Kepemimpinan di Era Digital Kian Menantang
Digitalisasi bak dua sisi mata uang dalam kepemimpinan. Upaya peningkatan kapabilitas dan penguatan jejaring sebagai fondasi utama kepemimpinan dapat terbantu oleh semakin majunya teknologi sistem informasi.
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi bak dua sisi mata uang dalam kepemimpinan. Upaya peningkatan kapabilitas dan penguatan jejaring sebagai fondasi utama kepemimpinan dapat terbantu oleh semakin majunya teknologi sistem informasi. Namun, di sisi lain, banjir arus informasi yang dipicu pengembangan digitalisasi berisiko mengaburkan fokus dalam tercapainya visi dalam kepemimpinan.
Dalam sesi konferensi yang menjadi rangkaian acara Kompasfest 2022 Presented by BNI hari kedua, Sabtu (20/8/2022), Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menyampaikan tiga kunci utama untuk membangun sikap kepemimpinan yang inklusif, yakni fokus dalam mengejar tujuan, tidak berhenti mengembangkan kapabilitas, serta terus memperluas jaringan pergaulan.
”Salah satu kunci utama untuk menjadi pemimpin yang baik adalah visioner. Jadi, jangan pernah melihat posisi kalian hari ini saja, melainkan harus tahu apa yang kalian mau lakukan, apa yang mau kalian tuju ke depan,” ujarnya di hadapan puluhan anak muda peserta konferensi.
Memimpin secara inklusif, lanjut Erick, perlu mengakomodasi kepentingan luas sehingga perlu mengelola ego pribadi dan ego sektoral secara cermat. Sayangnya, di era digitalisasi, upaya menyusun kebijakan yang inklusif semakin menantang. Pasalnya, derasnya arus informasi membuat upaya pengawasan dan kontrol secara seimbang (check and balance) semakin sulit.
”Mengelola ego itu sulit karena pemimpin mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Lalu, saat ego sudah mampu dikontrol, baru kita bisa bicara ketegasan dan keterbukaan. Jika tidak mampu mengelola ego, maka ketegasan maupun keterbukaan pemimpin akan melengkung, artinya hanya mengakomodasi kepentingan tertentu,” ujarnya.
Derasnya aliran arus informasi, menurut Erick, kerap membuat fokus untuk mengejar tercapainya visi kepemimpinan teralihkan. Peredaran informasi palsu yang tak terbendung juga cukup mengganggu upaya pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pemimpin di era digital harus mampu memilah dan memilih informasi secara bijaksana.
Menurut Erick, perkembangan teknologi informasi seyogianya dimanfaatkan oleh para pemimpin dan calon pemimpin untuk meningkatkan kapabilitas personal dan memperkuat jejaring perkenalan. Kedua aspek ini juga menjadi hal yang penting dalam upaya membina sifat kepemimpinan inklusif.
Erick mencontohkan, meski telah terlahir dari keluarga pengusaha, ia tetap perlu meningkatkan kapabilitas dirinya saat memutuskan membangun dinasti perusahaannya sendiri yang fokus di sektor media dan olahraga. Upayanya untuk membangun perusahaannya sendiri tidak akan berhasil tanpa jaringan pertemanan yang dia bangun sejak masa muda.
Hasilnya, Erick tercatat menjadi orang Asia pertama yang memiliki tim basket NBA, yaitu saat ia mengakuisisi mayoritas saham klub Philadelphia 76ers pada tahun 2012. Ia pun pernah menjadi pemegang saham mayoritas di salah satu klub raksasa sepak bola Italia, Inter Milan, dan klub sepak bola liga MLS Amerika Serikat, DC United.
”Selain bisa mendapatkan kemudahan dalam setiap urusan, dengan berjejaring kalian akan mendapatkan masukan positif dan negatif untuk introspeksi diri. Anak muda di era media sosial harus pandai berjejaring secara positif. Jika tidak mampu berjejaring maka kalian hanya akan jadi penonton,” ujarnya.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra, dalam rekaman video yang diputar pada rangkaian konferensi Kompasfest 2022 Presented by BNI, Sabtu, menyampaikan bahwa efek negatif dari disrupsi digital dalam aspek sosial perlu diantisipasi agar banjir informasi tidak menyebabkan perpecahan masyarakat.
”Media sosial yang dirancang banyak ahli menyebabkan kecanduan yang luar biasa. Akhirnya jutaan umat manusia terjebak dalam popularitas semu. Mereka berkorban apa pun untuk mendapatkan banyak pengikut. Efek negatif lain dari media sosial menurut buku The Death of Expertise adalah membuat penggunanya menjadi bersumbu pendek,” ujarnya.
Di dunia yang dibanjiri informasi tidak relevan, lanjut Sutta, kejelasan menjadi sebuah kekuatan. Fenomena mencari informasi yang berkualitas muncul di negara-negara maju. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ruang redaksi media arus utama punya kemampuan dalam memilah atau mereduksi bias saat memproduksi sebuah konten sehingga dapat menjamin sebuah kejelasan informasi.
Literasi digital
Sayangnya, berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Kompas, warganet di Indonesia belum banyak yang menyadari perbedaan antara media sosial dan media arus utama. Persepsi masyarakat terhadap media sosial dan media arus utama masih sebangun, yakni dianggap sama-sama menyebarkan hoaks.
”Di sinilah pentingnya sebuah literasi digital. Harapan besar ada di tangan generasi masa depan yang punya kemampuan untuk memilah dan memilih, sebelum menyebarkan informasi,” ujarnya.
