Berkenalan dengan Istilah Unik di Kampus
Di kampus ternyata banyak istilah unik yang menunjukkan identitas kampus tersebut. Istilah-istilah ini menunjukkan kreativitas mahasiswa sekaligus menjadi bagian dari identitas mahasiswa.
”Kita nongkrong di Kansas, yuk!”
Tenang, itu bukan ajakan untuk pergi ke Amerika Serikat, tetapi ke Kantin Sastra. Di kampus, banyak istilah menarik berseliweran yang kadang membuat dahi mengernyit sekaligus mengundang tawa atas kejenakaannya.
Baru-baru ini, di akun Instagram milik Pers Suara Mahasiswa (Suma) Universitas Indonesia, Depok, muncul unggahan tentang akronim unik yang digunakan secara informal di lingkungan kampus. Sebutlah barel (belakang rel), kutek (kukusan teknik), takor (Taman Korea), dan bikun (bis kuning).
”Akronim-akronim itu banyak dipakai di kampus. Karena banyak mahasiswa baru yang enggak tahu akibat pandemi, kami membuat konten itu supaya mereka tahu,” kata Dian Amalia Ariani (21), Pemimpin Redaksi Suma UI, di Depok, Jawa Barat, Rabu (5/10/2022).
Masih ada banyak singkatan khas lainnya yang dipakai di UI. Misalnya, jakun atau jaket kuning merujuk pada jaket almamater kampus yang berwarna kuning. Adapun istilah kantin Dallas (Dalam Lindungan Allah SWT) yang berada di bawah mushala kawasan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).
Di sekitar kampus, ada juga istilah Jembor alias Jembatan Aborsi yang menunjuk pada jembatan penyeberangan orang (JPO) yang menghubungkan Stasiun UI dengan daerah Pondok Cina yang sangat curam. Bahkan, ada singkatan untuk dosen, seperti Rektor UI Ari Kuncoro yang disebut Arkun sejak pemilihan rektor lalu.
Dian tidak tahu sejak kapan berbagai istilah tersebut muncul di UI. Namun, menurut mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk menyingkat kata demi memudahkan pengucapan sehingga terbawa sampai lingkungan kampus.
Dian menjelaskan, penggunaan istilah unik tersebut muncul secara dinamis mengikuti perkembangan situasi kampus. Di UI dulu ada istilah spekun (sepeda kuning) dan kantin Balsem (balik semak) yang kini menjadi Takor. Yang pasti, banyak civitas kampus yang juga memakai istilah ini, termasuk mahasiswa, dosen, staf kampus, hingga penjual di kantin dalam konteks pergaulan.
”Akronim ini untuk memudahkan identifikasi juga. Kantin Dallas di FMIPA itu, selain karena terletak di bawah mushala, anak FMIPA di UI punya stereotip kalau mereka terkenal religius. Jadi, ada banyak alasan penamaannya,” tutur gadis asal Sumatera Selatan ini.
Identitas diri
Penggunaan istilah unik di kampus tersebut rupanya bisa berperan sebagai salah satu elemen identifikasi diri bagi para mahasiswa. Mereka bisa mengetahui mana orang yang merupakan bagian dari sivitas akademika atau orang awam dalam percakapan.
Itulah yang dilakukan oleh Angela Sunaryo (20), mahasiswa Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung (ITB). ITB juga memiliki banyak akronim dan sebutan unik yang dipakai di lingkungan kampus yang berada di Bandung, Jawa Barat, itu.
Beberapa di antaranya Lapmer (Lapangan Merah), tempat nongkrong DPR (Dibawah Pohon Rindang), kantin BR (Black Romantic), kolam Intel (Indonesia Tenggelam), dan Plawid (Plaza Widya Nusantara). Tempat-tempat ini merupakan tempat andalan mahasiswa untuk nongkrong, mengerjakan tugas, menggelar acara kampus, hingga berfoto.
Istilah terkenal lainnya adalah Lapcin alias Lapangan Cinta yang sebenarnya merujuk pada Lapangan Segitiga. Lokasinya tak jauh dari FSRD. Konon, kata Angela, tempat ini dinamai Lapcin karena pernah ada orang yang menyatakan cinta di situ dan diterima. Placin biasa digunakan sebagai tempat nongkrong dan kegiatan kampus.
Angela adalah mahasiswa angkatan 2020 yang tidak mendapat tur kampus karena saat itu puncak pandemi. Alhasil, dia sempat bingung dengan istilah-istilah tersebut saat pertama masuk kampus secara tatap muka. Tempat yang disebut tak ada di peta resmi ITB. Seiring waktu, dia jadi terbiasa setelah bertanya.
