Jarang ”Ngantor”, tapi Tetap ”Cuan”
Bekerja dari mana saja, lalu bisa naik gunung jika sedang penat. Sepertinya asyik, tetapi juga penuh tantangan.

Pekerja kantoran melintasi jalur pedestrian di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (28/4/2021). Saat ini, sebagian pekerja muda memilih bekerja secara digital nomad, tanpa ada kewajiban harus ngantor.
Bekerja dari rumah dan mengenakan pakaian santai memang kelihatan seperti sedang menganggur. Tetapi, bagi sebagian orang, bekerja dari rumah tetap bisa menghasilkan pendapatan menjanjikan. Dengan bermodalkan perangkat komputer dan jaringan internet, para pengembara digital atau digital nomad ini bekerja. Mereka jarang ngantor, tapi tetap bisa memperoleh pendapatan alias cuan.
Ranitya ”Lita” Nurlita (31) sudah bekerja secara remote atau tidak perlu setiap hari datang ke kantor sejak 2017. Ketika itu, kantornya berada di Bandung. Sementara Lita tinggal di Jakarta. ”Sebagian pekerjaan aku kerjakan di kantor, sebagian lainnya di rumah. Belum 100 persen remote,” ujar lulusan Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor ini, dari Bali, Rabu (1/3/2022).
Setelah itu, Lita sempat pindah kerja beberapa kali. Perusahaan tempatnya bekerja yang bergerak di bidang lingkungan hidup kebanyakan berada di luar negeri, seperti Thailand dan Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan ini memberikan jam kerja fleksibel dan tidak memberikan kewajiban ngantor. Sejak saat itulah, Lita mulai bekerja remote sepenuhnya.
Lita dan beberapa pekerja remote ini sering dinamakan digital nomad. Bekerja dengan sistem remote, menurut Lita, sangat menguntungkan karena ada keleluasaan dalam mengatur waktu. Lita bisa bekerja sambil kuliah, traveling, atau mengambil beberapa pekerjaan sekaligus. Sepanjang 2019-2021, Lita bahkan sempat merasakan bekerja sambil traveling keliling Indonesia. Ia hidup nomaden atau berpindah dari satu kota ke kota lain dan menjelajah daerah dari Aceh sampai Papua.
Setelah puas traveling, pekerja yang juga sedang kuliah di School of Government and Public Policy Indonesia ini menetap di Bali. Kota ini sering dianggap sebagai ”surga” bagi para pengembara digital. Bali dianggap menunjang untuk bekerja sambil liburan karena kota ini punya akses dan jaringan infrastruktur komunikasi dan transportasi yang cukup baik. Selain itu, keindahan panorama Bali juga membuat para pekerja merasa sehat fisik dan mental.
”Aku suka banget kegiatan alam. Di Bali gampang banget kalau mau menyelam, tinggal nyemplung. Kalau mau naik gunung juga tidak perlu banyak effort dan pergi jauh-jauh. Selain itu, di Bali ke mana-mana dekat,” ujar perempuan asal Bojonegoro, Jawa Timur, itu.

Ranitya Nurlita berswafoto bersama Sanggar Doka Tawa Tana di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2021. Lita sudah bekerja secara remote atau tidak perlu setiap hari datang ke kantor sejak 2017. Sistem bekerja secara remote memungkinkannya kerja sambil traveling keliling Indonesia.
Lita biasanya mengawali hari dengan jalan-jalan di pinggir pantai. Setelah itu ia akan sarapan dan mulai bekerja. Pekerjaannya biasa berakhir pada pukul 17.00. Kadang-kadang ia berjaga sampai larut malam untuk rapat daring dengan rekan kerja yang berada di belahan negara lain. Ketika sudah merasa jenuh, ia pergi refreshing dengan melakukan berbagai kegiatan.
