampus hanya mewajibkan para mahasiswa menyertakan hasil uji Turnitin pada tugas tertentu untuk memastikan tak terjadi plagiarisme.
Turnitin merupakan layanan deteksi kesamaan berbasis internet dari perusahaan Amerika. Aplikasi ini dipakai untuk mengecek dan membandingkan keaslian sebuah karya tulis dengan berbagai sumber karya tulis lain di internet.
Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, memperingatkan kemungkinan bahaya ketergantungan pemakaian AI tanpa diikuti kemampuan mahasiswa dalam memilah dan memilih secara kritis. Tujuan pendidikan mengembangkan kognisi seseorang justru bisa terancam tak tercapai.
”Ketika terjadi ketergantungan saat mempercayakan sepenuhnya hasil yang diberikan AI, maka hal itu akan menyebabkan aspek mental dari kognisi mahasiswa menjadi lumpuh tak berkembang,” ujar Firman.
Dia mengingatkan, jika mengacu pada proses pembentukannya, AI berasal dari tiga macam data, yaitu data yang terstruktur, data semiterstruktur, dan data tidak terstruktur. Ketiganya bercampur dan menghasilkan informasi baru yang kemudian disajikan oleh AI. ”Kalau dijadikan rujukan, informasi seperti itu meragukan,” papar Firman.
Meski begitu, lanjut Firman, bukan berarti pemanfaatan AI harus dilarang atau dimusuhi sama sekali, masih ada banyak manfaat bisa diperoleh dari AI. Alih-alih dipandang sebagai alat ajaib yang serba bisa, AI seharusnya diposisikan sebagai pendukung di dunia pendidikan untuk membantu proses belajar di luar kelas.
Pemikiran dan pendapat kurang lebih senada juga disampaikan Algooth Putranto, pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya, Kamis (19/10/2023). Menurut dia, teknologi AI bukanlah sesuatu yang baru sehingga setiap dosen sudah seharusnya mampu mengadaptasi hal itu.
Agar bisa mengadaptasi, setiap dosen harus mengembangkan diri dan tak sekadar mengajar alias ”memindahkan isi buku”. Seperti yang juga dia lakukan, dosen harus mampu mengajak mahasiswa memanfaatkan teknologi AI dengan baik. Ketika dosen adaptif, maka mahasiswa mau tak mau akan menggunakan AI secara baik dan maksimal.
Sah-sah saja pakai AI. Masih akan kelihatan kok alur berpikir dan kemampuan si mahasiswa.
”Tetap akan kelihatan kok mana tugas yang pakai AI atau mengombinasikan (ditulis ulang). Sah-sah saja pakai AI. Masih akan kelihatan kok alur berpikir dan kemampuan si mahasiswa. Saya pernah menguji tesis, cukup dengan satu pertanyaan kita bisa membuktikan apa dia paham tesisnya sendiri,” ujar Algooth.
Bagi Algooth, pemakaian AI bermanfaat setidaknya dalam konteks mengurangi dan memudahkan kerja-kerja klerikal alias collecting dan sorting. Namun, untuk urusan membahas dan menganalisis, justru di situ akan terlihat peran dominan manusianya.
”Kalau seseorang, misalnya, membuat penelitian maka setidaknya dia harus mendapatkan apa yang dinamakan esensi dari yang dia teliti. Enggak sekadar yang terlihat, tapi juga yang menjadi intinya. Ilmu pengetahuan kan harusnya seperti itu,” ujar Algooth.
Pada akhirnya, teknologi, termasuk AI, akan seperti pedang bermata dua. Dalam konteks perkuliahan, dia bisa membantu, termasuk dalam mengerjakan tugas kuliah. Sebaliknya, jika digunakan secara membabi buta dan menihilkan etika, dia bisa menyuburkan praktik plagiarisme.
Ikut berkontribusi tulisan: Aghniya Fitri Kamila, intern Kompas, Mahasiswi Jurusan Kriminologi FISIP Universitas Indonesia)