Anak muda memahami banyak perilaku koruptif yang terjadi di sekelilingnya. Menjelang Pemilu 2024, anak muda semakin jeli memilih wakil rakyat yang jujur.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·4 menit baca
Janji para politikus untuk Indonesia yang lebih baik mulai bertebaran. Antikorupsi masih didengungkan walau samar. Sejauh mana para anak muda mau percaya jika ternyata hasil kerja mereka masih minim karena terlampau terjerumus pada pencitraan belaka.
Kaget? Rasanya tidak. Hasil Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) 2022 yang dikeluarkan lembaga Transparency International pada akhir Januari lalu merosot sampai empat poin. Penurunan paling drastis sejak 1995.
Skor Indonesia dari 38 menjadi 34 poin. Dengan skala 0 untuk sangat korup hingga 100 untuk sangat bersih. Angka ini membawa kembali Indonesia pada skor IPK saat 2014. Sekretaris Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko menilai, amblasnya indeks ini membuktikan strategi dan program pemberantasan korupsi yang diterapkan saat ini tak efektif.
Untuk IPK 2022 ini, hanya ada delapan variabel yang digunakan. Penurunan paling tajam pada variabel IPK tampak pada indikator Political Risk Service (PRS) Internasional Country Risk Guide, yakni dari 48 poin pada 2021 menjadi 35 pada 2022. PRS terkait dengan korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor-impor.
Skor pada variabel Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide juga turun dari 32 menjadi 29. Indeks ini melihat variabel seperti korupsi, risiko perlindungan kekayaan intelektual, kualitas tenaga kerja, serta kekuatan dan kelemahan sistemik negara-negara di Asia.
Kenaikan tipis pada variabel lain akhirnya tak bisa membantu skor IPK keseluruhan. Salah satu yang naik adalah variabel Varieties of Democracy Project, yakni dari 22 menjadi 24 poin. Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menyampaikan, naiknya poin pada variabel Varieties of Democracy dipengaruhi juga dengan tidak adanya pemilu yang diselenggarakan.
Jadi, mari bayangkan skor IPK selanjutnya mengingat pada tahun ini ada persiapan pemilu dengan segala tindak tanduk para politisinya.
Lebih transparan
Sebagian anak muda yang menjadi para pemilih pada 2024 nanti memang awam dengan percaturan politik, tetapi insting dan nalurinya tajam dalam menentukan mana politisi yang jujur atau hanya sekadar jargon kampanye.
Anak muda yang terdiri dari generasi Z dan milenial ini menguasai proporsi suara yakni sekitar 53,8 persen. Berdasarkan data dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada akhir 2022 dari survei terhadap responden berusia 17-39 tahun, kriteria pemimpin yang utama bagi mereka adalah jujur dan antikorupsi. Mereka juga menginginkan pemimpin yang memiliki kemampuan membuat perubahan dan berinovasi.
Gracello Yeshua Davny Bonar (22) atau Cello yang untuk kedua kalinya akan memilih dalam pemilu mengakui, perilaku korupsi telanjur masuk dalam keseharian. ”Korupsi, kan, enggak cuma nyolong duitnya negara. Ngaret masuk kerja atau waktu kerjanya belum selesai, tapi udah pulang ini juga termasuk korupsi,” ujar Cello.
Suka tidak suka, lanjut Cello, banyak anak muda ikut berperilaku koruptif karena melihat contoh para seniornya. Bukannya tidak mau berubah, melainkan ketika ikut masuk dalam sistem yang sudah korup, mereka seakan tidak mempunyai pilihan karena ditekan dari atas.
”Kalau gue, mulai berusaha untuk mulai dari diri sendiri aja dulu deh. Kayak waktu kerja tadi, gue ikuti. Kalau kena tilang, ikuti prosedurnya. Dari keseharian aja, untuk ke arah yang lebih besar walau gue tahu sulit karena kayak udah jadi kebiasaan sama generasi sebelumnya, kan,” tutur Cello.
Berbicara Pemilu 2024, Cello tak muluk-muluk. Pengalamannya pada pemilu 2019 menjadi pembelajaran, termakan kampanye sebuah partai baru yang berisi anak muda dengan semangat antikorupsi yang menyala, Cello pun meyakinkan orang-orang di tempat tinggalnya untuk mau memilih partai dan calon dari partai tersebut. ”Eh, nyatanya isinya, ya, maaf-maaf korup juga. Ha-ha-ha. Jadi, gue belajar, makin dia teriak paling kenceng antikorupsi, hati-hati berarti dia yang paling korup,” ujarnya sambil tertawa.
Calandra Divina Djamil (17) yang masih duduk di bangku SMA berpendapat tak jauh berbeda. Pemilu 2024 akan menjadi debutnya sebagai pemilih. Ada kekhawatiran karena hingga saat ini belum terlihat pemimpin ideal. ”Memang, kalau mau keluar dari masalah yang ada di negara ini, diawali dari enggak korupsi. Yang paling aku tangkap, biar enggak korupsi itu harus transparan informasinya, prosesnya. Jadi, kita semua tahu,” ujar Calandra.
Hal ini juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari yang bisa dilakukan seorang siswa SMA. Misalnya, tidak menggelapkan uang sekolah atau uang kegiatan yang diberikan orangtua dan tidak menyalahgunakan izin dan kepercayaan dari orangtua. ”Ada, kan, yang uang kegiatan Rp 200.000, tapi mintanya Rp 300.000. Atau pergi ke mana, tapi bilangnya ke mana,” kata siswi yang pernah ikut program Sekolah Staf Presiden pada 2022.
Dari program yang diikutinya, ia juga melihat transparansi yang ada dalam benaknya, seperti harus menghadapi tembok tinggi karena taktik politik yang kadung sarat aksi korup. Namun, ia berharap kelak transparansi sistem di berbagai hal dapat terwujud agar tidak ada lagi orang yang korupsi.
”Kalau memang mau bilang antikorupsi, harusnya berani untuk transparansi, ya. Antikorupsi itu bukan cuma gimmick saat kampanye,” ujarnya.
Sejatinya, para anak muda menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Kini, mereka jauh lebih paham meski terlihat awam. Mereka butuh bukti bukan pencitraan saja. Sebaiknya, memang jangan ada korupsi antara kita. Ya, kan?