Dara Menjaga Bumi
Plan Indonesia mengadakan Girls Leadership Programme dengan tema perubahan iklim untuk tahun ini.
Banyak cara yang bisa dilakukan para perempuan muda untuk berkarya membuat perubahan. Peluang untuk belajar pun semakin banyak. Salah satunya, latihan kepemimpinan perempuan dari Plan Indonesia. Harapannya, perempuan berani mengambil keputusan serta memengaruhi lingkungannya.
Sudah dua tahun ini, Yayasan Plan International Indonesia menggelar Girls Leadership Programme (GLP) dengan salah satu tujuan memotivasi dan menginspirasi perempuan muda perempuan untuk berdaya. Mereka menyeleksi ratusan perempuan muda dari seluruh Indonesia yang berminat untuk meraih pengalaman baru.
Tahun ini, GLP mengambil tema ”Aksi Nyata Hadapi Krisis Iklim”. Sebanyak 24 perempuan muda mewakili 23 kabupaten/kota terpilih untuk mengikuti program ini. Program dimulai pada 19 Februari dan akan ditutup dengan dialog interaktif pada Hari Bumi, 22 April 2022. Peserta diberi dana sebesar Rp 2 juta untuk melaksanakan program menghadapi krisis iklim di lingkungannya. Hasilnya akan dipresentasikan pada April mendatang.
Direktur Influencing Yayasan Plan International Indonesia Nazla Mariza mengatakan, pihaknya melihat ada problem ketidaksetaraan anak perempuan dengan tantangan berlapis karena posisi mereka sebagai anak dan sebagai perempuan, apalagi jika datang dari keluarga yang termarjinalkan. ”Dengan semangat no one left behind, kami menjalankan kampanye global #GirlsGetEqual untuk mempromosikan dan mendorong pemenuhan hak dan kesetaraan bagi anak perempuan,” kata Nazla di Jakarta, Jumat (25/3/2022).
Tema perubahan iklim dipilih, menurut Nazla, karena perempuan banyak terdampak dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan bencana alam. “Kaum muda sering dipandang sebelah mata sehingga belum dapat berpartisipasi maupun mendapat manfaat dari pembangunan, khususnya kaum muda perempuan termarjinalkan yang menghadapi diskriminasi,” ujarnya.
Tahun 2021, Plan Indonesia berkolaborasi dengan Kementerian Keuangan untuk menginspirasi perempuan muda. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berperan sebagai principal mentor bagi 120 perempuan berusia 15-24 tahun dari berbagai provinsi. Sri Mulyani berbicara tentang pentingnya pendidikan bagi anak perempuan sebagai bekal menjadi pemimpin serta pentingnya anak perempuan melek teknologi.
Inspirasi dan edukasi
Seluruh rangkaian kegiatan GLP yang berlangsung secara daring tak menyurutkan semangat para peserta. Mereka mengikuti mentoring secara daring yang dilanjutkan dengan melaksanakan program di daerah masing-masing.
”Tantangan mengadakan acara secara online, saat sesi mentoring, komunikasi tidak bisa interaktif. Padahal, dalam Youth Camp, kami berharap para Girl Leaders bisa saling bertemu berbagi pengalaman, membangun solidaritas, serta bisa berinteraksi dengan para mentor,” kata Nazla.
Salah satu Girl Leaders yang sedang melaksanakan programnya adalah Hilda Ningsih (23). Perempuan yang baru lulus dari Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, itu sejak tahun 2021 merintis upaya mengajak anak muda di daerah asalnya, Majene, Sulawesi Barat, untuk menjaga lingkungan sekitarnya. Gerakan yang dia lakukan misalnya dengan membuat sekolah literasi lingkungan dan bengkel sampah. Ia mengawali edukasi tersebut dengan mengajak kawan sesama mahasiswa asal Majene dan pelajar dari SMP sampai SMA. Sampai sekarang ada 15 anak usia 13-24 tahun menjadi sukarelawan komunitas Jejak Teduh yang ia buat.
