Jarak ribuan kilometer tidak membuat sejumlah pemuda dari Jepang untuk datang ke Dusun Nganget, Tuban, Jawa Timur. Dengan kasih dan kerelaan hati, mereka menyapa penderita kusta di sana.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·5 menit baca
Seolah sudah biasa orang dengan kusta jarang disapa, apalagi dikunjungi. Merekaterkucilkan, diberi tempat tinggal terpisah dari warga umum. Namun, anak muda Jepang dan Indonesia tanpa rasa jijik dan takut tertular justru mendatangi mereka.
Jarak ribuan kilometer, ketimpangan cara hidup, dan kesulitan berbahasa Indonesia tak menghalangi enam mahasiswa asal Jepang dan lima pemudi Indonesia untuk mengunjungi orang yang pernah kena penyakit kusta di Dusun Nganget, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Empati yang tinggi memampukan mereka menanggalkan rasa takut tertular dan semua kesulitan demi menaikkan rasa percaya diri warga dengan kusta.
Pada Agustus 2022, sebanyak 11 anak muda dari dua negara mengunjungi Dusun Nganget selama selama 14 hari. Rombongan dari Jepang adalah Risa Ogiue, Chiharu Imai, Utaki Ito, Ai Nishida, Rina Matsushita, dan Shunsuke Tsukamura, semua mahasiswa Nanzang University, Nagoya. Usia mereka berkisar dari 20 tahun sampai 21 tahun. Sementara pemudi Indonesia yang bekerja bersama mereka yaitu Kun Kanthi Indah Perwati, Nisrina, Sabila Salsabila, Nadhila Beladina, dan Palupi Habsari.
Mereka bergabung sebagai sukarelawan Leprosy Care Community (LCC) yang didirikan Yuta Takashima (33), warga Jepang yang lebih dari sepuluh tahun tinggal di Indonesia guna membantu orang dengan kusta, sebutan bagi mereka yang pernah sakit kusta. Yuta mendirikan LCC untuk mengurangi diskriminasi terhadap orang dengan kusta.
Sukarelawan senior LCC kemudian mendirikan Yayasan Satu Jalan Bersama yang mengoordinasi kegiatan para sukarelawan dan menghimpun dana untuk membantu orang dengan kusta dan keluarganya.
Kegiatan sukarelawan meliputi kunjungan ke rumah warga di pondok sosial dan panti rehab, serta kerja bakti. Mengobrol menjadi cara untuk menyemangati orang dengan kusta yang merasa rendah diri dan tertolak dari masyarakat. Sebagian besar orang dengan kusta punya cacat pada tubuhnya. Tangan atau kaki kaku, jemari kiting(melengkung), bagian dari jari hilang, hingga kaki diamputasi akibat dari luka yang telat diobati.
Pada kerja bakti, sukarelawan menjadi pengangkut bahan bangunan, seperti batu-bata, batu kali, dan adukan semen. Biasanya mereka bekerja sama dengan warga kena kusta untuk membuat jalan atau membuat saluran air yang warga butuhkan.
Kegiatan itu pula yang dilakukan para sukarelawan di Nganget. Mereka mengunjungi penghuni Panti Rehabilitasi Sosial Bina Laras Kronis Tuban di Nganget yang berjumlah 100-an orang. Panti itu dulunya adalah Rumah Sakit Kusta Nganget. Pemerintah menutup rumah sakit itu lalu membuatnyasebagai panti rehab yang dikelola Kementerian Sosial. Tempat tersebut menampung orang dengan kusta yang tak mau kembali ke rumahnya karena takut kena stigma dari keluarga dan masyarakat.
Selain mendatangi panti rehab, mereka juga mengunjungi warga dengan kusta beserta keluarganya di Lingkungan Pondok Sosial Nganget yang terletak di belakang panti. Pemerintah menyediakan rumah sangat sederhana untuk mereka.
Anak-anak muda itu disebar dalam tiga tim agar warga mendapat kunjungan beberapa kali. Dalam setiap tim, ada sukarelawan dari Indonesia yang sekalian menjadi penerjemah bagi mahasiswa Jepang dan warga.
Ketika berkunjung ke rumah Sumining (55), warga Liposos Nganget asal Mojokerto, Jatim, Rina dengan serius mendengarkan kisah hidupnya. Sabila menerjemahkan cerita Sumining yang nyaris dibuang keluarganya ke hutan karena terkena kusta. Keluarganya takut tertular Sumining yang kaki kirinya diamputasi. Mendengar kisah tragis itu, wajah Rina dan Risa melongo.
