Bagaimana liputan di lokasi konflik direncanakan dan dijalankan? Wartawan harian ”Kompas” yang baru pulang dari tugas liputan perang Ukraina-Rusia, Harry Susilo alias Ilo, membagikan pengalamannya kepada mahasiswa.
Oleh
BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Bagaimana liputan di lokasi konflik direncanakan dan dijalankan? Wartawan harian Kompas yang baru pulang dari tugas liputan perang Ukraina-Rusia, Harry Susilo alias Ilo, membagikan pengalamannya kepada mahasiswa di enam kampus.
Ilo meliput tragedi kemanusiaan akibat perang Ukraina-Rusia bersama seorang wartawan Kompas lainnya, Kris Mada, selama 40-an hari dari 5 Juni hingga 15 Juli 2022. Mereka masuk ke Ukraina melalui jalur darat dari Warsawa, Polandia, dan tiba di Kyiv. Selanjutnya, mereka bergerak ke beberapa zona perang di bagian tengah hingga timur Ukraina, seperti Bucha, Irpin, Borodyanka, Kharkiv, Zaporizhzhia, dan Sumy.
Ilo tidak hanya mengabadikan banyak foto bangunan yang hancur, penderitaan warga yang kehilangan harta dan sanak keluarga, pemakaman baru, tetapi juga solidaritas kemanusiaan yang tumbuh di tengah-tengah perang. Liputan difokuskan pada dampak perang terhadap kemanusiaan dan inisiatif, sekecil apa pun, yang mendukung upaya perdamaian.
Ilo dan Kris Mada, antara lain, menulis tentang para petani yang lahan dan gudang gandumnya hancur akibat perang, keluarga-keluarga yang terpisah akibat perang, serta warga yang terpaksa setiap hari menelan obat tidur karena trauma pada perang. Di tulisan lain, Ilo dan Kris melaporkan para pekerja kelab malam yang berjuang mengumpulkan makanan untuk disalurkan kepada warga korban perang.
”Apa pun alasannya, perang berdampak besar pada warga sipil yang tidak tahu apa-apa soal politik. Kalau kita melihat nasib korban perang, kita tidak akan pernah mendukung pihak mana pun yang mengambil jalan perang untuk mengatasi masalah,” ujar Ilo dalam putaran pertama acara luring ”Wartawan Kompas Berbagi Cerita Liputan Perang di Ukraina”, di enam kampus, yakni Universitas Diponegoro (Undip) dan Unika Soegijapranata (Semarang), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” (UPN) Yogyakarta, dan Universitas Islam Indonesia (UII) pada periode 12 September-15 September 2022.
Sebelumnya, acara serupa digelar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, secara daring pada akhir Agustus. Acara seperti ini akan dilanjutkan untuk putaran berikutnya di kampus-kampus lain.
Selain menceritakan dampak perang, Ilo juga membagi pengalaman bagaimana merencanakan, memitigasi risiko, melindungi diri dari kemungkinan serangan, dan melaksanakan peliputan di lokasi konflik. ”Perencanaan dan persiapan peliputan perang mutlak dilakukan untuk meminimalkan risiko di lapangan. Tentu wartawan yang datang ke lokasi perang tidak ingin menjadi korban,” ujar Ilo.
Mitigasi risiko yang dilakukan, antara lain, ialah merancang jalur-jalur komunikasi, menyiapkan jalur evakuasi dalam situasi darurat, mengenakan pelindung diri, seperti rompi dan helm antipeluru, serta masker dan pakaian khusus untuk menangkal kemungkinan serangan senjata kimia.
Beban rompi antipeluru
Di setiap kampus, Ilo menawarkan kepada peserta acara merasakan beratnya rompi dan helm antipeluru. Mendapat tawaran itu, sejumlah mahasiswa dan dosen berebutan untuk mencobanya selama beberapa menit, salah seorang di antaranya Pandu, mahasiswa Ilmu Komunikasi UNS. Setelah mengenakan rompi dan helm itu, ia berlari ke beberapa sudut tempat acara berlangsung.
Saat ditanya bagaimana rasanya memikul beban rompi dan helm antipeluru. Dia menjawab dengan gaya berseloroh, ”Ternyata beban rompi dan helm antipeluru lebih berat dari beban kuliah.” Sontak hadirin tertawa mendengar jawaban Pandu.
Ilo menjelaskan, rompi antipeluru yang ia bawa beratnya sekitar 10 kilogram, sementara helm antipeluru 3 kilogram. ”Kami mesti memakainya selama berjam-jam saat liputan untuk mengurangi risiko terburuk, yakni mati tertembak. Di luar rompi dan helm, kami mesti membawa aneka peralatan liputan, mulai dari kamera, laptop, alat komunikasi satelit, hingga drone,” kenang Ilo yang juga pernah meliput konflik akibat serangan teroris di Marawi, Filipina, tahun 2017.
Risiko meliput di lokasi perang, lanjut Ilo, sangat tinggi. Dia memaparkan data yang menunjukkan, sejak Februari hingga Juni 2022, ada 32 jurnalis dan 2 pekerja media yang tewas saat meliput, 15 di antara mereka tewas saat meliput perang di Ukraina.
Redaktur Pelaksana Harian Kompas dan Kompas.id Adi Prinantyo menambahkan, Kompas mau repot-repot mengirim dua wartawannya ke medan perang Ukraina-Rusia karena terikat pada komitmen menjalankan jurnalisme lapangan. ”Kerja jurnalistik itu harus berdasarkan verifikasi fakta di lapangan secara ketat. Tidak bisa bikin berita berdasarkan asumsi atau sekadar mencomot postingan dari media sosial orang lain. Jurnalis mesti melihat, mendengar, merasakan langsung apa yang terjadi di lapangan. Karena itulah, meski risiko dan biayanya besar, kami tetap mengirim wartawan ke lokasi konflik. Tentu dengan perencanaan dan mitigasi yang matang.”
Lebih paham
Ruth Wanaomi, mahasiswa semester tiga Ilmu Komunikasi UNS, mengaku menjadi lebih menghargai kerja jurnalistik setelah mendengar langsung pengalaman jurnalis yang hadir di lapangan secara langsung di lokasi konflik. ”Ternyata kerja jurnalistik itu sangat detail dibandingkan dengan kerja konten media sosial. Semua hal direncanakan, termasuk risikonya. Ini memerlukan skill, pengetahuan, dan pengalaman yang tidak main-main,” ujar Ruth.
Hal senada disampaikan Nisa Nursiyah, mahasiswa Ilmu Komunikasi Atma Jaya Yogyakarta. ”Saya sekarang dapat gambaran lebih jelas bagaimana kerja jurnalis di lapangan, terutama yang terjun di medan perang. Sharing pengalaman seperti ini penting sekali bagi mahasiswa ilmu komunikasi. Saya jadi tertarik pada bidang jurnalistik, apalagi liputan jurnalistik itu beragam, ada liputan politik, konflik, sampai gaya hidup. Kayaknya keren bisa jadi saksi mata di berbagai peristiwa,” ujar Nisa.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS Ismi Dwi Astuti Nurhaeni berpendapat, pengalaman yang dibagikan wartawan Kompas peliput perang Ukraina sangat bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen Ilmu Komunikasi dan Hubungan Internasional. ”Ini akan membekali tidak hanya teori atau pengetahuan jurnalisme, tetapi juga pengalaman riil di lapangan seorang jurnalis,” katanya.