Bergaya dengan Masker
Saat ini, banyak anak muda yang mengenakan masker untuk bergaya. Motif masker disesuaikan dengan baju yang dikenakan.
Pandemi Covid-19 yang tengah menyerang seisi dunia membawa banyak perubahan. Kita sebagai manusia dituntut untuk senantiasa beradaptasi dengan berbagai keadaan baru.
Hampir dua tahun kita hidup beriringan dengan Covid-19. Hal yang tadinya merupakan bentuk adaptasi berubah menjadi kebiasaan. Pandemi telah mendorong terciptanya kebiasaan-kebiasaan baru.
Tingkat kasus aktif Covid-19 yang terus bertambah membuat kiat-kiat pencegahan penularan Covid-19 digalakkan. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia menyuarakan kiat-kiat 5M, salah satunya adalah memakai masker.
Sebelum pandemi, kita asing dengan penggunaan masker dalam aktivitas sehari-hari. Namun, pandemi mengharuskan kita menggunakan masker dalam keseharian guna menjaga kesehatan diri dan orang di sekitar kita. Alhasil, penggunaan masker pun berubah menjadi kebiasaan.
Bahkan, tidak berhenti sampai di situ, masker pun berubah menjadi bagian penting dari busana kita. Sehubungan dengan hal ini, masker mengalami perubahan makna menjadi barang mode.
Perubahan ini dibenarkan oleh banyak orang, termasuk kaum muda. Banyak dari kaum muda yang mengakui, terdapat motivasi fashion di balik pemilihan masker yang mereka gunakan. Mulai dari pemilihan model, warna, hingga nuansa masker guna melengkapi dan memperindah tata busana.
Edina Rafi Zamira (20), seorang mahasiswi, mengatakan, dalam memilih masker, dirinya cenderung lebih menyesuaikan dengan style atau gaya berbusananya. ”Contoh, aku punya masker ala-ala etnik, masker itu akan aku pakai kalau style-ku lagi formal atau ala-ala etnik juga,” ujarnya.
Senada dengan Edina, Gisella Darfian (19), juga seorang mahasiswi, pun selalu berusaha menyelaraskan masker yang dia kenakan dengan baju yang dia pakai. ”Kalau tiba-tiba ketemu teman dan foto, pasti lucu kalau warna masker dan bajunya senada,” katanya.
Sementara Imam Satria (22), mahasiswa, lebih suka mengenakan masker yang unik dan nyentrik. ”Masker ibarat celana, jadi model maskernya juga harus disesuaikan sama baju yang kita pakai,” kata Imam.
Peluang baru
Pemaknaan masker sebagai barang fashion mendorong kemunculan variasi masker yang memiliki tingkat estetika tinggi. Fenomena ini kemudian dilihat sebagai peluang bisnis oleh sebagian kaum muda.
Ellysa Anggie, pemilik akun Instagram @belii.yukkk, sejak Januari 2021 mulai menjajakan masker tie dye di online shop miliknya. Saat itu, Ellysa melihat tingkat permintaan masker unik nan lucu sedang tinggi, di sisi lain motif tie dye sedang populer. Berangkat dari dua kondisi itu, Ellysa mantap melangkah dan mulai memasarkan masker tie dye.
Penjualan masker tie dye Ellysa dapat dikatakan cukup cemerlang. Ellysa bahkan sampai membuka beberapa kloter untuk memenuhi permintaan konsumen.
Menurut Ellysa, tingkat penjualan yang tinggi ini tidak dapat dipisahkan dari pemaknaan masker sebagai barang fashion.
Banyak orang mengoleksi berbagai warna masker hanya untuk diselaraskan dengan busana yang ia pakai.
”Sehari-hari kita pakai masker, kalau maskernya tidak nyambung dengan busana kita kan aneh. Karena itu, orang-orang mulai mencari masker yang menarik dan dapat dipadupadankan dengan busana sehari-harinya,” ujar Ellysa. Dengan kata lain, masker juga dapat mencerminkan gaya seseorang.
Menurut Ellysa, mayoritas pembelinya adalah kaum perempuan. Hal ini disebabkan masker tie dye memiliki motif yang cenderung imut dengan warna-warna pastel yang kalem.
