Awas Jebakan Kesibukan!
Anak muda rentan merasakan produktivitas toksik, tetapi jarang menyadarinya. Mereka merasa bersalah jika tidak melakukan sesuatu yang produktif, seperti teman-teman lain.
Siapa yang pernah merasa bersalah jika sedang tidak melakukan sesuatu yang produktif saat melihat orang lain sibuk? Hati-hati, bisa saja itu merupakan gejala produktivitas toksik. Di era yang serba cepat dan terkoneksi sekarang ini, anak muda tak luput dari sikap negatif ini, tetapi banyak yang belum sadar.
Delima Purnamasari (22) sudah sangat familiar dengan kata sibuk. Mahasiswa Program Studi Hubungan Masyarakat di Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” (UPN) Yogyakarta ini ingat betul bagaimana pada masa awal-awal kuliah dia banyak mengikuti kegiatan kepanitiaan dan organisasi.
”Dulu itu, sempat jarang di rumah itu pun paling cuma buat tidur sebentar. Pas pandemi itu, kan, sempat online, aku pernah ikut tiga kegiatan bersamaan satunya di laptop, HP sendiri, sama pinjam HP Bapak,” kata Delima dari Yogyakarta, Rabu (28/9/2022).
Delima menceritakan, dirinya sengaja memperbanyak pengalaman selain kuliah untuk menambah portofolio saat mencari kerja. Namun, alasan lainnya adalah melihat teman-teman yang lain juga melakukan hal yang sama. Masing-masing mencari kesibukan yang bermanfaat yang sering mereka bagi lewat profil di Linkedin atau Instagram.
Untuk organisasi saja, gadis ini mengikuti Lembaga Pers Mahasiswa Sikap, Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP, dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Yogyakarta. Konsekuensi dari kesibukan padat itu tak lama terlihat pada semester lima.
Delima kelelahan karena harus mengerjakan tugas bertumpuk sekaligus mengurus kegiatan di luar kuliah. ”Jadi, berlebihan dan ternyata badan enggak kuat. Aku akhirnya sakit dan istirahat seminggu,” ujarnya.
Rutinitas mahasiswa angkatan 2019 ini sedikit berkurang setelah dia mulai menggarap skripsi tahun ini. Tetapi, tetap saja Delima mencari kesibukan lain, seperti dengan melakukan kegiatan sukarela dan pelatihan secara daring serta luring. Pada tahun ini, gadis ini sudah mengikuti pelatihan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), AJI Yogyakarta, dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).
”Aku merasa bersalah karena membuang-buang waktu mungkin ya. Sering gitu. Untuk menghindari overthinking, jadi aku mending cari kegiatan, apalagi lingkungan di sekitar hampir melakukan hal yang sama,” kata Delima.
Delima percaya segala kesibukan yang dia lakukan akan berdampak positif bagi masa depannya. Alhasil, ia belajar cara untuk menentukan prioritas. Salah satunya adalah dengan mengorbankan waktu main bersama teman dan keluarga di luar kegiatan kampus serta organisasi.
Sementara itu, Aghniya Fitri Kamila juga pernah merasa bagaimana keinginan untuk terus produktif lama-lama berubah menjadi beracun. Aneka kegiatan yang diambilnya sembari berkuliah belum lama ini cukup menyita waktu dan membuat mahasiswa Jurusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, ini kehilangan koneksi dengan lingkungan sekitar.
”Baru sekitar satu atau dua semester lalu aku ngerasain. Setelah aku cari tahu penyebabnya, ternyata yang bikin toksik itu ketika aku lihat orang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing dan aku jadi merasa sebagai satu-satunya orang di dunia yang tertinggal,” ujar Nia yang tengah sibuk menjadi project officer untuk kegiatan ospek jurusannya.
Bagi Nia, menjadi produktif itu cukup penting. Ia pun menyadari melakukan kegiatan sehari-hari secara rutin saja sebenarnya sudah bisa dibilang produktif. Ia mencontohkan, kegiatan sederhana, seperti merapikan kamar setelah bangun tidur, itu bisa diartikan sebagai dirinya sudah mulai berproses di hari itu.
Baru sekitar satu atau dua semester lalu aku ’ngerasain’. Setelah aku cari tahu penyebabnya, ternyata yang bikin toksik itu ketika aku lihat orang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing dan aku jadi merasa sebagai satu-satunya orang di dunia yang tertinggal.
Pemikiran itu timbul ketika dia merasa produktivitasnya tak lagi tepat setelah melihat sekitar. ”Setelah ngobrol dengan beberapa teman yang masuk kategori ’sibuk’ itu, mereka aslinya enggak seproduktif itu. Enggak jarang juga teman mengaku kalau dia hanya ikut-ikutan dan enggak benar-benar nyaman dengan kegiatannya itu,” ucap Nia.