Tantangan
Meski kelihatannya enak, bekerja secara remote punya banyak tantangan. Para pekerja menghadapi tantangan teknis dan nonteknis. Tantangan teknis seperti sinyal internet ngadat, mati listrik, atau tiba-tiba perangkat komputer rusak. Sementara tantangan nonteknis umumnya berkaitan dengan cara kerja dan mindset orang lain.
”Banyak orang mengira, sebagai digital nomad, pekerjaan saya jalan-jalan atau liburan terus setiap hari. Padahal, ya, enggak. Saatnya harus bekerja, ya, bekerja,” kata Lita.
Lita pernah mencoba work from home di kampung halamannya di Bojonegoro. Saat berada di rumah, orangtua mengira ia sedang liburan. ”Aku susah menjelaskannya. Bagi orangtua, kalau anak pulang berarti liburan. Padahal, aku harus tetap kerja,” ujarnya.
Hal inilah yang menjadi alasan ia memutuskan untuk tinggal dan bekerja di kota lain. Ketika saatnya pulang ke rumah, ia benar-benar bisa meluangkan waktu untuk keluarga.
Tantangan lain yang dihadapi para pekerja adalahjadwal kerja yang tidak pasti, susah mengatur waktu, dan ritme hidup terganggu. Berbagai cara pun dilakukan untuk menyiasati situasi ini, seperti disiplin mengatur jadwal serta membuat target kerja harian dan mingguan.
Senior Project Manager Skilvul Barlian Juliantoro (30) menuturkan, bekerja sebagai digital nomad memiliki tantangan pekerjaan bisa datang kapan saja. Perspektif bekerja dari mana saja itu membuat penugasan bisa datang kapan saja, tanpa mempertimbangkan jam kerja.
”Ini saja saya lagi ngerjain permintaan klien dari jam enam pagi tadi. Ha-ha-ha. Tapi, ini insidental aja, sih, enggak tiap hari. Memang tantangan juga tentang pemahaman (jam kerja) ini, padahal sebenarnya kerja di rumah itu juga ada jamnya,” ungkap Toro.
Untuk membantunya beraktivitas, Toro harus disiplin membagi waktu dan menjaga ritme kerja dan aktivitas bersama keluarga. Meski sesekali terbawa kondisi untuk menunda pekerjaan, ia selalu berupaya memenuhi target mingguan dan harian yang ditetapkan.
Sebelum berlabuh di Skilvul, Toro menjadi project manager di platform donasi Kitabisa.com. Kedua perusahaan ini memberikan fleksibilitas waktu karena perusahaan tak mengharuskan tiap hari datang ke kantor. Sistem bekerja remote memberikan keleluasaan dalam mengatur waktu dan tenaga. Ia tidak perlu berhadapan dengan kemacetan dan problem lain di jalan.

Project Manager Skilvul Cindy Rezma Fanny mengatakan, bekerja remote sangat cocok bagi dirinya yang gampang mager (malas bergerak). Selain itu, ia bisa berhemat karena bekerja dari rumah.
Project Manager Skilvul Cindy Rezma Fanny mengatakan, jenis pekerjaan remote sangat cocok untuk dirinya yang gampang mager (malas bergerak). ”Saya lebih suka tinggal di rumah, memang tipe anak mageran,” kata lulusan S-1 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang itu.
Bekerja remote, menurut Cindy, punya banyak keuntungan. Mengingat pekerjaan ini tak mengharuskan ia untuk pergi ke kantor, Cindy dapat menghemat waktu dan biaya.
Ia sempat bekerja remote dari Malang, Jawa Timur. Demi alasan berhemat, Cindy memutuskan kembali ke daerah asal di Kediri dan bekerja dari sana. Pendapatannya bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, membantu orangtua, dan sebagian ditabung. ”Gaji saya jadi utuh, tidak perlu bayar sewa kos atau biaya perjalanan,” katanya.
Seperti pekerja digital lainnya, ia juga menghadapi tantangan sulit mengatur waktu. Beruntung, perusahaannya memberikan kompensasi libur apabila sudah beberapa kali ia lembur. Waktu libur ini dipakai untuk healing, istilah anak muda zaman sekarang yang berarti istirahat dari pekerjaan.
