Banyak mahasiswa dari keluarga kurang mampu yang berhasil mencatat prestasi tinggi.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·6 menit baca
Tak sedikit anak muda dari keluarga dengan finansial yang kurang memadai berhasil menembus perguruan tinggi hingga lulus. Bukan pula sekadar sarjana dengan nilai memuaskan, mereka pun aktif dalam berbagai organisasi, bahkan magang di perusahaan bergengsi.
Tak ada batasan bagi Muhammad Zidni Subarkah. Mahasiswa program studi Statistika Universitas Sebelas Maret (UNS) ini sukses mengembangkan hasratnya di bidang menghitung dan teknologi dengan bukti nilai akademik yang mumpuni dan sederet prestasi dalam berbagai kompetisi mentereng. Bahkan, mahasiswa angkatan 2019 ini juga tetap aktif berorganisasi. Ia juga menjadi asisten dosen di beberapa mata kuliah yang ada di program studinya, seperti basis data, algoritma dan pemrograman, rancangan percobaan, dan jaringan saraf tiruan.
”Kendala yang dialami memang manajemen waktu karena saya termasuk orang yang aktif dalam lomba dan organisasi, tapi bisa teratasi dengan time schedule yang saya tepati. Jika kegiatan cukup padat, saya akan menerapkan target dalam time schedule secara terstruktur,” ucap Zidni ketika berbincang, Jumat (9/9/2022).
Sepanjang kuliahnya, Zidni telah banyak mengikuti lomba analisis data, infografis, dan karya tulis ilmiah yang menghasilkan piala dan prestasi seperti Juara 1 LKTI NAESS UNS 2021, Juara 2 Lomba Infografis Statistics Festival UGM 2021, dan Juara 3 Mahasiswa Berprestasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNS 2021. Ia pun merasa perlu untuk mengasah kemampuan soft skill (keterampilan lunak)sehingga pilihan untuk berorganisasi dijalaninya. Ada dua organisasi yang diikuti, yaitu Himpunan Mahasiswa Statistika dan Unit Ilmu Qur’an Ormawa Kerohanian Islam UNS.
Berbagai kepanitiaan, bahkan kesempatan ditunjuk sebagai pembicara, juga tak dilewatkannya. Haus akan ilmu dituntaskannya juga dengan mencari dari sumber lain berupa pelatihan dan magang. Beberapa pelatihan juga dijalani di perusahaan-perusahaan bonafide.
”Ini berguna untuk mengasah dan mempraktikkan ilmu yang sudah di peroleh di kampus. Juga, melatih saya bekerja. Kadang, ada beberapa kegiatan yang bersamaan atau harus dikerjakan dalam satu waktu, tapi, kembali lagi ke time schedule tadi,” jelasnya.
Apa pun yang dilakukannya merupakan kado bagi orangtua Zidni yang bekerja sebagai buruh di Bantul, Yogyakarta. ”Saya berusaha kuliah dengan lancar karena sangat menyayangi kedua orangtua. Mereka banting tulang demi memenuhi pendidikan saya. Saya ingin meringankan beban mereka, salah satunya dengan memperoleh beasiswa,” ujar Zidni yang merupakan penerima beasiswa Bidikmisi yang kini menjadi KIP.
Cum laude
Tak jauh berbeda dengan Rayan Afif yang merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang. Rayan yang telah lulus pada tahun 2022 dengan predikat cum laude dan menjadi lulusan terbaik dalam waktu 3 tahun 10 bulan ini mengaku, semua berkat perjuangan orangtuanya yang mengelola pertanian tebu.
”Sebagai petani, orangtua selalu berupaya terus mencapai mimpi menyekolahkan tiga anak setinggi-tingginya. Harga jual tebu yang fluktuatif setiap tahun tentu jadi tantangan, bagaimana mereka harus mengatur keuangan untuk tiga anak agar tetap bisa sekolah tinggi,” tutur Rayan.
Ketertarikan pada dunia komunikasi membawanya jauh berpetualang lewat pengalaman magang, freelance (bekerja lepas), dan organisasi yang ditekuninya sepanjang sekolah dan kuliah. Freelance yang ia jalani beragam, dari desain grafis untuk klien nasional maupun internasional, menjadi fotografer wisuda, hingga membesut usaha rintisan bersama rekannya yang fokus pada tugas pembuatan situs, aplikasi, hingga animasi.
Beberapa bulan lalu, ia juga mengikuti Magang dan Studi Independen Bersertifikat dari Kemendikbud. Dari program ini, ia diterima magang di Halodoc sebagai Junior Graphic Designer. Di perusahaan rintisan yang bergerak di bidang kesehatan ini, ia berkesempatan membuat desain visual seperti iklan untuk aplikasi, daring, sampai cetak. Ia juga kerap didapuk memberikan pelatihan desain grafis dan menjadi pembicara berbagai acara.
