Tembok-tembok Penyambung Aspirasi
Kreativitas anak muda membuat seni menggambar menjadi alat untuk menjaga budaya, mengangkat perempuan, dan menyampaikan pemikiran.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2Feec17d1a-2f2d-4a5e-bc6f-784168376253_jpg.jpg)
Warga melewati mural kritikan terhadap penguasa di Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (16/9/2021). Meski suara rakyat berupa grafiti dan mural yang dibungkam dan dihapus kerap terjadi belakangan ini, namun aksi mural baru terus bertumbuh.
Gambar pada tembok-tembok di tempat umum biasanya identik dengan vandalisme. Namun, sejumlah anak muda mematahkan stigma ini dengan membawa mural dan grafiti ke tingkat baru. Kreativitas mereka membuat seni menggambar itu menjadi alat untuk menjaga budaya, mengangkat perempuan, dan menyampaikan pemikiran.
Enka Nkomr alias Enka Komariah (28) mulai mengenal mural saat bersekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta pada 2008. Seniman asal Klaten ini mencoba menggambar sekitar tahun 2010. Enka biasa menggambar bersama teman-teman nongkrong di Yogyakarta dan Klaten.
Seiring berjalannya waktu, dirinya menyadari mural lebih menarik jika digambar sesuai konteks di lingkungan sekitar daripada hanya meniru karakter yang ada. Enka bersama dua teman, Vendy Methodos dan Prihatmoko Moki, akhirnya membuat proyek bernama Gegerboyo pada Juni 2017.
Gegerboyo adalah wadah berkarya bagi para seniman mural ini untuk berkarya. Sekarang beranggotakan lima orang, mereka memilih fokus mengangkat budaya Jawa, budaya urban, dan korelasinya dengan fenomena sosial politik. Nama Gegerboyo terinspirasi Geger Boyo (Punggung Buaya), bukit pelindung di Gunung Merapi yang hilang.
“Secara konteks garis besar, Gegerboyo membicarakan Jawa yang bersumber dari beberapa literatur Jawa atau Jawa hari ini. Contohnya, karya kami pernah membicarakan bagaimana Gunung Merapi selain menjadi berkah turut menjadi bencana bagi orang sekitar dan bagaimana masyarakat menghadapi situasi itu,” kata Enka melalui telepon dari Yogyakarta, Selasa (5/10/2021).
Gegerboyo telah menggambar di berbagai lokasi di Yogyakarta dan mengikuti kegiatan, seperti Biennale Jogja 2019 dan International Mural By Mail Project 2020. Gegerboyo juga mengadakan pameran Tan Hana Dharma Mangrwa di Redbase Foundation Yogyakarta (2019) dan Gapura Buwana di Cemeti - Institute for Art and Society (2021).

Enka Komariah, seniman visual asal Klaten, Yogyakarta, berpose di depan sebuah mural. Enka bersama teman-temannya membuat proyek bernama Gegerboyo pada Juni 2017. Gegerboyo adalah wadah berkarya bagi para seniman mural ini untuk berkarya. Sekarang beranggotakan lima orang, mereka memilih fokus mengangkat budaya Jawa, budaya urban, dan korelasinya dengan fenomena sosial politik.
Ciri khas mural Gegerboyo adalah kolase. Berbagai karakter bisa muncul sehingga menciptakan kesan acak padahal sebenarnya memiliki arti. Enka, khususnya, suka menggunakan warna hitam dan putih pada gambar-gambarnya sehingga menonjolkan jukstaposisi secara dramatis. Ia biasa menggunakan cat genteng.
Untuk proyek di Taman Sari pada tahun lalu, misalnya, Enka menggambar Sri Sultan Hamengku Buwono II, perahu, abdi dalem, punakawan, pohon, dan naga dengan garis putih di tembok berwarna hitam. Meskipun terkesan tak beraturan, gambar itu sebenarnya mengandung rangkuman sejarah yang terjadi di Taman Sari pada masa lampau.