”Ho-ho,” ujar Rina dengan mimik wajah serius mencoba memahami kesedihan Sumining yang ditolak saudara kandungnya saat hendak pulang ke rumah orangtuanya usai menjalani pengobatan di rumah sakit kusta.
Kata terima kasih sambil menganggukkan kepala berkali-kali keluar dari bibir Rina dan Risa saat Sumining meminta sukarelawan makan penganan di meja ruang tamu. Melihat para tamu berkali-kali mengambil mengambil suguhan penganan, wajah Sumining semringah. Hatinya senang, para tamu juga menghormati nyonya rumah dengan terus makan dan minum di rumah itu.
”Saudara saya ndak ada yang mau kesini. Hanya anak saya sekeluarga yang mau datang ke sini. Sebenarnya saya sakit hati. Saya kan sudah sembuh, mengapa masih takut ketularan?” katanya lagi.
Sempat "shock"
Kehadiran Shunsuke dan kawan-kawannya ke Nganget memanfaatkan libur kuliah, sedangkan Sabila yang mahasiswa Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, memanfaatkan libur akhir pekan. Nadhila yang kuliah magister Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, harus bolak-balik naik kereta dari Yogyakarta-Surabaya, lalu Surabaya-Bojonegoro untuk ke Nganget, Tuban.
Palupi, Kun, serta Nisrina mengambil cuti dari pekerjaannya di Jakarta dan Surabaya khusus untuk mengunjungi orang dengan kusta di dusun tersebut.
Ongkos naik pesawat pulang pergi Nagoya-Surabaya tidak murah, sekitar Rp 10 juta-Rp 11 juta per orang. Belum lagi uang sakunya. Untuk bisa ke Nganget, para mahasiswa Jepang menabung hasil kerja mereka bekerja di restoran dan menjadi guru les bahasa Inggris. Rina dan Risa yang menjadi guru les bahasa Inggris di negaranya menabung sampai enam bulan untuk bisa datang ke Nganget.
Sebelum datang ke Nganget, para mahasiswa Jepang sudah mendapat edukasi mengenai kusta dan cara penularannya. Pemahaman mendalam akan kusta membuat mereka tak punya keraguan untuk bergaul akrab dengan mantan penyandang kusta. Yuta juga memberikan pemahaman mengenai seluk-beluk kusta kepada sukarelawan asal Indonesia. Itulah sebabnya di antara mereka pantang memberi stigma kepada orang dengan kusta.
Pada pengalaman pertama ke Nganget, Risa mendapat pengalaman mendalam yang mengagetkan. Risa dan lima kawannya biasa menggunakan alat modern dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk urusan toilet. Namun, ketika ikut kemah kerja, mereka harus memakai toilet manual model angsa yang belum pernah mereka lihat.
”Oh, aku sangat shock. Harus bagaimana pakainya?” katanya dengan panik dan mimik lucu saat menirukan kejadian pertama ia menggunakan WC manual.
Ia mengatakan, biasanya selesai buang air besar, ia tinggal menekan tombol penyiraman pada toilet yang ada di Jepang.Setelah kepanikannya mereda, masalah itu selesai dengan upayanya penyiraman air secara manual ke lubang WC, tetapi Risa mengenangnya sebagai pengalaman paling mengesankan. ”Sekarang aku tertawa ingat pengalaman itu,” celoteh gadis cantik itu. Kali ini ia bisa tertawa lebar mengenang kesulitannya menggunakan WC di Nganget.
Anak-anak muda dari Jepang dan Indonesia rela menggunakan masa libur untuk mengabdikan diri kepada kemanusiaan. ”Mereka itu manusia sama seperti kita. Mengapa harus didiskriminasi? Saya akan datang lagi ke sini tahun depan,” tekad Risa dengan nada serius. Keinginan sama datang dari Rina. Demikian pula dengan pemudi dari Indonesia yang bekerja bersama mahasiswa dari Jepang tersebut.
Edukasi tentang penyakit kusta seharusnya terus disiarkan agar masyarakat makin paham bahwa kusta bisa disembuhkan. Apalagi jika penderita segera diobati saat kasus ditemukan.