Terkait peningkatan literasi digital, dalam konferensi bertema ”The NFT of Tomorrow” dalam rangkaian acara yang sama, Commercial Development Harian Kompas Helman Taofani mengatakan, edukasi publik harus dilakukan sejalan dengan perkembangan dunia digital. Sebagai contoh, literasi mengenai aset kripto dan non-fungible token atau NFT perlu diperkuat agar ke depannya tidak ada pemahaman keliru yang berujung pada kerugian banyak pihak.
”Sudut pandang terkait aset kripto dan NFT ini harus dibenahi. Perlu diingat bahwa keduanya tidak autocuan. Jangan melihat NFT sebagai instrumen investasi, tetapi pandanglah NFT sebagai instrumen untuk memberikan valuasi terhadap kreasi,” ujarnya.
Tahun ini, harian Kompas telah menerbitkan koleksi NFT bertajuk ”Indonesia dalam 57 Peristiwa”. Para kolektor menjadikan aset NFT tersebut sebagai instrumen untuk merawat kepingan sejarah. Sebagian kolektor pun ada yang memetik cerita baru dari masa lalu sehingga cerita lama dapat terawat agar tak lekas hilang dari ingatan.
Literasi digital yang semakin baik akan merangsang generasi muda menciptakan konten digital yang positif dan berkualitas. Dita Guritno, pendiri bersama Inspigo yang adalah platform edukasi berupa podcast, mengatakan, dalam membuat konten, anak muda perlu menyoroti dua hal krusial, yaitu siapa yang menjadi target audiens dan ide kreatif apa yang ingin ditawarkan untuk menjawab permasalahan yang dialami audiens itu.
”Tentukan target pasar dengan bijak dan buat konten yang bisa menjawab problem. Kalau kita coba menjawab kebutuhan target pasar dengan menyediakan solusi, pasti kita akan mendapat ’kue’,” kata Dita dalam sesi ”Podcasting With Purpose: Liberation Through Inspiration in the Era of Content Creation”.
Konten berkualitas
Di Inspigo, Dita mencontohkan, konten-konten dibagi menjadi 14 kategori, antara lain kepemimpinan dan kesehatan mental. Semua konten ini dibuat untuk menjawab problematika yang dialami oleh pekerja muda.
Di tengah banjir konten dan kreator konten, pembuat konten baru akan memerlukan usaha lebih agar konten yang dibuat bisa menonjol. Dita menjelaskan, cara agar bisa menonjol adalah dengan tetap bertumpu pada tujuan pembuatan konten dan konsisten dalam menghasilkan karya. Selain itu, konten yang dihasilkan harus relevan, berdampak, dan berharga.
”Mau mencapai ke titik semua orang mau mengonsumsi konten kita tidak bisa dalam waktu singkat, selalu ada proses,” kata Dita.
Dita melanjutkan, persaingan konten di berbagai platform tidak perlu dikhawatirkan lantaran semua kreator memiliki segmen masing-masing. Pada akhirnya fenomena ini akan membentuk ekosistem digital yang sehat karena membuat para pelaku industri belajar satu sama lain untuk peningkatan kualitas dari segi konten.
Menurut Dita, untuk menyeimbangkan pembuatan konten yang berkualitas tetapi tetap viral, pembuat konten juga perlu belajar tentang pemasaran. ”Membuat konten itu baru 50 persen karena baru separuh jalan, 50 persen lainnya adalah pemasaran,” kata Dita.
Manfaat digitalisasi
Sub-Project Manager BNI Xpora Tryfino mengatakan, kemajuan teknologi yang dimanfaatkan dengan baik mampu memberikan peluang baru bagi seseorang untuk berkarya, terutama kaum muda yang masih duduk di perguruan tinggi. Selain fokus kuliah, mereka bisa mengeksplorasi dunia wirausaha yang berpotensi membuka lapangan pekerjaan baru pada kemudian hari.
Konsep berani berkarya dan menghasilkan sesuatu amat penting untuk bisa terus bertumbuh di dunia serba digital. Mereka dituntut untuk adaptif dan berani mengeksplorasi hal baru. Ia mencontohkan, seseorang yang senang memasak bisa menjual produknya melalui media sosial.
Meski telah banyak produk sejenis yang dijual di pasaran, penting untuk membuat keunikan pada suatu produk. Untuk memasarkannya, bisa melalui media sosial dan laman lokakarya.
”Produktif di masa muda, ekonomi akan bangkit ke depan. Bisa memulai usaha dari hobi yang disukai. Kemudian, mencari momentum yang tepat,” ucapnya.
Kemajuan teknologi digital turut mendorong seseorang untuk lebih memperhatikan kesehatan mental. Stigma negatif kerap kali dilekatkan kepada mereka yang berkunjung ke psikolog. Tak jarang lebih banyak yang memendamnya sendirian dibandingkan dengan harus menanggung malu karena ketahuan datang ke klinik.
Baca juga : Keseruan di Hari Terakhir Kompasfest 2022
Jika berlarut, hal tersebut bisa menghambat seseorang dalam memulihkan diri. Dalam forum ”A Closer Look at Mental Health Status”, Nidya Dwika Puteri, psikolog klinis di AlteaCare, mengatakan, kekhawatiran tersebut mendorong terlahirnya platform digital yang memfasilitasi layanan kesehatan mental. Mereka bisa mengobrol dan bercerita tentang permasalahan yang dihadapi kepada psikolog dan mendapatkan penanganan yang tepat.
Kerap kali seseorang mendiagnosis dirinya (self-diagnosis) berdasarkan gejala yang dirasakan tanpa mengetahui parameternya. Layanan digital tentang kesehatan mental bisa menjadi solusi karena ditangani oleh profesional.