Gigih Berburu Pelatihan Literasi
Kegembiraan dan kelegaan karena bisa mewujudkan apa yang ada dalam benak dan perasaan menghasilkan sebuah karya menjadi penyemangat anak muda untuk terus berburu pelatihan literasi.

Pentas kelompok Badai di Atas Kepalanya di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha tahun 2017.
Kegembiraan dan kelegaan karena bisa mewujudkan apa yang ada dalam benak dan perasaan menghasilkan sebuah karya menjadi penyemangat anak muda untuk terus berburu pelatihan literasi. Tak kenal lelah, mereka terus belajar dan berkarya.
Perasaan seperti itulah yang dialami Ruhan Wahyudi (22), mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Komang Dinda Ayu Kristyana Dewi (23), alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Bali.
Setiap kali seusai melagukan puisi karya para penyair sesuai dengan penafsirannya, membuat perasaan Dinda gembira dan bahagia karena sudah menyampaikan perasaannya atas puisi tersebut kepada khalayak. Rasa itu bagai candu bagi dirinya dan kawan-kawan sekelompoknya untuk terus belajar literasi agar bisa makin piawai menafsirkan isi puisi dan membawakannya lewat lagu dan musik.
Sementara bagi Ruhan, kemampuan membuat puisi, menulis artikel, misalnya tentang resensi buku yang sering diunggah di media terbitan Yogyakarta, membuat ia bisa merasakan momentum dari hatinya dalam menikmati proses literasi yang akan selalu mencatat setiap peristiwa yang ia alami. Lewat tulisan seperti puisi, ia tidak akan melupakan hal tersebut sebab sudah membungkusnya menjadi suatu karya. Ia mengingat moto, dengan puisi, kita akan mengelilingi dunia.
”Yang saya rasakan, menyelesaikan suatu karya adalah kewajiban seorang penulis. Jadi, ketika itu selesai, hati dan pikiran saya mulai tenang sebab menulis satu peristiwa apa yang ada pada diri saya tidaklah langsung sekali duduk jadi,” katanya.
Perkenalan Ruhan dengan sastra terjadi tak terduga. Sejak punya pengalaman karya puisinya dipuji oleh guru madrasah aliyah di Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, Madura, sekitar enam tahun lalu, Ruhan bersemangat membuat puisi. Padahal, awalnya ia merasa tak percaya diri karena ketika bersekolah di madrasah tsanawiyah (setingkat SMP), kawan-kawannya mengolok-olok dia dan menganggap dia tidak pintar.

Acara mingguan berupa kajian sastra puisi di Komunitas Kutub Yogyakarta tahun 2022.
Pujian guru
Ihwal keberanian Ruhan menulis puisi karena melihat dan mendengar gurunya di MA memuji puisi karya kawannya. Terpikir oleh Ruhan, ia pun ingin mendapatkan pujian seperti itu, dan berhasil. Tak hanya mendapat pujian, ia sebenarnya juga mendapat kritik saat mengajukan puisinya yang baru satu-dua bait. Proses dipuji, tetapi juga dikritik menjadi caranya belajar untuk bisa membuat puisi secara utuh.
Melihat puisi karya Ruhan, guru tersebut mengikutkan puisi itu ke lomba menulis puisi di Kecamatan Gapura. Hasilnya, ia menang. ”Dari situ saya sadar bahwa saya tidak bodoh seperti yang dikatakan teman-teman saya di MTs,” ujar Ruhan lewat sambungan telepon dari Sumenep pada Rabu (3/8/2022).
Sejak itu, ia senang menulis puisi. Walau tertatih-tatih, Ruhan tak banyak kesulitan menulis sebab pendidikannya di pesantren membuat dirinya suka membaca buku dan koran. ”Pengurus pesantren sangat membatasi kami memakai telepon seluler. Untuk mengisi waktu, kami mencari bacaan berupa buku-buku. Itu yang sehari-hari kami lakukan,” kata Ruhan menjelaskan asal muasal gemar membaca.