Dua kegiatan dipilih setelah ia melihat kondisi sampah, terutama plastik, yang belum ditangani dengan baik di Majene. Akibatnya, warga memilih cara paling mudah untuk membuang sampah dengan membakarnya atau biasanya warga yang tinggal di pesisir memilih membuang sampah ke laut. Ketika terjadi banjir besar di Majene pada Oktober 2021, Hilda melihat salah satu penyebabnya selokan dan sungai tertutup oleh sampah, terutama plastik.
Fakta itu membuka matanya untuk segera membuat kelas literasi lingkungan dan bengkel sampah. ”Setelah mendapat pengetahuan baru tentang dampak dari perubahan iklim dan perlunya pemberdayaan kepada perempuan, saya harus melakukan edukasi ke warga, terutama perempuan, karena di daerah saya, perempuanlah yang harus mengerjakan hal berkait sampah. Ya, membersihkan sampah lalu membuangnya,” tutur anak pertama dari empat bersaudara itu. Perubahan cara berpikir atas Hilda sendiri juga baru terjadi pada tahun 2021.
Sebelumnya ia bahkan menjadi pelaku pembakaran sampah yang merusak lingkungan. Sekarang ia secara tak langsung mengajari orang di rumahnya untuk memilah sampah, membuang sampah sesuai jenisnya, dan membuat ecobric dari aneka sampah plastik. Ia juga memulai kebiasaan meminimalkan penggunaan kemasan sekali pakai, terutama untuk minuman, dan mengajak anggota komunitasnya selalu membawa tumbler apabila keluar rumah.
Perkenalan Hilda dengan gerakan cinta bumi serta pemberdayaan perempuan dan anak bukan terjadi begitu saja. Keikutsertaannya dalam kegiatan pendidikan lingkungan awalnya hanya untuk mencari tahu apa saja yang perlu dan bisa ia lakukan berkait isu lingkungan. Selain itu, keaktifannya mencari ilmu dan kegiatan tentang lingkungan lebih untuk ”mencari tiket” untuk berburu beasiswa sekolah magister (S-2).
Isu lingkungan menjadi perhatian Hilda sebab ia sering melihat unggahan mengenai perubahan iklim dan dampaknya bagi bumi di Instagram. Penasaran akan unggahan itu, ia mencari info sebanyak-banyaknya tentang hal itu. Rasa penasarannya membuat ia ikut Festival Kaum Muda untuk Isu Iklim dan Kemanusiaan yang diadakan Teens Go Green Indonesia bersama Plan Indonesia.
Hasilnya, ia termasuk dalam 50 Pemimpin Muda pada festival itu. Sebagai kelanjutan program, ia harus membuat proyek. Sejak itu ia makin giat beraksi mengajak anak muda dan perempuan untuk peduli lingkungan.
”Makin banyak belajar, makin tahu ternyata malah membuat Hilda makin giat. Berhubung di daerah kami jaringan internet masih susah, kegiatan justru banyak dilakukan dengan tatap muka,” ujar Hilda. Ia memberi kelas edukasi tentang lingkungan, baik secara tatap muka maupun dengan langsung praktik. Misalnya menanami jalan di Desa Marunda, Majene, dengan tanaman ketapang kencana yang menjadi proyek ketika ia terpilih sebagai Aksi 24 Perempuan Muda Menghadapi Krisis Iklim di program Plan Indonesia.
Tujuan penanaman tersebut agar membuat jalanan di sana teduh dan mengajari sukarelawan komunitas tentang perlunya melakukan penghijauan. Jika tanaman sudah besar, para petani yang sering menggunakan jalan itu untuk lalu lalang bisa beristirahat di bawah pohon ketapang yang rindang.
Tak mau kalah dengan peserta lain, Zakiyatul Wahidah (21) bersama timnya, Riung Aksi, menggelar Belajar Bersama Riung Aksi bersama siswa SDN Paseban 02 di Desa Paseban, Kecamatan Kencong, Jember, Jawa Timur. Mereka bersama-sama membersihkan pantai yang dilanjutkan dengan acara edukasi sampah dan mitigasi bencana. Kegiatan itu berkolaborasi dengan Relawan Nusantara.
”Kami fokus pada lingkungan dan anak, terutama terkait dengan perubahan iklim. Selain aksi bersih pantai, kami juga membuat konten edukasi melalui media sosial. Ada IG Live, Reels, dan podcast. Untuk mengedukasi anak-anak ini cukup menantang,” kata Zakiyatul atau Kiki.
Dalam melaksanakan programnya, Kiki dibantu dengan teman-teman kuliahnya di Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq, Jember. Banyaknya kegiatan secara daring membuat dia bisa merangkul banyak narasumber dari berbagai kota, seperti dari Indramayu dan Surabaya.
Sebelumnya, Kiki memang sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan lingkungan sejak tergabung dengan Teens Go Green. Dia pernah ikut dalam kegiatan lima hari aksi menyelamatkan bumi, hemat energi, dan belajar tentang perubahan iklim.
Percaya diri
Di angkatan sebelumnya, Breyantika Indra Jesa (23) sudah lebih dulu bergerak untuk memberdayakan gadis-gadis penghuni Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Aisyiah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Para gadis itu tak hanya mendapat keterampilan berbahasa Inggris, tetapi juga belajar banyak ilmu dan menjadi lebih percaya diri.
Langkah Breyantika yang akrab dipanggil Tika dalam upaya pemberdayaan perempuan berawal dari keaktifannya menjadi sukarelawan mengajar rutin bahasa Inggris kepada penghuni LKSA itu saat libur kuliah. Dari interaksi dengan anak didiknya, Tika melihat para gadis kurang bisa berinteraksi. Mereka malu-malu dan setiap kali berbicara selalu menutup wajahnya dengan buku yang mereka pegang.
Keadaan itu mengejutkan Tika yang lulusan Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung. Terbetik dalam benaknya untuk membantu mengatasi masalah yang mereka alami. Setelah lulus kuliah tahun 2021, Tika pulang ke Jepara untuk mengintensifkan pertemuannya dengan 18 penghuni LKSA yang sebagian besar sebenarnya punya orangtua tetapi dari keluarga tidak mampu. Dengan masuk panti, anak-anak gadis itu mendapat kesempatan bersekolah hingga SMA.
Jika sebelumnya hanya mengajar bahasa Inggris, kehadiran Tika seusai kuliah banyak memberikan bimbingan mengenai latihan untuk percaya diri. Tak hanya mengandalkan dirinya sendiri, Tika mengajak banyak pihak, mulai dari pejabat pemerintahan di Jepara hingga perempuan aktivis yang membantu pemberdayaan di daerah lain seperti Sulawesi sampai Papua. Mereka tatap muka dan menggelar pertemuan dengan Zoom rutin membagikan cerita sukses dirinya atau kegiatan yang dilakukan perempuan di daerah mereka sehingga menginspirasi penghuni LKSA.
Semula kegiatan dilakukan seminggu sekali. Namun, sejak Tika mendapat beasiswa menempuh pendidikan magister (S-2) untuk mengikuti European Joint Master in Social Work with Children and Youth dengan tempat kuliah di empat negara, pertemuan dilakukan dua minggu sekali. ”Kami agak kesulitan mencari narasumber,” kata Tika mengungkapkan alasannya.
Tidak hanya mendengar cerita, para siswa juga mendapat ilmu wirausaha serta mempraktikkannya. Pada bulan Ramadhan tahun lalu, para gadis penghuni LKSA Aisyiah Jepara sudah berani menjual aneka kue untuk buka puasa. Hal itu menggembirakan Tika, sebab lewat berjualan kue, mereka belajar berkomunikasi dengan pihak lain serta melatih kemandirian dan keberanian.
Pelan-pelan upaya Tika dan timnya berbuah. Meski belum berubah drastis, gadis-gadis yang dulu sangat pemalu dan tak percaya diri perlahan mulai berani tampil dan berbicara dengan orang lain tanpa malu-malu lagi. ”Saya mau kegiatan itu terus kami lakukan. Kalau pada zaman dulu Ibu RA Kartini yang lahir di Jepara bisa membuat perubahan besar atas para perempuan Indonesia, saat ini tak ada alasan untuk tak bisa melakukan,” ucap Tika.
Para gadis penggerak perubahan, upaya kalian tak akan sia-sia. Perubahan atas masyarakat, terutama kaum perempuan, agar mampu membuat kehidupannya lebih baik perlahan terjadi.