Nia pun mulai mengatur waktu. Di tengah kesibukan, ia tetap meluangkan waktu untuk diri sendiri agar bisa kembali fokus melakukan kesibukan lain. ”Kalau sudah ada tanda overwhelmed, aku biasanya berhenti dan melakukan kegiatan yang aku suka, seperti masak atau beberes sebagai me time. Seketika lupa beban lainnya dan recharge energi,” kata Nia.
Jadi stres
Membandingkan diri dengan orang lain juga dilakukan oleh Silvia Halim (18), mahasiswa Desain Komunikasi Visual Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Selain berkuliah, Silvia punya kesibukan lain, yaitu menerima pesanan gambar digital lewat Instagram sejak tahun 2020.
Silvia melihat itu sebagai kegiatan yang bermanfaat karena bisa menghasilkan uang. Apalagi teman-teman seumurannya juga banyak mulai bekerja paruh waktu, misalnya sebagai penjual di siaran langsung (live) media sosial, seperti Tiktok.
”Itu, kan, pekerjaan yang kelihatan simpel, tapi dapat gaji. Terus aku mikir saat lagi capek atau istirahat, lihat yang lain bisa kerja dan dapat duit, masak aku kuliah doang,” kata mahasiswa angkatan 2022 ini.
Aksi membandingkan diri Silvia ternyata masih berlanjut. Karena sibuk dengan kegiatan di kampus, Silvia biasanya baru bisa menyelesaikan satu gambar pesanan dalam waktu dua minggu. Namun, menurut dia, produktivitas itu masih kurang.
Silvia mengikuti sebuah akun Instagram yang cukup produktif mengunggah gambar setidaknya seminggu sekali. Padahal, pemilik akun itu adalah seorang dokter yang hobi menggambar. ”Aku kaget, sih, parah banget, kok, dia bisa produktif gitu ya. Jadi, ada tekanan untuk bisa seperti dia juga,” tutur Silvia yang berasal dari Jakarta Barat.
Baca juga: Ceria Kembali ke Kampus
Tekanan untuk tetap produktif semakin tinggi baru-baru ini, yaitu ketika ayahnya jatuh sakit. Dia jadi merasa bersalah kalau beristirahat, bahkan hanya untuk sekadar bermain ponsel. ”Aku jadi stres dan burn out. Efeknya aku jadi malas gambar,” ujar Silvia.
Ingat batasan
Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia Eunike Sri Tyas Suci menjelaskan, anak muda perlu mengingat batasan dan peran sosialnya agar tidak terjebak pada produktivitas yang toksik. Hal ini penting karena pada usia muda ini yang menjadi rujukan dalam bertindak adalah teman-teman sebaya (peer group).
”Jadi, kalau melihat teman-temannya mulai sibuk, dia pun mulai ikut agar dianggap normal di lingkungannya. Yang jadi masalah adalah ketika lupa ada batasannya. Dalam relasi sosial, anak muda ini, kan, punya peran yang harus dimainkan, misal seperti menjadi mahasiswa. Ini tetap berjalan baik enggak dengan kesibukannya itu,” ucap Tyas.
Selama aktivitas yang dijalankannya tidak mengganggu kewajibannya dan berimbang, Tyas berpendapat, produktivitas itu belum beracun. Akan tetapi, jika mulai merasa bersalah pada diri sendiri karena merasa tidak produktif saat beristirahat dan melihat teman lain selalu sibuk, para anak muda perlu berhati-hati.
”Sebab, anak muda ini sering kali melihat tidak seutuhnya. Lihat temannya sibuk terus, padahal bisa jadi saat di rumah tidak terlihat temannya, dia juga beristirahat seperti tidur atau nonton Netflix,” ucapnya.
Baca juga:Ubah Nasib Lewat Pendidikan
Ia pun mengingatkan agar kesibukan yang ada sebaiknya tidak mereduksi makna hal-hal wajib yang semestinya dilakukan. Misalnya, saking sibuknya, seseorang bisa makan sambil tetap bekerja atau memeriksa pesan elektronik yang masuk terkait dengan pekerjaan. Aktivitas makan menjadi kehilangan makna karena hanya masuk begitu saja ke dalam tubuh.
Tyas mengingatkan, kesibukan yang menumpuk dan berujung menjadi buruk justru malah mengganggu dan yang terjadi malah sebaliknya, yaitu tidak produktif karena stres dan kelelahan. ”Karena itu, penting untuk mengambil jeda dan mengukur batasan diri untuk mengisi energi kembali, termasuk melatih mindfulness agar terhindar dari toxic productivity ini,” ujarnya.