Pentas kelompok Badai di Atas Kepalanya di Rompyok Kopi (Komunitas Ketas Budaya) Negara, Bali, tahun 2021
Dari membaca puisi karya orang lain, Ruhan juga belajar bagaimana cara menulis puisi. Tidak heran, pada tahun 2019 setelah lulus MA, ia menjadi juara pertama lomba pada Hari Puisi yang diadakan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta dan mendapat hadiah uang Rp 9,1 juta. Ia makin percaya diri.
Sadar masih harus banyak belajar, ia kemudian bergabung ke Komunitas Kelas Puisi Bekasi asuhan penyair Budhi Setyawan yang dilakukan lewat Whatsapp.
Pembelajaran dilakukan, antara lain, para anggota wajib membuat puisi satu buah dalam seminggu sehingga setiap bulan harus menyetor empat puisi. Karya itu diunggah di WAG, lalu menjadi bahan diskusi setiap pekan. Kegiatan itu masih ia ikuti sampai sekarang. ”Saya banyak belajar tentang puisi dari cara penyampaian (lewat kata-kata),” ujarnya.
Ketika mulai kuliah, Ruhan juga bergabung ke Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asyari atau Komunitas Kutub di Yogyakarta. Di tempat itu selalu ada kajian mengenai karya sastra. Hebatnya, setiap anggota wajib membaca buku pula sehingga menambah wawasan dan pengetahuan para anggotanya.
Usaha keras belajar mengenai sastra, terutama puisi, membuahkan hasil, antara lain ia sudah membuat buku antologi puisi berjudul Menjalari Tubuhmu di Pundak Waktu yang berisi 90 puisi. Beberapa puisinya juga ada dalam buku-buku antologi puisi yang memuat karya para penyair dalam dan luar negeri. Saat ini ia sedang menyiapkan buku antologi puisinya kedua. ”Semoga ada dana untuk menerbitkannya. Saya berharap tahun 2023 sudah terbit,” ujar Ruhan.

Kegiatan diskusi di Komunitas Kertas Budaya Negara, Bali baru-baru ini.
Antusias
Perkenalan Komang Dinda kepada musikalisasi puisi lebih mulus. Suaranya yang merdu, pembelajaran tentang sastra sejak sekolah di SMP, membuat ia dengan cepat mengenal puisi.
”Waktu belajar musikalisasi puisi di SMP, saya hanya belajar asal saja. Melagukan puisi dengan irama seperti lagu yang sedang populer. Belum ada rasa apa-apa,” kata cewek yang biasa dipanggil Dinda ini lewat telepon pada Kamis (5/8/2022) dari Negara, Bali.
Saat masuk SMA, ia ikut kegiatan ekstrakurikuler drama di sekolah. Perkenalannya dengan pelatihan drama membuatnya mempelajari musikalisasi puisi. Semangatnya untuk belajar sastra makin kuat setelah ia bergabung ke Komunitas Kertas Budaya di Negara yang didirikan Wayan Udiana atau panggilan akrabnya Nanoq da Kansas.
Dari komunitas itulah, Dinda belajar mengenai musikalisasi puisi yang sesungguhnya yang ternyata tak sekadar menyanyikan bait-bait puisi. ”Ternyata sebelum melakukan musikalisasi, harus belajar tentang puisi dulu. Apa makna di balik kata-kata dalam puisi itu, kita harus bisa menafsirkan walau setiap orang bisa beda memaknainya,” katanya.
Tak berhenti sampai di situ, setelah bisa menafsirkan, harus pula memilih iringan musik yang sesuai untuk puisi tersebut serta melagukan sesuai dengan penafsiran. Di kala isi puisi bernada sedih, harus bisa menyampaikan kesedihan dan sebaliknya.
Untuk sampai ke sana, Dinda merasa harus melewati diskusi dan membaca banyak buku puisi. Melihat potensi dan kemampuan Dinda, Nanoq kemudian membuatkan grup musikalisasi puisi bernama Badai di Atas Kepalanya sejak Dinda masih sekolah di SMA Negeri Negara 2. Selain Dinda, ada anggota lain, Ida Ayu Rika Wibawanti Putri (Rika), Indra Anggita (Indra), I Made Yoga Permana Gunawan (Yoga), Samuel Kind Son (Samuel), dan I Kadek Boby Trenaldi (Boby).
Baca juga: Antusias Mengisi Masa Orientasi
Penulis Ratna Ayu Budhiarti, yang tinggal di Bandung dan Garut, kerap kali diminta mengajar kelas sastra. Dalam beberapa pertemuan, katanya, ia hampir selalu bertemu dengan nama-nama yang sama. ”Umumnya para remaja itu tak puas ikut sekali kelas saja, nanti saya beri materi di lembaga lain, eh ketemu mereka lagi,” kata Ratna Ayu.
Salah satu contohnya, saban tahun Ratna diminta mengisi kelas menulis para duta bahasa di Balai Bahasa Jawa Barat. ”Nah, setelah isi kelas itu, nanti pasti ada yang japri saya dan tanya kapan buka kelas secara privat,” ujar Ratna.

Kajian sastra puisi setiap malam Selasa di Komunitas Kutub Yogyakarta yang diadakan tahun 2022.
Beberapa pekan lalu, ia baru saja menyelesaikan program kelas privat bersama beberapa muridnya. ”Mereka di kelas sampai 1,5 bulan dan harus melahirkan karya,” kata Ratna. Mereka yang ikutan kelas privat itu pun, sebelumnya pernah mengikuti kelasnya di waktu yang berbeda.
Antusias anak-anak muda memburu kelas menulis, kata Ratna, dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi. ”Tapi, umumnya, mereka melihat jadi penulis itu keren, maka mereka mencoba meretas jalan jadi penulis,” katanya.