Cerita Manis Ramadhan di Negeri Orang
Mahasiswa yang berkuliah di luar negeri memiliki strategi sendiri agar bisa menjalankan ibadah puasa dengan menyenangkan.
Meskipun berada di berbagai belahan dunia, para mahasiswa Indonesia selalu menemukan cara untuk menjalani puasa dengan penuh semangat. Bahkan, upaya tersebut memberi mereka teman dan cerita baru. Makna Ramadhan semakin manis, semakin berarti.
Faiz Arsyad (24), mahasiswa S-2 Program Agrarian Economics & Economics Policy di HSE University di Moskwa, Rusia, untuk kali pertama merasakan puasa di luar negeri. Pemuda asal Bekasi ini baru tiba di Rusia pada Januari lalu.
”Dulu waktu kuliah S-1 saya merantau cuma ke Jawa Timur. Sekarang Lebaran di negara orang yang perjalanannya bisa 10.000 kilometer lebih dari rumah,” kata Faiz melalui telepon, Selasa (12/4/2022).
Di Moskwa, Faiz tinggal di asrama kampus bersama seorang teman dari Indonesia, sisanya mahasiswa dari sejumlah negara. Meski tak terlalu cocok dengan makanan Rusia, dia bisa beradaptasi. Tapi, ia kaget dengan suhu dingin Rusia. Sekarang sedang musim semi dengan suhu yang berkisar 5-15 derajat celsius.
Jika puasa di Indonesia bisa sekitar 12-13 jam sehari, di Moskwa, Faiz bisa berpuasa selama 16-17 jam. Setiap hari, Faiz sahur pukul 03.30 dan berbuka pukul sekitar 19.30 waktu setempat. Jika Ramadhan berlangsung pada musim panas, bisa-bisa ia harus berpuasa selama 20-22 jam sehari.
Tantangan lainnya adalah kondisi Rusia yang tengah perang dengan Ukraina. Meskipun kondisi di Moskwa aman, harga bahan pokok mulai melambung. Sebagai contoh, Faiz harus merogoh kocek sebesar 110 rubel (sekitar Rp 19.500) untuk satu liter minyak goreng dibandingkan sebelumnya, 90 rubel (Rp 15.800).
Untuk sahur, Faiz memasak sendiri masakan sederhana menggunakan stok bumbu yang masih banyak dari Indonesia. Namun, untuk berbuka, pemuda kelahiran tahun 1998 ini sering pergi ke masjid terdekat, Masjid Katedral Moskwa atau Masjid Katedral Kostroma, bersama teman-teman orang asing yang juga Muslim.
”Mereka menyambut baik kami, ketemu langsung salaman dan tanya kabar. Ketemu sesama Muslim berasa seperti keluarga walaupun belum kenal. Pergi ke masjid kayak pergi ke rumah sendiri,” tutur Faiz, penerima beasiswa dari Pemerintah Rusia.
Masjid-masjid tersebut menjadi tempat pertemuan bagi warga Muslim asing maupun lokal di Rusia. Faiz bertemu dan berkenalan dengan teman baru, antara lain dari Tajikistan, Uzbekistan, Kirgizstan, Suriah, dan Afrika. Ia sekarang berteman dengan seorang koki asal Tajikistan yang biasa bantu memasak di masjid.
Mereka beribadah dan berbuka puasa bersama. Menunya bervariasi. Untuk takjil, mereka mengonsumsi buah, permen, dan jus. Makanan utama yang disediakan biasanya nasi kebuli, sop daging dan kacang, serta roti.
Cuaca ekstrem
Di Mesir, Ramadhan adalah momen seru bagi Muhammad Miqdad Al Ghifari (21), mahasiswa S-1 Jurusan Tafsir Al-Quran di Al-Azhar University, Kairo. Sejak tiba tahun 2018, Ghifar sudah merasakan bulan Ramadhan tiga kali di sana.
Mesir adalah negara dengan cuaca ekstrem. Saat musim panas, Ghifar pernah berpuasa saat suhu mencapai 40 derajat celsius. Tahun ini, bulan Ramadhan berlangsung sebelum memasuki musim panas sehingga suhu masih berkisar 35-37 derajat celsius.
”Puasa yang lalu kayak tinggal di depan oven. Sekarang bulannya semakin maju jadi enggak terlalu panas dan siang juga enggak terlalu lama. Saya sahur jam empat subuh dan buka setengah tujuh malam,” tutur Ghifar.
