Merebut Kembali Masa Muda
Meski belum sepenuhnya aman, berbagai aktivitas mulai kembali berlangsung seperti sediakala. Anak muda pun memanfaatkan momen untuk merajut kembali relasi yang sempat terbatas jarak. Mereka merebut kembali masa muda.
Meski belum sepenuhnya aman, berbagai aktivitas mulai bergulir lagi seperti sediakala. Anak muda pun memanfaatkan momen untuk merajut kembali relasi yang terkendala jarak. Dari sekadar berbagi cerita, menonton film dan konser musik, hingga menggagas aneka kegiatan yang semula terhenti. Mereka merebut kembali masa muda yang terenggut pandemi.
Rafi Ramadhan (20), mahasiswa semester IV Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, kini sudah bisa tersenyum lebar. Situasi pandemi Covid-19 yang melandai membuatnya bagai kembali menemukan kehidupan masa mudanya yang sempat terenggut pandemi.
”Aku sudah bisa bertemu teman-teman, sudah bisa jalan-jalan ke Sarinah, naik MRT lagi, jalan-jalan ke Kota Tua sebelum kemarin dibetulin. Sudah bisa kembali ke mal, sudah bisa ke museum, sudah bisa lihat pameran, ke TIM, galeri seni. Sudah menonton konser musik kayak Java Jazz, terus juga menonton Aditya Sofyan di Museum Kebangkitan Nasional,” tutur Rafi penuh gembira, Rabu (22/6/2022), di Jakarta.
Liburan semester ini Rafi sengaja pulang kampung ke Ibu Kota. Dari Ibu Kota, Rafi mengikuti semester pendek yang digelar daring. Di sela-selanya, Rafi mulai bisa melakukan banyak hal seiring melandainya situasi pandemi. Namun, ia tetap berusaha bertanggung jawab, menerapkan protokol kesehatan ketat pada diri sendiri.
”Pertama, tanggung jawab dulu sih sama diri sendiri, ke mana-mana pakai masker, selalu cuci tangan. Kita sekarang bebas, tetapi kita juga harus tanggung jawab. Kalau aku, misalnya, menonton bioskop atau konser, aku tanggung jawab, pakai masker, abis itu, setelah sampai rumah, sebelum bertemu orangtua aku bersih-bersih badan semuanya, keramas, jangan sampai kita kotor pas masuk ke rumah atau langsung masuk kamar,” kata Rafi.
Tak hanya saat di Jakarta, saat di Malang pun Rafi sudah banyak kegiatan. Selain mengikuti kuliah hibrida, Rafi juga sudah bisa berjalan-jalan ke sejumlah tempat wisata di Malang. Dia juga terlibat kepanitiaan untuk acara di kampus. ”So far, secara psikis kondisiku sudah baik sekali,” ujar Rafi.
Kita sekarang bebas, tetapi kita juga harus tanggung jawab.
Di masa awal pandemi, Rafi sempat merasa sangat tertekan karena tak bisa keluar rumah untuk beraktivitas. Situasi psikisnya kala itu sangat tak menentu. ”Yang aku rasain pas awal-awal pandemi, terutama sedih ya kalau diinget-inget. Enggak bisa berkegiatan sama sekali, enggak bisa keluar rumah. Apalagi kalau melihat perkembangan grafik Covid-19, kasus bertambah, lihat berita orang meninggal di medsos, aku stres,” kenang Rafi.
Dia makin tertekan karena perkuliahan yang berubah menjadi daring berdampak pada tugas-tugas yang menumpuk. Namun, Rafi tak mau menyerah. Dia mencoba mengatasi perasaan tertekannya dengan berbagai cara, mulai dari sekadar mengobrol di telepon dengan teman-teman, Zoom Meeting, hingga banyak berkomunikasi dengan orangtuanya di rumah.
”Aku juga cari-cari kesibukan di rumah. Kan, aku suka masak, aku bikin jamu. Aku inget banget, tahun lalu aku bikin jamu terus. Karena jalan-jalan enggak mungkin, aku juga suka ikut belanja bulanan orangtuaku ke supermarket. Itu kayak mengobati rindu buat ke mal karena, kan, ke mal enggak boleh waktu itu,” ujar Rafi.
”Healing”
Seperti halnya Rafi yang berusaha keras mengatasi perasaan tertekan akibat pandemi, di kalangan anak muda kemudian muncul istilah healing. Dalam terminologi psikologi, healing, menurut psikolog klinis Dr Diah Karmiyati, pengajar Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, Jatim, secara spesifik diartikan sebagai upaya penyembuhan dari stres atau depresi.
Healing bisa juga berarti refreshing. Caranya bermacam-macam sesuai kemampuan, kesukaan, dan kebutuhan setiap pribadi. Waktunya pun bebas, kapan saja bisa (Kompas, 20/3/2022).
Adinda Farah (22), mahasiswa semester VII Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, melepas penat dengan menonton drama dan reality show Korea. Serial Strong Woman Do Bong Soon menjadi favoritnya, selain juga mendengar musik Korea, seperti BTS dan Blackpink. ”Aku menonton bisa berulang kali. Apalagi yang lucu-lucu,” ujar Dinda.
Baca juga: Melepas Kerinduan di Java Jazz Festival
Mahasiswa yang tengah sibuk magang ini juga mencari cara lain. Salah satunya, belajar memasak berbekal resep dari situs pengumpul resep atau dari Youtube. Menu makanan Korea hingga Eropa dicobanya untuk meredakan stres yang menumpuk karena tak bisa pergi ke luar rumah dan tugas kuliah tiada henti. ”Olahraga juga jadi salah satu healing juga. Biar enggak pegel kelamaan di depan laptop,” katanya.
Semula, Dinda merasa senang bisa mengerjakan segala sesuatu dari rumah. Namun, beberapa bulan tak ada tanda pandemi akan segera usai dan kebijakan untuk tetap di rumah terus diperpanjang, ia mulai merasa jenuh dan lelah. Tidak hanya kuliah, kerja kelompok hingga rapat organisasi pun dilakukan secara daring.
”Sering kali emosi marah dan ngerasa capek ketika perkuliahan berlangsung, tetapi tiba-tiba terkendala sinyal atau teknis lainnya. Perkuliahan daring seperti ini memang kurang efektif, cenderung banyak noise. Namun, bagaimanapun, memang semua sedang masa penyesuaian. Akhirnya malah jadi makin melek teknologi sekarang, ha-ha-ha,” ungkapnya.
Kondisi kini yang mulai kembali seperti sediakala cukup disyukurinya. Ia tak butuh waktu lama beradaptasi. Ia justru lega banyak hal dapat dilakukannya lagi secara tatap muka mengingat ini momen yang ditunggu-tunggu. ”Tapi tetap prokes. Bahkan sekarang rasanya tanpa masker jadi ada yang kurang gitu,” ujarnya.
Khalya Diva (22), mahasiswa semester VII Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, memanfaatkan situasi saat ini untuk lebih sering bertatap muka dengan rekan seangkatannya yang sebagian besar hampir lulus. Setengah perjalanan masa kuliahnya yang semestinya dirasakan dengan berdiskusi bersama teman, bermain, hingga berorganisasi terhalang pandemi.
Ini saatnya untuk beneran bisa terkoneksi lagi dengan jaringan yang ada dan juga teman-teman pastinya.
”Sekarang, aku jadi lebih sering keluar bareng teman pas weekend karena sebentar lagi aku dan banyak teman angkatanku akan lulus. Apalagi posisinya pas pandemi aku ada di semester IV, di mana harusnya aku lagi enjoy organisasi, nikmati suasana kampus, perluas networking, tapi semuanya jadi terbatas,” tutur Khalya.
Kendati begitu, ia sempat menjabat Ketua Ikatan Keluarga Besar Studi Perancis FIB UI 2021. Meski rapat dan kegiatan dilakukan secara daring, ia tetap bersyukur atas kesempatan itu karena membuka jejaring dengan dosen dan alumni yang dinilainya berguna. ”Ini bermanfaat banget. Ini saatnya untuk beneran bisa terkoneksi lagi dengan jaringan yang ada dan juga teman-teman pastinya,” ungkap mahasiswa yang tengah merampungkan tugas akhirnya ini semringah.
Kesehatan mental utama
Bagi Khalya, pandemi pun memberinya makna tentang kemandirian. ”Adaptasi perkuliahan di masa pandemi salah satu yang challenging. Untuk sisi pembelajaran, aku enggak terlalu susah buat beradaptasi dan belajar lebih mandiri. Tapi, dari sisi sosialisasi yang sangat terbatas,” ujar Khalya.
Hal ini sempat membuatnya kehilangan motivasi dan putus asa dalam melihat masa depan. ”Karena rasanya banyak banget waktu yang kebuang saat aku enggak bisa ngelakuin banyak hal,” katanya.
Dalam kondisi ini, Khalya berusaha untuk kembali bersemangat. Padahal, tahun kedua dan ketiga kuliah ini, katanya, adalah waktu yang cukup membuatnya stres karena tugas kuliah menumpuk. Bahkan, akhir pekan pun dihabiskannya untuk menyelesaikan artikel yang menjadi tugasnya.
Proses healing pun dilewati Khalya. Bukan dengan jalan-jalan ke luar kota atau liburan mahal, melainkan cukup dengan tetap terhubung dengan sahabatnya untuk berbagi curhatan dan belajar bersama. ”Selain itu, sebagai escape-ku di saat masa-masa berat kuliah adalah menonton serial TV di Netflix dan ngungkapin keluh kesah sama teman-teman lain yang ada di posisi yang sama,” katanya. Sejauh ini, semua berjalan relatif semakin baik.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, Jatim, Rudi Cahyono, mengungkapkan, dampak pandemi berbeda-beda untuk setiap orang, termasuk bagi remaja. Tidak selamanya negatif.
Baca juga: "Healing" Enggak Harus Mahal
Healing yang dilakukan anak muda, ujarnya, saat ini telah menjadi budaya baru agar orang mulai menempatkan kesehatan mental sebagai hal utama. Selama ini, masyarakat Indonesia lebih mengenal budaya bekerja dan belajar secara keras, kurang memperhatikan kesehatan mental.
”Bicara healing yang sifatnya escape ini tak hanya terkait kesehatan mental, tetapi juga produktivitas karena orang tetap butuh jeda. Bekerja atau belajar makin lama, performa juga cepat turun, harus ada worklife balance. Jadi, selama healing berdampak pada produktivitas, kita ambil positifnya. Ibaratnya, berhenti sejenak untuk kemudian bisa lebih ngegas lagi,” ucap Rudi.
Anak muda, saatnya ngegas lagi. Namun, prokes jangan lupa, ya!