Stigma negatif dari masyarakat membuat orang dengan gangguan kesehatan jiwa sulit pulih. Selain edukasi, ruang interaksi antara orang awam dan orang dengan gangguan kesehatan jiwa mesti diperbanyak untuk mengikis stigma.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, MELATI MEWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma negatif dari masyarakat membuat orang dengan gangguan kesehatan jiwa sulit pulih. Selain edukasi, ruang interaksi antara orang awam dan orang dengan gangguan kesehatan jiwa mesti diperbanyak untuk mengikis stigma.
Menurut pendiri komunitas Griya Schizofren, Triana Rahmawati, orang dengan gangguan kesehatan jiwa masih dianggap membahayakan sehingga sebagian masyarakat takut berinteraksi dengan mereka. Sebagian masyarakat juga mengidentikkan gangguan kesehatan jiwa dengan kegilaan.
Orang dengan skizofrenia (ODS), misalnya, sulit untuk membedakan realitas dan pikiran mereka. ODS memiliki waham atau keyakinan yang tidak nyata akan sesuatu. Ada ODS yang meyakini bahwa dia istri pejabat politik. Ada lagi yang ketakutan untuk makan dengan tangan dan alat makan karena yakin dirinya akan diracun.
”Itu karena dulu (ODS mendapat) bullying (perundungan). Dia diancam mau dibunuh. Karena ketakutan, dia jadi skizofrenia. Tapi, setelah berobat dan didampingi psikiater, dia bisa lulus kuliah dan bekerja,” kata Triana pada sesi daring Kompasfest 2022 Presented by BNI berjudul ”Kindness Makes the World Go Round: Changing the Lives of People with Mental Illness” pada Sabtu (20/8/2022), di Jakarta.
ODS dapat pulih jika mengonsumsi obat secara teratur. Pemulihan ODS akan lebih optimal jika didukung oleh keluarga dan lingkungan sosial. Untuk itu, interaksi masyarakat dan orang dengan gangguan kesehatan jiwa mesti diarusutamakan.
Griya Schizofren mewadahi interaksi tersebut. Melalui kampanye di media sosial, Triana menjaring sejumlah sukarelawan untuk menghabiskan 2-3 jam per pekan bersama orang dengan gangguan kesehatan jiwa.
Komunikasi
Triana menambahkan, keterampilan komunikasi dibutuhkan agar orang dengan gangguan kesehatan jiwa mendapat dukungan yang dibutuhkan. ”Ada seorang anak yang mengomunikasikan kondisi kesehatan jiwa ibunya ke tetangga, termasuk apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan (agar tidak memperburuk kondisi ibunya). Para tetangga malah menjadi support system setelahnya,” ucap Triana.
Adapun perkembangan komunikasi seorang anak dipengaruhi peran orang terdekat atau keluarga yang mau terbuka dan tidak menghakimi. Menurut Nucha Bachri, Co-Founder @parentalk.id, kemampuan berkomunikasi pada anak untuk bisa berbagi cerita kepada orang lain bisa dimulai dari kecil. Misalnya, anak diajak terlibat dalam diskusi dan pengambilan keputusan di dalam keluarga.
Kemampuan berkomunikasi, seperti menyampaikan pendapat dan mau mendengarkan, tidak terbentuk begitu saja. Ada proses panjang yang dilalui. ”Diskusi keluarga mengajarkan mereka untuk berani berbicara dan berpendapat. Pendapat anak kecil itu bukan berarti tidak penting, semua sama berharganya untuk didengarkan,” ucapnya dalam forum Kompasfest bertajuk ”From Us to The Children of The Future”.
Kebiasaan orangtua yang mau mendengarkan pendapat anaknya sangat berdampak terhadap self esteem (harga diri) anak. Saat mereka merasa dihargai, terbangunlah hubungan yang aman, nyaman, dan rasa percaya terhadap orangtua. Sebaliknya, saat anak merasa tidak didengarkan dan dihakimi, mereka akan enggan untuk bercerita dan cenderung tertutup.
Nucha merasa gembira saat anaknya bisa mengungkapkan dan bercerita apa pun ke dirinya. Artinya, mereka menaruh kepercayaan dan menganggap dia sebagai sahabat dekatnya. Kebiasaan tersebut dinilainya amat baik karena jika suatu hari sang anak menghadapi suatu masalah, mereka akan curhat dan tidak memendamnya sendirian. Setidaknya hal ini bisa mengurangi beban pikiran yang dipikul sendirian.
”Jadi, belajar mendengarkan dari mereka. Komunikasi sama anak itu penting banget, ya. Meski, terkadang hubungannya tidak mesti baik, ada hal-hal yang tidak kita pahami. Mereka mau terbuka saja sudah (membuat kita) senang,” ujarnya.
Tak ada yang senang jika pendapatnya dipatahkan. Kerap kali, orangtua merasa lebih tahu segalanya sehingga mengesampingkan perasaan dan pilihan anak. Tanpa menolak mentah-mentah pilihan mereka, orangtua bisa memberikan alternatif pilihan disertai dengan menjelaskan konsekuensi yang mungkin muncul.
Kebebasan untuk memilih dan bertanggung jawab terhadap pilihannya perlu ditanamkan sejak dini. Dalam prosesnya, orangtua tak boleh memaksakan kehendaknya sepihak. Ruang diskusi di antara keduanya perlu dibangun, seperti menjelaskan konsekuensi dari setiap pilihan yang mungkin terjadi. Jika anak tetap bersikeras dengan pilihannya, coba tetap memberikan kesempatan kepada mereka untuk menjalaninya.
Mungkin hasilnya tak sesuai dengan ekspektasi, tak perlu berkecil hati dan menghakimi pilihan itu. Dalam prosesnya, anak justru belajar untuk bertanggung jawab. ”Kita suka mengoreksi anak, tetapi lupa untuk membangun komunikasi yang baik. Ketika mengoreksi, jangan sampai mereka merasa tersudutkan,” ujarnya.