”Kalau memakai istilah itu membuat aku sadar kalau aku udah lama di ITB soalnya maba juga jarang tahu. Aku sudah jadi bagian dari kampus jadi pas masuk kampus enggak linglung cari tempat. Kalau mahasiswa baru pas masuk pintu utama tanya satpam dulu,” tutur perempuan asal Bekasi, Jawa Barat, ini.
Angela mengaku istilah-istilah itu juga membuat percakapan menjadi luwes dan nyambung saat bertemu alumni. Alasannya sederhana, mereka jadi memiliki kedekatan personal.
Sama seperti Dian, Angela tidak terlalu mengetahui jelas sejarah penamaan ulang tidak resmi lokasi-lokasi kampus yang khas itu. ”Kakak tingkat juga enggak menjelaskan, sih. Penyebarannya juga dari mulut ke mulut jadi enggak tahu kebenaran ceritanya,” ujar Duta Kampus ITB 2022 ini.
Di Yogyakarta, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mempunyai istilah sendiri. I Putu Gede Eka Praptika (21), mahasiswa Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), tahu beberapa istilah yang digunakan di kampus, khususnya yang ada di dekat fakultasnya.
Putu yang berasal dari Bali mencontohkan, ada istilah bangtem (bangku hitam), bangjo (bangku hijau), Kansas (Kantin Sastra), kantin Bonbin (Kebun Binatang), dan Pujale (Pusat Jajanan Lembah) UGM. Banyak cerita beredar kenapa beberapa istilah ini muncul.
Bonbin, misalnya, memiliki beberapa versi. Mengutip Kagama.com, situs alumni UGM, Bonbin yang didirikan mendiang Rektor Koesnadi Hardjasoemantri ini berada di bawah pepohonan rindang. Versi lainnya adalah karena fasilitas Bonbin masa itu agak kumuh karena masih menggunakan tenda terpal.
”Saya pribadi merasa merasa keren dan gaul, ya, ketika menggunakan istilah itu karena punya kosakata lebih bervariasi. Saat mengobrol dengan teman luar fakultas atau orang luar kampus, orang yang mendengar jadi penasaran. Ada juga rasa belonging sebagai sivitas FIB UGM,” kata mahasiswa angkatan 2019 ini.
Kreativitas yang kritis
Istilah-istilah di kampus itu muncul bukan tanpa sengaja. Istilah-istilah ini biasanya merujuk pada obyek, karakter khas yang ada di tempat atau benda tersebut, ataupun legenda yang diwariskan turun temurun.
Pengamat komunikasi dan gaya hidup Idi Subandy Ibrahim berpendapat, kemunculan istilah atau akronim unik di kampus adalah bentuk kreativitas anak muda dalam berbahasa. ”Bagi orang yang menjunjung berbahasa formal ini bisa dianggap merusak, tetapi orang lain bisa melihat ini sebagai pengayaan bahasa,” tuturnya.
Baca juga: Awas Jebakan Kesibukan!
Pada dasarnya, lanjut Idi, istilah tidak resmi yang muncul itu adalah bagian dari bahasa gaul untuk berinteraksi dengan riang. Selain itu, penggunaan istilah unik, gampang, nan jenaka tersebut merupakan penanda bahwa para anak muda terasosiasi pada identitas tertentu. Mereka jadi berbeda dengan kelompok lain yang tidak menggunakan istilah tersebut.
”Mereka membentuk komunitas yang diangankan, yaitu gaul dan terdidik, baik secara sadar atau tidak. Istilah itu menjadi pengikat di kampus. Untuk lingkup yang lebih luas, bisa dilihat contohnya dari bahasa gaul yang menggabungkan bahasa Indonesia dengan Inggris di kalangan kelas menengah,” kata Idi.
Apabila ditelaah lebih jauh, istilah unik di kampus juga mengandung kritik. Fenomena itu bisa terlihat dari istilah Jembatan Aborsi di UI yang sering diledek bisa menggugurkan kandungan jika dilewati ibu hamil. Jembatan yang sangat curam ini sudah sering dikritik karena tidak ramah ibu hamil dan orang lansia sehingga sudah banyak permintaan pembuatan underpass.
”Bisa terlihat bahwa kreativitas berbahasa para mahasiswa juga mengandung kritik yang meledek keadaan dan menertawakan diri sendiri. Seperti jembor, mereka meledek kondisi jembatan yang sangat curam itu,” kata ujar Idi.