Selain itu, Cindy juga meluangkan waktu untuk menonton satu episode drama seri ataupun mendengarkan musik dan podcast setiap hari. Dengan cara ini, ia bisa menjaga kesehatan mental di tengah tekanan pekerjaan yang kadang-kadang membuat sakit kepala.
Meskipun aktivitas para pekerja kebanyakan berada di balik layar laptop, bukan berarti mereka tidak bisa berteman atau menjalin hubungan sosial. Berbagai upaya dilakukan untuk tetap berinteraksi dengan manusia. Lita ikut berbagai kegiatan sosial dan lingkungan hidup di Bali. Melalui kegiatan sosial, Lita bisa punya teman baru dan berkontribusi untuk masyarakat.
Cindy melakukan cara lain agar tidak bosan bekerja sendirian. Ia kerap janjian dengan teman-temannya untuk ”ke bar” alias kerja bareng. Bersama teman-temannya, ia janjian bertemu di kafe atau coworking space untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kantor. Kalau tidak bisa bertemu fisik, ia juga bisa janjian kerja bareng secara online.
Cindy merasa puas bisa menjalani pekerjaan secara remote. ”Dulu saya tidak membayangkan akan bekerja dari rumah. Saya pikir suatu hari nanti akan bekerja di kantor. Tetapi, sekarang setelah dijalani ternyata saya lebih suka kerja di rumah,” katanya.
Mengenali diri
Konsultan karier yang juga aktif sebagai kreator konten karier, Vicario Reinaldo, menjelaskan, digital nomad memang bisa menjadi pilihan dalam berkarier. Hanya, sebelum memutuskan untuk menjadi digital nomad, ada baiknya mengenali diri dan tujuan terlebih dulu.
”Dengan mengenali diri dan tujuan, jadi mengerti apakah bisa tercapai kalau kerja digital nomad atau kantoran yang bertemu orang secara langsung. Kalau merasa tujuannya bisa terpenuhi dan apa yang mau dicapai bisa dilakukan dengan menjadi nomad, jelas tidak masalah,” tutur Vicario.
Sebab, bekerja sebagai digital nomad ini memang cukup fleksibel dari segi peran dan waktu. Namun, karena fleksibilitas ini, disiplin menjadi syarat utama yang harus dipunyai agar bisa bekerja sebagai digital nomad. Salah satu cara yang disarankan dan telah dilakukannya adalah membuat jadwal mingguan dan to-do-list yang dievaluasi secara harian juga mingguan.
Baca juga : Dilema Muda Terkait Minat Pekerjaan
”Sebenarnya kerja apa saja, disiplin itu perlu. Tapi, untuk nomad memang kontrolnya ke diri sendiri yang kadang terasa sulit. Tapi, ya, di balik kebebasan, ada tanggung jawab untuk harus membuktikan dengan output,” ujar Vicario.
Kerja digital nomad disebutnya juga mempunyai kelebihan untuk meningkatkan kualitas diri. ”Apalagi kalau yang freelance, teknik bernegosiasi bisa diperoleh dari sini, misal nego fee atau load kerjaan dan lain-lain. Hasil kerjanya juga bisa jadi portofolio untuk memperoleh job lain dan menambah pengalaman,” katanya.
Berbicara kesehatan mental, Vicario menilai digital nomad bukan jaminan bebas dari tekanan mental. ”Kerja apa saja tetap punya potensi stres. Masing-masing punya tantangannya sendiri. Karena itu, yang penting adalah kemampuan untuk mengatasi stres. Dan jangan jadikan kepribadian diri menjadi penghambat,” katanya.

Ranitya Nurlita berfoto bersama anggota Misool Foundation di Misool, Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada Desember 2020. Lita sudah bekerja secara remote atau tidak perlu setiap hari datang ke kantor sejak 2017. Sistem bekerja secara remote memungkinkannya kerja sambil traveling keliling Indonesia.