Soegi Bornean memadukan folk pop dengan melodi etnik. Sementara, Ferdiansyah menyalakan semangat untuk merawat musik tradisional dengan bermain kolintang. Demikian pula Sahitya yang mengenakan baju batik saat berkonser.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Meski gempuran musik asing amat gencar, sejumlah seniman muda tak lantas hanyut dalam euforia yang membenam irama anak bangsa sendiri. Mereka menggelorakan kecintaan akan musik tradisional dengan dipadukan irama modern, mengenakan baju bercorak khazanah budaya, hingga digandeng produsen busana.
Rayuan gombal yang bertubi-tubi dari penonton membuat vokalis Soegi Bornean, Fanny Soegiarto, hanya tersipu seraya tertawa kecil. ”Kakak Fanny, I love You. Sayang, saranghaeyo. Mbak Fanny, kasih aku bunga. Foto berdua aja sama aku sini,” seru mereka silih berganti.
Pasangan gitaris Aditya Ilyas dan Bagas Prasetyo hanya berdiri sambil tersenyum-senyum. Paras elok Fanny ditambah suara lembut dan goyangan yang kenes tak pelak menyihir penggemarnya. Sejumlah pengunjung melengkungkan lengannya di atas kepala dengan bentuk hati.
Malam itu, Soegi Bornean beraksi selama hampir satu jam untuk meramaikan Indie Sound Fest di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Rabu (30/11/2022). Pertunjukan dibuka dengan ”Raksa” disusul antara lain ”Haribaan”, ”Semenjana”, ”Saturnus”, ”Samsara”, dan ”Pijaraya”.
Trio pengusung folk pop itu memadukannya dengan melodi etnik. Dalam ”Asmalibrasi” yang viral baru-baru ini, misalnya, karya Soegi Bornean disinkronkan dengan alunan serupa karungut atau kesenian khas Kalimantan Tengah. Mereka mengimprovisasi duet gitarnya untuk menghadirkan lantunan ala kecapi Dayak.
Atraksi Soegi Bornean disambut tepuk tangan penonton yang semakin hiruk pikuk dengan jeritan penonton saat Fanny menyapanya. Lebih-lebih, ia berjoget tanpa alas kaki. “Meski fals, kamu ganteng hari ini,” selorohnya kepada pria necis berkemeja biru yang disambut gelak audiens.
Dendangan trio asal Semarang itu puitis, filosofis, hingga sedikit kontemplatif. Lagu-lagu Soegi Bornean tak lantas bikin dahi mengernyit. Mereka dengan piawai meramu kreasi yang kerap teduh dan melangutkan hingga bikin rileks pendengarnya.
Sembari menyelang dengan membagi-bagikan bunga seperti biasanya, pergelaran tersebut diselaraskan dengan busana mereka. Fanny mengenakan obi dari Toraja dan Ilyas menggunakan batik Pekalongan. Bagas pun memakai batik yang dibeli di Balikpapan.
”Kalau setelan, aku pilih etnik karena suka padu padan baju modern dan tradisional. Ilyas dan Bagas juga nyaman terus ikutan,” ujar Fanny. Tampilan mahasiswi berusia 23 tahun yang turut melestarikan kebudayaan itu ternyata diterima penggemarnya.
Soal musikalitas, ia berekspresi dengan imbuhan pentatonik lantaran keunikannya yang terbilang jarang digeluti. ”Disisipi kata-kata Sanskerta, Bali, dan Jawa juga,” kata Fanny yang memilih Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro itu.
Grup musik yang terbentuk pada 21 April 2019 itu berharap fans-nya ikut terdorong untuk menelusuri kekayaan musik tradisional. ”Enggak nyangka, irama Jawa dan Kalimantan bisa disatukan. Diutak-atik, kok, cocok. Akhirnya, kami sepakati aliran musik Soegi Bornean,” kata Ilyas.
Ia sungguh gembira mendapati generasi muda yang kian antusias mendalami musik tradisional. Gamelan, contohnya, banyak dimainkan warganet. ”Videonya diunggah kemudian viral. Pelan-pelan kelihatan di media sosial. Banyak juga musisi luar yang tertarik mengulik kesenian Nusantara,” katanya.