”Ketika memulai bisnis masker unik, kita perlu menentukan target pasar yang tepat. Hal ini akan sangat membantu pemasaran produk kita sehingga tingkat penjualan dapat senantiasa tinggi,” ujar Ellysa.
Selain menentukan target pasar, kita juga harus mengikuti tren. Tak lupa, Ellysa juga menambahkan bahwa hal paling penting dalam eksplorasi peluang baru adalah keberanian.
Naura (16) bahkan sudah tidak pernah lagi memikirkan uang jajan karena bisnis masker lucu yang ditekuninya melalui instagram @skiestuff_.
Di usianya yang masih belia, siswi SMA Negeri 1 Probolinggo yang akrab dipanggil Ola ini sudah berhasil menjual ribuan masker handmade sejak 2020 lalu. Bahkan, dia sempat mendapat orderan dari pejabat di Probolinggo dan beberapa kali pesanan dari luar kota.
Kesuksesan Ola ini tidak dihasilkan dengan usaha yang biasa-biasa saja. Dibantu ibundanya, dia benar-benar teliti dalam menentukan kualitas masker produksinya. Berdasar pantauan terhadap selera konsumen, Ola memutuskan mencari bahan melalui online shop agar menemukan berbagai variasi pola dan kualitas bahan terbaik.
Sampai kini bisnis yang tengah mengikuti pameran UMKM di Probolinggo ini terus mengembangkan teknik produksi, juga pemasarannya. Bahkan, @skiestuff_ juga menerima berbagai permintaan model dan motif masker dari konsumen.
Tentu, menjalankan bisnis di tengah kesibukan sekolah bukan hal mudah. Hebatnya, gadis yang masih duduk di bangku kelas II SMA ini bertekad melanggengkan usahanya. Ola berpendapat, semua kesibukan ini justru memberinya keterampilan manajemen yang luar biasa.
”Enggak ganggu sekolah sama sekali. Yang penting kita pintar bagi waktu. Aku kalau ada ujian semester, ya, rehat dulu. Menurutku, daripada kita cuma scroll medsos tanpa manfaat, mending kita berbisnis, menantang tapi hasilnya kita juga yang menikmati,” ujarnya.
Wendy Yoga dan keempat temannya (Anindhitya, Alvianto, Fajrur Rifqi, dan Isnaeni) memandang tren masker kain dari sisi berbeda. Berawal dari rencana mengikuti ajang PKM, kelompok mahasiswa asal UNS ini membuat inovasi masker kain ramah lingkungan, bernama masker Mewarna, pada Juli 2021.
Ide tersebut muncul dari keresahan mereka tentang ancaman lingkungan akibat limbah yang dihasilkan masker medis. Mereka juga menemukan fakta bahwa pewarna tekstil memiliki dampak yang serius bagi ekosistem dan kesehatan. Kedua faktor ini menjadi akar dikembangkannya masker dengan teknik eco-printing yang dinilai mampu menjadi salah satu solusi ancaman lingkungan tersebut.
Karena target pasar utama mereka adalah anak muda, model, warna, desain, bahkan kemasan produk mereka benar-benar disesuaikan dengan minat anak muda. Datanya, mereka kumpulkan melalui survei.
Kelima mahasiswa ini menggunakan beberapa macam tanaman yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap panas sebagai pewarna sekaligus motif alami masker. Seperti daun kersen (Muntingia calabura) yang menghasilkan warna kecoklatan, juga daun jati (Tectona grandis) untuk warna ungu.
Menghabiskan dana hampir 2 juta untuk 200 lembar masker, setiap lembar masker dipasarkan dengan harga Rp 15.000. Yoga dan kawan-kawannya berharap inovasi mereka dapat menjadi salah satu langkah kecil kawan muda dalam berkontribusi mengurangi pencemaran lingkungan.
Magangers Kompas Muda Batch XII Kelompok Gardapati
Bahraini Dinar Asyifak, Universitas Airlangga Surabaya
Christina Dwi Permata Ayu, Universitas Indonesia
Girvan Syawal Khresnatendi Kurniawan, Telkom University Bandung
I Made Deva Wira Pradwitya, Universitas Airlangga Surabaya
Mochamad Regha Sugilar, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung