Melepas Kerinduan di Java Jazz Festival
Magangers Kompas Muda mendapat kesempatan terlibat dalam penyelenggaraan BNI Java Jazz Festival 2022 yang berlangsung pekan lalu.
Saat pandemi Covid-19 mulai mereda, ajang festival musik di Indonesia kembali hadir menyapa penggemarnya. Pekan lalu, Java Jazz Festival 2022 digelar selama tiga hari. Selain menikmati musik dengan banyak pilihan genre, Magangers Kompas Muda juga mendapat kesempatan untuk terlibat sebagai tim peliput, media sosial, dan event.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Kompas Muda memberikan kesempatan bagi anak muda untuk terlibat menjadi volunter Java Jazz Festival. Kesempatan ini tentu tak disia-siakan oleh mereka, apalagi tahun lalu ajang musik itu absen.
Tahun ini, 15 mahasiswa dari sejumlah kampus kembali terpilih menjadi wartawan, fotografer, videografer, event organizer, dan tim media sosial Kompas dalam Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2022 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, 27-29 Mei 2022. Sembilan mahasiswa yang menjadi volunter merupakan Magangers Kompas Muda Batch XI dan XII.
Selain menjalankan tugasnya masing-masing, banyak cerita unik yang terukir saat satu pekan berperan sebagai volunter. Semuanya antusias dalam bekerja dan menikmati musik.
Cerita pertama datang dari Tasya Olivia (20), mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. ”Senang dan bersyukur banget dapat kesempatan yang aku yakin ini salah satu pengalaman berharga,” kata Tasya saat dihubungi pada Senin (30/5/2022).
Selama tiga hari, Tasya menjalankan tugasnya sebagai MC di gerai (booth) Kompas. Ia mengajak penonton untuk bermain gim, berfoto di gerai foto, dan memberikan edukasi tentang Kompas.id. Tasya melayani penonton dengan semringah. Semua tugas dilakukan dengan penuh kegembiraan. Di sela-sela pekerjaannya, dia menyempatkan melihat panggung-panggung musik.
”Kerinduanku nonton festival musik terbayar tuntas. Apalagi, dapat pengalaman seru, kayak melihat penonton berpose unik di photo booth, lalu ramai menebak lirik lagu sambil nyanyi bareng,” kata Tasya.
Mahasiswi semester VI ini tak akan melupakan pengalamannya sebagai MC di gerai harian Kompas saat itu. Ia pun bisa bercengkerama dengan para pengunjung yang hadir. ”Sampai-sampai, aku bisa sahut-menyahut dengan MC di booth sebelah,” ujar Tasya dengan gelak tawa.
Lain lagi cerita dari Mochamad Regha Gumilar (19), mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, yang bertugas sebagai videografer. Regha merupakan salah satu Magangers Kompas Muda Batch XII. Datang dari Bandung, Regha semangat menjalankan tugasnya untuk merekam peristiwa yang menarik. Dia pun harus menempel bersama wartawan dan fotografer yang berada dalam satu tim.
Sebelum ke lapangan, Regha mempersiapkan kameranya serta mempelajari denah JIExpo untuk mengurangi kesalahan yang bisa terjadi. Bagi Regha, tugas harus dilaksanakan sebaik mungkin supaya video yang masuk di kanal Youtube Kompas Muda juga bagus.
Dengan tenggat pengumpulan video yang ketat, Regha jadi banyak belajar mengenai kedisiplinan tentang pekerjaan. ”Yang enggak aku sangka, jadi volunter itu ternyata enggak mudah,” kata Regha.
Pengalaman liputan
Bagi Magangers Kompas Muda, pengalaman meliput saat program magang menjadi bekal dalam peliputan festival musik ini. Menjadi tim peliput di tengah keriuhan festival musik juga merupakan hal yang tak terlupakan. Di satu sisi kita harus segera menuliskan berita tentang festival, di sisi lain gejolak untuk menonton musisi idola tak kunjung mereda. Sungguh pengalaman luar biasa!
Tim peliput yang dibagi dalam sebuah tim membuat reporter, fotografer, dan videografer tak boleh berpisah. Kami terus berdampingan selama festival musik itu berlangsung. Berlarian dari satu tempat ke tempat lain harus kami lakoni bersama. Pengalaman ditolak narasumber pun kami alami. Waktu itu, kami sempat mewawancarai penonton yang tergesa sebelum menonton penampilan musisi.