Ilyas memandang musik Indonesia sungguh seksi di mata dunia. Weezer, contohnya, memanggungkan ”Anak Sekolah”. Sementara, ”Bahasa Kalbu” turut dinyanyikan Dave Moffatt. “The Panturas pakai elemen Sunda. Tohpati juga pernah memasukkan unsur Bali. Masuk juga kalau disilangkan,” ujar Bagas.
Melestarikan budaya
Ferdiansyah (20) juga menyalakan semangat untuk merawat musik tradisional. Bersama teman-temannya yang berhimpun di Sanggar Bapontar, ia bermain kolintang. ”Hampir setiap minggu, saya manggung. Sambil melestarikan warisan budaya juga,” katanya.
Awalnya, Ferdiansyah sering nongkrong lalu diarahkan pengelola sanggar di Setiabudi, Jakarta, tersebut untuk berkesenian. ”Tahun 2014, saya masih SMP, diminta main kolintang daripada main saja. Orangtua saya tinggal di sebelah Sanggar Bapontar,” ujarnya.Ia pun jatuh cinta dengan kolintang. Pagi hingga sore, karyawan hotel itu bekerja dilanjutkan mengasah kemampuan bermusiknya. ”Malamnya, latihan dua jam. Saya mau main kolintang sampai tua. Kalau punya anak, saya akan menumbuhkan minat yang sama,” katanya.
Sanggar dengan anggota yang berjumlah sekitar 100 orang, termasuk penari-penarinya itu, pernah mengiringi penyanyi ternama, menerima hadiah sepasang sepeda dari Presiden Joko Widodo, hingga perjamuan untuk rombongan tamu di Istana Negara, Jakarta.
Sahitya tak ketinggalan pula meramaikan belantika musik Tanah Air dengan keetnikannya. Band yang digawangi vokalis Alyssa Zahra, drumer Amanda Nazwa, kibordis Kadek Jovita, gitaris Nashita Nashwa, dan basis Gitari Putri itu sudah berkali-kali menjuarai festival.
Lewat kidung berbahasa Sunda, ”Es Lilin”, yang beraransemen kekinian, umpamanya, mereka menggondol juara harapan II Bhinneka Music Festival di Jakarta, September 2022. Lagu ”Rayuan Pulau Kelapa” dan ”Damai Indonesiaku” menggenapkan nasionalisme Sahitya.
Gamelan yang dihadirkan di panggung meyakinkan dewan juri untuk ikut mengganjar Sahitya dengan piagam penghargaan. Mereka terlihat memakai batik Papua berwarna hijau. ”Pentas di mana dan kapan pun pakai batik. Wajib karena memang karakteristik kami,” kata Amanda sambil tersenyum.
Diajak produsen
Mereka sekaligus menyelipkan motivasi bagi rekan-rekan sebayanya untuk bangga berbatik. Ikhtiar Sahitya memboyong alat musik tradisional juga mendatangkan nilai plus. ”Beneranlive (langsung). Bukan meng-input suaranya dalam kibor,” kata Kadek, murid SMA Negeri 5 Kota Tangerang, Banten.
Personel-personel lain Sahitya duduk di SMA Negeri 1 Kota Tangerang. Band beraliran pop rock alternatif yang berdiri sejak 27 Juli 2019 itu beranggotakan siswi-siswi berusia 16-18 tahun. Setelah ”Rasa” dan ”Jangan Ragu”, mereka tengah menyiapkan lagu barunya untuk dirilis pada tahun 2023.
Bahkan, penampilan Sahitya memikat beberapa produsen batik untuk mengajak mereka mengenakan pakaiannya saat berpentas atau endorse. ”Kami pakai berbagai batik juga biar modelnya lebih dikenal. Kalau formal, kesannya begitu-begitu saja, tapi dimodifikasi jadi keren dan modis,” ujar Alyssa.
Pesona musik tradisional yang tetap menyala diungkapkan Eros Djarot. Penggubah lagu kawakan itu menggelar Bhinneka Music Festival dengan target diikuti 20 band. ”Kenyataannya, 35 band membawakan lagu-lagu tradisional. Ketimbang tawuran di jalan,” ujar Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis itu.