Sempat bercita-cita bekerja sebagai pengisi suara dan pramugari, Nurulfitri Wisetyaningsih (26) justru meniti karier sebagai peneliti.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
ARSIP PRIBADI
Nurulfitri Wisetyaningsih
Sempat bercita-cita bekerja sebagai pengisi suara dan pramugari, Nurulfitri Wisetyaningsih (26) justru meniti karier sebagai peneliti. Untuk mewujudkan mimpinya, perempuan yang biasa disapa Nuun itu menempuh pendidikan PhD di bidang Clinical Medicine di Imperial College London.
Perjalanan Nuun ke London bermula dari pengalamannya kuliah S-1 di bidang Biomedical Science di Indonesia International Institute for Life Sciences. Pada tahun keempat kuliah, Nuun mendapat kesempatan mengerjakan skripsi di Imperial College London.
”Setelah skripsi, aku merasa ternyata ritme riset itu seru, ya,” ujar Nuun saat diwawancarai di London, Inggris, Rabu (8/2/2023).
Setelah selesai skripsi, ia mulai mencari kesempatan magang di laboratorium. ”Kebetulan juga kinerja bos dan aku cocok. Aku sampaikan kalau ingin lanjut kerja di sini apakah memungkinkan?” tutur Nuun.
Supervisor skripsinya, Dr Vania Braga, kemudian memberi Nuun kesempatan magang selama enam bulan di National Heart and Lung Institute, Imperial College London. Dari pengalaman ini, pintu untuk mendalami dunia penelitian semakin terbuka.
Sekembalinya ke Indonesia pada 2019, Nuun mencoba mendaftar ke beberapa program beasiswa S-2. Sayangnya, jarang sekali ada lembaga beasiswa yang mau memberikan dukungan pendidikan untuk mahasiswa di bidang MRes (Master of Research).
Satu-satunya cara adalah langsung kuliah S-3. Oleh karena itu, Nuun mendaftar S-3 di beberapa kampus di Inggris. Ia juga pernah mengikuti wawancara beasiswa. Beberapa kali mencoba, hasilnya tak sesuai harapan. Namun, Nuun menolak menyerah pada keadaan.
Sambil mencari peluang beasiswa, Nuun bekerja sama dengan dosen di kampus Jakarta untuk membuat review paper. Pengalaman memublikasikan karya ilmiah ini yang kemudian membuat tampilan CV (curriculum vitae) semakin menarik sehingga ia memperoleh kesempatan S-3.
”Salah satu nilai lebih yang mereka lihat adalah aku pernah mengerjakan skripsi di London yang (hasilnya) bisa dilanjutkan ke depan,” jelas mahasiswa yang saat ini sedang meneliti sel kulit pada lapisan pertama dan kedua di tubuh manusia ini.
ARSIP PRIBADI
Nurulfitri Wisetyaningsih
Magang
Sebelum sampai di Inggris, Nuun pernah magang sebagai mahasiswa peneliti di Indonesia, Thailand, dan Singapura. Ia juga memperoleh beberapa penghargaan, seperti peringkat kedua Literature Review Oral Presentation Indonesia International (Bio) Medical Students Congress 2017 yang diadakan oleh Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia. Ia juga pernah menjadi peserta 2nd International Microbial Biotechnology Conference (2016) yang diselenggarakan oleh Universitas Katolik Atma Jaya.
Kuliah S-3 di Inggris, menurut Nuun, sangat menarik. Ia mempunyai keleluasaan untuk mengembangkan riset. Meski tetap bekerja di bawah bimbingan supervisor, Nuun bisa merencanakan dan mengeksplorasi banyak hal.
”Kadang-kadang, namanya masih belajar, aku juga merasa impostor syndrome. Di satu sisi, aku punya kebebasan, tapi di sisi lain aku merasa tersesat di lapangan,” ujarnya.
Impostor syndrome adalah sebuah istilah yang muncul untuk menggambarkan sikap seseorang yang sering merasa ragu atas keterampilan, bakat, dan pencapaiannya.
Menurut Nuun, perasaan ini muncul terutama ketika ia punya rasa penasaran tinggi terhadap obyek penelitiannya. Namun, semakin diteliti, semakin ia menyadari tidak tahu banyak hal.
”Ada perasaan semangat dan terpacu untuk belajar. Tetapi, saat mood sedang turun, aku merasa kok aku enggak tahu apa-apa, ya. Di antara banyak peneliti di sini, aku merasa bukan siapa-siapa,” jelasnya.
Sementara itu, tinggal di London secara keseluruhan, menurut Nuun, juga memberikan tantangan. Ada saat-saat tertentu ketika ia sering merasa kangen pulang. ”Kalau lagi sakit, aku kangen rumah. Kalau di rumah, kan, ada yang memperhatikan. Di sini harus pergi ke rumah sakit sendiri, beli obat sendiri, masak dan makan sendiri,” ujarnya.
Ia beruntung karena di London punya banyak teman. Beberapa temannya adalah diaspora Indonesia yang sudah lama merantau di Inggris. Nuun dan teman-teman sering pergi makan atau menonton film bareng. Kebersamaan ini membuatnya menemukan keluarga baru.
Ketika masih kecil, Nuun bercita-cita ingin bekerja sebagai pengisi suara kartun, seperti Doraemon atau Sinchan. Ia juga ingin jadi pramugari agar bisa keliling dunia. Meski kini menempuh jalur profesi berbeda, Nuun merasa cukup menikmati kehidupan sebagai peneliti. ”Di sini, lingkungan penelitiannya menyenangkan. Pekerjaan dan kehidupan di sini juga menyenangkan,” ujarnya.
ARSIP PRIBADI
Nurulfitri Wisetyaningsih
Nurulfitri Wisetyaningsih
Pendidikan:
- 2021-sekarang: PhD student in Clinical Medicine Research Imperial College London (United Kingdom)
- 2015–2019: Bachelor in Biomedical Science (Sarjana Biomedis) Indonesia International Institute for Life Sciences (Indonesia)
- 2012-2015 High School Diploma Binus School Serpong (Indonesia)
Publikasi:
- Cancers (2020) - Review on EBV mediated signaling in Nasopharyngeal Cancer development. Richardo, T., Prattapong, P., Ngernsombat, C., Wisetyaningsih, N., Iizasa, H., Yoshiyama, H., & Janvilisri, T. (2020). Epstein-Barr Virus Mediated Signaling in Nasopharyngeal Carcinoma Carcinogenesis. Cancers, 12(9), 2441. doi:10.3390/cancers12092441