Nyaman Bekerja dari Mana Saja
Bekerja di mana saja yang masih diterapkan banyak pekerja bukan berarti kebebasan untuk berjalan-jalan. Berjuta rayuan justru menghampiri sehingga selesainya pekerjaan sangat bergantung kepada kedisiplinan diri sendiri.
Bekerja di mana saja atau work from anywhere tetap marak diterapkan meski pandemi telah mereda. Pekerja muda pun beramai-ramai mengisi kafe, taman, atau mal dengan laptopnya. Tak berarti mereka bekerja seenaknya karena rintangan menghampar mulai dari pengeluaran, komunikasi, hingga diri sendiri.
Karina Claudia Syukur (24) tiba di kafe yang nyaman sekitar pukul 14.30. Ia menyapu pandangan dan menjatuhkan pilihannya di kursi membelakangi dinding kaca dekat pintu belakang yang tenang. Bangunan di Bekasi, Jawa Barat, tersebut berinterior mentereng.
Pegawai agensi penjualan daring untuk perusahaan yang ingin mempromosikan mereknya itu lalu membuka laptop. Tak lama kemudian, ia sudah ditemani segelas minuman dingin. ”Sambil menunggu pesanan, saya sudah menyiapkan apa yang harus dikerjakan terus fokus bekerja,” ujarnya, Selasa (10/1/2023).
Internet nirkabel kencang, kerjaan pun lancar. Karina sudah beberapa kali ke kafe yang difavoritkannya itu meski ia juga gemar mengeksplorasi tujuan-tujuan kuliner. ”Lihat-lihat TikTok, Youtube, atau Instagram buat cari tempat yang menarik,” katanya sambil tersenyum.
Sudah empat bulan ia bekerja di agensi itu. Jika di rumah saja, Karina penat juga. Apalagi, pekerjaan bidang e-commerce atau perdagangan elektronik bisa digarap di mana saja. ”Ke kantor hanya seminggu sekali untuk rapat dan memantapkan koordinasi,” ucapnya.
Karina memang bisa memilih lokasi yang dianggap paling kondusif dengan work from anywhere (WFA) atau bekerja di mana saja, tetapi ia tak memungkiri pula kendala-kendalanya. ”Waktu, misalnya kayak enggak dibatasi. Godaannya banyak banget,” ujarnya.
Lantaran jam kerjanya tak saklek seperti karyawan kantoran, Karina siap dihubungi kapan pun. Saat larut malam, ia bisa saja ditelepon koleganya. ”Minta tolong cek atau bikin laporan. Tantangannya, mengatur waktu,” ujar warga Jatimulya, Bekasi, tersebut.
Demikian pula saat teman Karina mengajak untuk mengobrol atau mengabari soal serunya episode terbaru serial yang sedang hits. ”Kalau kerja di rumah juga, di belakang saya kasur. Pas ngantuk, rasanya kasur kayak manggil-manggil pengin meluk,” katanya sembari tertawa.
Walhasil, adaptasi terhadap pandemi yang masih diterapkan banyak pekerja itu bukan berarti kebebasan untuk berjalan-jalan sesukanya. Segudang rayuan justru menghampiri sehingga tuntasnya pekerjaan sangat bergantung kepada kedisiplinan diri.
”Kadang mikir waktunya masih panjang. Ah, entar aja kerjanya. Belum lagi, persiapan keluar lumayan lama. Waktu kerja terpotong,” katanya.
Karina pun harus menyiapkan biaya untuk dua hingga tiga kali makan dan minum per minggu. Setiap ke kafe, ia menghabiskan Rp 50.000-Rp 100.000. ”Memang, belanja harus dibatasi. Syukurlah, pengeluaran saya masih balance. Malah, buat ke kafe-kafe masih termasuk kecil. Saya juga lumayan disiplin soal kerja,” katanya. Ia bosan jika terus dikungkungi tembok. Karina yang ekstrover itu lebih produktif dengan sesekali pergi.
Tantangan komunikasi
Intan Aprilia (28) juga mencari kantor yang memperbolehkannya WFA. Preferensi ini muncul setelah ia bekerja dari rumah di kantor lama akibat pandemi. Sejak Mei 2022, Intan bekerja sebagai content strategist perusahaan teknologi bidang kesehatan yang menerapkan WFA. Ia bekerja dari rumah selama Senin-Jumat.
”Ke kantor buat ketemu doang atau ada acara. Aku bisa dua bulan sekali ke kantor,” tutur warga Sudimara Pinang, Tangerang, Banten, itu.
Ia bisa mengatur waktu lebih baik. Misalnya, ia jadi bisa berolahraga di pusat kebugaran tiga kali seminggu. Selain itu, pengeluarannya untuk makan, jajan, kosmetik, dan transportasi lebih hemat. Macet di jalan tak perlu dirasakan lagi.