”Sudah dulu, ya, Mas. Saya mau nonton itu, sudah mulai,” ucap seorang penonton sambil pergi.
Ada sebuah pengalaman menarik. Saat kami sedang meliput di dalam Java Jazz Hall, tiba-tiba telepon berdering. Kami diminta untuk segera kembali ke gerai harian Kompas karena duo Endah N Rhesa sudah hadir dan siap diwawancarai. Sontak, saat sedang berada di kerumunan, kami langsung balik badan dan berlari di tengah hujan gerimis. Itu semua tak mematahkan semangat kami untuk mewawancarai para musisi yang hadir.
Rasanya pengalaman liputan Java Jazz Festival pekan lalu menjadi obat rindu untuk liputan yang sejatinya dirindukan. Bisa berinteraksi secara langsung dengan narasumber ialah hal yang didambakan selama dua tahun ke belakang.
Liputan ini mengajarkan kami untuk memaknai setiap jawaban dari narasumber. Tentunya rasa liputan daring sangat berbeda dari biasanya. Semuanya terbatas dan tidak bisa merasakan naluri dari narasumber.
Cerita menarik juga datang dari Yuan Mulyadi (19), mahasiswa Victoria University of Wellington. Dia bersama timnya bertugas meliput pre-event, yaitu latihan Erwin Gutawa dan mewawancarai musisi PJ Morton.
Pengalaman memotret PJ Morton tak terlupakan oleh Yuan. Ia bersama tim Kompas Muda berkesempatan mewawancarai musisi asal Amerika itu. ”Memotret PJ Morton itu pengalaman berharga dan enggak mudah dilakukan semua orang,” ucapnya.
Cerita mewawancarai PJ Morton masih berlanjut. Ia merasa gugup ketika harus bertemu dan memotret artis internasional. ”Pada saat wawancara, kami semua cukup tegang. Kami merasa beruntung karena PJ Morton mau menjawab pertanyaan,” kata Yuan.
Yuan bersama Ditho sebagai reporter dan Mario Liandar sebagai fotografer harus mewawancarai sang musisi dalam bahasa Inggris. Saat itu, kami tidak menyangka harus langsung berbicara dengan PJ Morton. Kami mengira akan didampingi wartawan harian Kompas yang tentu lebih luwes saat wawancara.
Persiapan yang kurang dan hanya modal nekat adalah perpaduan sempurna untuk menempatkan tim Kompas Muda ke dalam kesulitan. Namun, kami lega. Dengan segala kekurangan kami, PJ Morton justru terus memberi senyuman kepada tim Kompas Muda. Pribadinya yang lembut dan ramah membuat suasana mencair dan obrolan dengan bahasa Inggris tersebut berjalan cukup lancar.
Kami senang dengan respons dan penerimaan yang diberikan PJ Morton. Kami bahkan diberi kesempatan untuk duduk dan berfoto bersamanya. ”Much love, man.” Kalimat yang dilontarkan PJ Morton untuk mengucapkan selamat tinggal kepada kami itu terus terbayang-bayang hingga kami pulang. Kami sangat bersyukur bisa mendapat kesempatan bertemu musisi rendah hati yang hebat itu. Setelah pertemuan itu, kami harus segera menyusun laporannya untuk diunggah di Muda.kompas.id.
Selain tim peliputan, ada juga divisi lain. Sebuah acara terasa hampa tanpa euforia di media sosial. Untuk itulah, volunter yang bertugas mengisi konten media sosial (medsos) mempunyai peran penting. Salah satu volunter medsos adalah Fajar Al Haidar (20), mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya.
Baca juga : PJ Morton Menyapa Indonesia dengan Cinta
”Jujur, menjadi tim media sosial malah lebih santai, tetapi juga bisa fokus mencari konten. Senang banget, baru dua minggu magang langsung dapat kesempatan di Java Jazz,” ucap Fajar yang juga magang di harian Kompas.
Bekerja sekaligus mencari hiburan dilakukan oleh Fajar. Dia memiliki kesempatan untuk menonton banyak pertunjukan dari musisi ternama di Indonesia. Beberapa booth yang ada di sana juga menjadi perhatiannya.
Banyak cerita yang bisa tercipta dari suatu acara. Pengalaman dan bekerja sama dengan rekan selalu bisa menjadi pelajaran berharga. Cerita para volunter yang menjalankan tugas sekaligus melepas kerinduan untuk festival musik menjadi tak terlupakan.