“Senang, tapi juga menantang. Apalagi, ketika harus bisa cari uang sendiri untuk jajan sehari-hari melalui proyek sampingan saat menjadi freelancer semasa kuliah sejak awal semester. Harus bisa ngatur waktu banget terkait pekerjaan sampingan dan kuliah,” jelas pria yang semasa kuliahnya juga aktif dalam organisasi kepemimpinan AIESEC dan risetnya terbit pada jurnal sinta 2 bernama IPTEK-KOM milik Kemenkominfo.
Tak minder
Tak pernah terlintas pula keminderan dalam benak Herayati (25) meski ia anak pengayuh becak. Tak hanya kuliah di perguruan tinggi terbaik, perempuan asal Cilegon, Banten, yang akrab disapa Hera itu mampu meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) cum laude.
Dalam empat tahun saja hingga 2018, ia sudah menuntaskan S-1 Program Studi Kimia FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,77. Langsung melanjutkan S-2 dengan program dan kampus yang sama, ia sudah lulus setahun kemudian atau 2019.
”Saya menghabiskan satu semester di Universitas Chulalongkorn (Bangkok, Thailand) dengan IPK 3,88. Kalau ijazah, tetap ITB,” ujarnya. Kini, Hera menjadi dosen Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) di Serang, Banten.
”Kalau kampus saya di Cilegon. Jadi, dosen luar biasa dulu, tahun 2019. Terus, sejak akhir tahun itu sudah dosen tetap,” ucapnya. Hera yang menikah pada tahun 2020 sudah dikaruniai satu anak. Ia menempuh liku-liku hidupnya hingga saat ini dilandasi keyakinan untuk mengubah nasib dengan pendidikan.
Ayah Hera, Sawiri (70), yang biasanya mangkal di Rumah Sakit Krakatau Medika, Cilegon, sudah berhenti menarik becak. Kini, ia menghabiskan hari tua didampingi istrinya, Durah (65). ”Enggak pernah rendah diri. Kalau dengar selentingan, bukan enggak peduli, tapi fokus belajar saja,” ucapnya.
Hera tengah menggapai mimpinya mengenyam S-3 meski belum bisa dipastikan waktunya untuk menapaki jenjang tersebut. Ia juga bertekad untuk meniti karier yang lebih tinggi. ”Saya mau bermanfaat untuk orang banyak. Kalau bisa, berkarya di tempat yang bermacam-macam. Bukan hanya jadi dosen,” ucapnya.
Hera menempuh pendidikannya dengan prinsip pantang menyerah. Ia bersyukur lantaran lingkungan yang tak terpikirkan untuk menyudutkannya. ”Enggak pernah kena bully (perundungan). Ciptakan peluang sebesar-besarnya. Kalau punya kemauan, pasti jalan terbuka,” katanya.
Ia berpesan kepada generasi muda dengan taraf hidup yang kurang mendukung untuk mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi. ”Zaman sekarang, banyak sekali jalannya. Bukan untuk masyarakat mapan, tapi semua. Jadi, jangan pernah menyerah,” ucapnya.
Hera dengan ketaatan yang tinggi terhadap agama membuktikan ketakwaan yang memandunya keluar dari keterbelakangan. ”Harus mau belajar. Sudah banyak bukti. Saya merasakan yang Allah janjikan dalam Al Quran selalu benar untuk mengangkat derajat insan berilmu,” ujarnya.
Usia dini
Psikolog Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Febdi Hermawan menekankan pentingnya motivasi yang perlu ditanamkan kepada anak sejak usia dini untuk meraih pendidikan setinggi mungkin meski dukungan keluarga tak memadai. Jika kemauan diri rendah, seberapa pun besarnya dorongan orangtua akan percuma.
”Mereka yang menuntaskan pendidikan tinggi meski keluarganya kekurangan berarti mampu meretas belenggu strata sosial,” ucap Febdi. Motivasi mahasiswa harus dinyalakan dengan kesadaran untuk meningkatkan taraf hidup yang tak bisa mengandalkan orang lain.
”Sadar, apakah kita mau begini-begini saja. Bukan orang lain yang bisa mengubah nasib, tapi diri sendiri. Jangan menyerah,” katanya. Ia pun sempat mencicipi kegetiran serupa lantaran orangtuanya yang kekurangan. Ayah Febdi hanya montir truk dan ibunya mengurus rumah tangga.
Febdi semula membayangkan kuliah seperti mimpi. Lulusan S-1 dan S-2 psikologi Universitas Gunadarma itu sempat punya usaha sambil mencari beasiswa. ”Saya kuliah tanpa laptop. Pokoknya, saya mikir bagaimana bisa lulus. Kalau putus kuliah, saya buang-buang waktu,” katanya.