”Di rumah juga kerja pakai daster doang,” ujarnya.
Namun, Intan mengakui sejumlah tantangan. Komunikasi perlu waktu. Berbeda dengan bertemu langsung, ia harus janjian untuk rapat virtual dengan rekan kerja di berbagai lokasi di Indonesia dan Eropa. ”Harus lebih proaktif untuk berkomunikasi,” katanya.
Tantangan lain, pentingnya menjaga interaksi langsung dengan rekan kantor untuk sekadar mengingatkan bahwa ia memiliki tim, melepas unek-unek, atau mengobrol.
Selain mengerjakan tugasnya, Intan rata-rata mengikuti rapat virtual 12 kali seminggu. Lama rapat berkisar 15 menit sampai satu jam. Bila suntuk, ia memilih untuk bekerja di kafe bersama teman-teman dari kantor lamanya.
Intan pergi ke kafe sekitar tiga kali sebulan. Intan mematok maksimal pengeluaran sekitar Rp 150.000 sekali ke kafe. Kadang, ia mendatangi kafe yang memiliki penawaran khusus.
Baru sekali Intan bekerja dari luar kota untuk mengganti suasana. Pada September lalu, selama lima hari ia bekerja dari Yogyakarta sekaligus menyempatkan diri menonton stand up komedi Pandji Pragiwaksono. Berkat kesadaran finansialnya, Intan bisa menabung 50 persen dari gaji. ”Intinya, bisa dikontak dan pekerjaan selesai. Harus siap kelola waktu dan keuangan. Aku juga pilih pekerjaan yang WFA dengan prinsip ingin memaksimalkan diri,” kata Intan.
Perbedaan waktu
Sementara Tunjung Adi Rahayu (28) bekerja sebagai staf teknologi informasi sejak tahun 2019. Ia bekerja di Yogyakarta. Sejak pandemi, kantornya memberlakukan aturan bekerja dari rumah hingga akhirnya aturan bekerja dari mana saja (flexible working arrangement) berlaku sejak Mei 2022.
”Kita dituntut ke kantor, misalnya seminggu atau sebulan sekali. Kebanyakan kita kerja kalau enggak di kantor, ya, rumah dan kafe,” kata Tunjung. Dalam sehari, Tunjung bekerja sekitar delapan jam walaupun kadang ada lembur. Ia bisa mengikuti rapat virtual minimal enam kali seminggu. Meskipun demikian, ia bebas mengatur jadwal untuk keperluan pribadi.
Tantangan terkait komunikasi dengan rekan kerja rupanya juga dialami Tunjung. Rekan-rekan kantornya berada di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Belum lagi ada rekan yang bekerja dari Kanada, India, Filipina, dan Singapura. Mau tak mau, perbedaan waktu pun mengganjal.
”Komunikasi jadi tantangan jadi kita menyesuaikan rapat. Kadang ada rapat malam. Over komunikasi enggak apa-apa asal jangan sampai miskomunikasi,” kata Tunjung.
Gadis kelahiran Semarang, Jawa Tengah, ini biasanya bekerja di kosnya di Lempongsari. Akan tetapi, dirinya tak menampik ada kalanya dia juga merasa jenuh. Selain ke kantor, dia sering menjajaki kafe-kafe di Yogyakarta yang nyaman untuk bekerja.
”Aku atur, misalnya sebulan uang makan maksimal Rp 2 juta. Jadi ke kafe bisa seminggu sekali. Tapi, kadang sebulan sekali aku pulang ke Semarang itu bisa ke kafe dua kali seminggu karena banyak temen, kan,” tuturnya.
Pernah, saat ia merasa benar-benar bosan, Tunjung bersama teman-temannya bekerja dari luar kota, seperti Bandung, Malang, dan Bali. Beruntung karena bekerja di perusahaan layanan bepergian, ia tak perlu memikirkan biaya tiket dan penginapan.
”Aku memang prefer WFA, ya. Aku kerja di kafe juga maksimal lima jam itu sudah lama karena aku enggak suka ramai,” ujar Tunjung.
Baca juga: Ujian Dulu, Liburan Kemudian
Kepala Laboratorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (Unas) Jakarta Arni Karina mengingatkan, generasi muda yang mengimplementasikan WFA untuk tidak kebablasan karena lapar mata ketika bekerja di luar. Ia menarik benang merah terkait dengan anak muda yang belum tertarik untuk menabung atau berinvestasi.
”Saya hubungkan dengan masa depan. Kemampuan pegawai pemula membeli kebutuhan urgen saja, rumah, misalnya semakin lemah,” ucapnya. Banyak karyawan memilih untuk menghabiskan uangnya dengan liburan. Kepala Galeri Investasi Unas itu menyarankan, lebih baik gunakan tabungan untuk berinvestasi.