Mahasiswa semester enam ini melanjutkan, Mesir memiliki budaya yang berbeda dengan Indonesia dalam menjalani bulan Ramadhan. Orang Indonesia biasanya mengumpulkan uang untuk membeli baju baru saat Lebaran. Sementara itu, orang Mesir menabung selama setahun agar bisa berbuka puasa bersama-sama selama Ramadhan (maidaturrahman).
Tidak heran, Ghifar dan teman-teman sesama orang Indonesia yang tinggal di flat dekat kampus sering ”berburu” makanan di rumah warga atau berbagai lapak makanan yang dibuka warga di jalan atau depan rumah. Mereka biasanya keluar mulai pukul 18.30 waktu setempat.
”Kita enggak harus saling kenal dan kami orang asing juga enggak ditanyain. Mereka justru senang banyak yang datang. Mereka bilang, dengan memberi makanan rezeki akan bertambah karena itu hidangan Tuhan atau maidaturrahman,” ujar pemuda asal Jember, Jawa Timur, ini.
Menurut Ghifar, orang Mesir suka langsung makan besar saat berbuka puasa. Karena itu, jenis makanan yang dihidangkan bermacam-macam. Ada roti gandum, nasi, ikan tuna, kofta (daging), dan ayam bakar. Pilihan sayur yang tersedia memang sedikit, tetapi mereka menyajikan olahan wortel, kubis, dan kentang yang rasa kuahnya agak asam karena saus tomat. Tamu bisa membawa pulang makanan jika mau.
Selain berbagi makanan, lanjut Ghifar, orang Mesir juga kerap membagikan sembako, pakaian, bahkan uang. Mereka tidak menunggu pas hari Lebaran. Ia pernah mendapat uang berkisar Rp 100.000-Rp 400.000 atau sembako berisi beras, minyak, keju, dan saus tomat. Ongkos hidup bulanan Ghifar jadi lebih ringan.
Ghifar melanjutkan, secara keseluruhan, suasana Ramadhan di Mesir sangat indah. Banyak keseruan terjadi karena mereka bisa berburu takjil dan makanan enak. Karena Mesir memiliki banyak masjid, dirinya juga sering melakukan tarawih keliling di ”Negeri Seribu Menara” ini.
”Intinya di Mesir diajarkan agar kita ringan tangan. Kadang kita enggak perlu bilang butuh apa, mereka bisa langsung membantu saking murah hatinya orang Mesir ketika Ramadhan. Suasana Ramadhan sangat terasa,” kata Ghifar.
Di Jerman, Salma Benanni yang sedang kuliah di Jurusan Ekonomi, Studienkolleg Hochschule Wismar, menjalani puasa pertamanya jauh dari keluarga. Awalnya, Salma atau yang akrab disapa Lala bingung bagaimana menjalani puasa, jam berapa harus sahur dan buka puasa.
”Tahun pertama di sini jadi pas puasa pertama bingung, sih. Biasanya, pukul 16.00 sudah mau masak untuk buka, seperti kebiasaan di Indonesia, padahal bukanya masih lama,” kata Lala.
Saat ini, Lala bersama teman-temannya di asrama mahasiswa puasa di tengah musim semi dengan cuaca 5-18 derajat celsius. Berpuasa dari pukul 03.30 hingga 21.00 menjadi tantangan tersendiri bagi Lala. Untungnya, dia memiliki banyak teman, jadi rasanya tidak terllau berat.
Lala juga sudah semakin terbiasa untuk menyiapkan sendiri makanan sahur dan buka puasa. Menu sederhana nasi, sayur dengan lauk sosis atau ayam dimasaknya sendiri.
”Hampir setiap hari buka puasa bareng teman-teman sebangsa. Kadang-kadang kami mendapat takjil gratis dari mushala di dekat asrama. Kami juga suka masak-masak makanan Indonesia yang sederhana, misalnya nasi goreng, ayam goreng,” kata Lala, yang tinggal di Jerman sejak Agustus 2021.
Untuk jadwal puasa, Lala mengandalkan jadwal dari internet. ”Biar lebih nikmat dan terasa suasana puasanya, kami dengar azan dari Youtube,” ujarnya.
Dengan banyaknya teman, Lala tak merasa sepi. Apalagi, hampir setiap hari bisa melakukan panggilan video dengan keluarganya di Indonesia. ”Mungkin nanti pas Lebaran terasa sedihnya, karena keluarga di Indonesia libur, sedangkan saya harus berkutat dengan ujian. Kami di sini tidak libur, jadi pasti kurang meriah Lebaran-nya,” kata Lala.