“Bahasa paling global itu lewat gambar jadi semua orang bisa mengimajinasikan artinya, apalagi kalau ditaruh di tempat umum. Awalnya, saya menggambar karena ikut-ikutan, pengen eksis, tapi semakin ke sini setidaknya kita menggambar untuk menceritakan sesuatu atau membagi informasi,“ ujar laki-laki lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini.
Terjun ke dunia seniman visual, terutama grafiti merupakan pengalaman berkesan bagi Bunga Fatia (31). Mendalami dunia grafiti sejak 2011, Bunga bergabung dengan komunitas, tetapi merasa sendiri sebab hanya bertemu sedikit seniman grafiti perempuan. Kalaupun ada, mereka jarang berbagi gambar karena malu.
Pada 2014, alumni Universitas Multimedia Nusantara ini akhirnya menginisiasi gerakan Ladies on Wall. Sesuai namanya, gerakan ini ingin mendorong perempuan tidak malu berkreasi. Seniman yang terlibat dalam gerakan ini sekitar 60 orang di Indonesia, meskipun yang benar-benar aktif sekarang hanya sekitar 10 orang.
Ladies on Wall, sebagai komunitas seniman grafiti perempuan pertama di Indonesia, sering menggambar di kota berbeda, seperti Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Bandung setiap tahun. Belakangan, gerakan ini berkembang sebagai ruang berjejaring bagi seniman perempuan karena semakin banyak tawaran pekerjaan.
“Karena Ladies On Wall ada dimana-mana, kalau ada proyek kami lihat lokasinya lalu kontak orang di situ. Gerakan ini harus ada manfaat lebih,” kata Bunga dari Tangerang Selatan, Banten.

Pendiri Ladies On Wall, Bunga Fatia, sedang menggambar grafiti menggunakan cat semprot. Seniman visual ini membuat Ladies on Wall pada 2014, sebuah gerakan untuk mendorong perempuan agar tidak malu berkreasi sebagai seniman grafiti dan wadah untuk berjejaring
Sebagai seniman perempuan, kiprah Bunga di dunia grafiti bisa dibilang otodidak. Bunga saat masih SMA tertarik grafiti setelah melihat gambar di Ulujami, Jakarta. Cat semprot akhirnya dibelinya.
Bunga mulai bereksperimen di rumah. Tembok kamar tidur dan kamar mandi serta kamar tidur adiknya jadi sasaran. Setelah kehabisan tembok kosong, ia mulai menggambar di tembok tetangga sampai ditegur. Ia turut belajar dari situs Tembok Bomber sekaligus berjejaring di komunitas.
Bunga mengaku pernah mengecap jalur vandalisme. Ia sering bangga bisa menulis namanya di di tempat umum. Akhirnya, ia berubah. Dirinya ingin bisa mandiri sekaligus mengedukasi dan memberdayakan orang lewat karyanya.
“Jadi seniman visual itu ada dua perspektif, apakah untuk hobi atau profesional. Aku suka menggambar. Tapi kalau mau realistis, sebagai profesional aku juga adjust karya yang bisa dinikmati orang banyak di berbagai media, seperti tembok, perabot, dan baju. Jadi harus menengahkan. Hobi sama realistis harus hidup,” ujar Bunga yang mulai menawarkan jasanya sejak tahun 2013.
Keahlian menggambar grafiti terus diasah. Karya perempuan ini mayoritas memiliki warna ungu, merah muda, oranye, putih, dan hitam yang terinspirasi warna langit senja. Gambar Bunga, biasanya berbentuk garis abstrak atau tulisan, sering terinspirasi dari yang sedang dirasakan atau isu yang sedang terjadi.
Bunga adalah salah satu seniman grafiti perempuan yang rajin berkelana hingga luar negeri. Ia pernah menggambar di Jerman, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Jepang. Pada 2017, Bunga mewakili Indonesia untuk melukis dalam festival mural ASEAN-ROK 50th Anniversary di Manila, Filipina, bersama seniman visual dari negara lainnya.
Menyalurkan aspirasi
Mural yang sempat viral ditorehkan Ohaiyoh (27), demikian ia lebih nyaman disapa. Seniman itu termasuk 15 orang yang membuat kalimat di tembok dengan panjang sekitar 10 meter di Tangerang, Banten pada Juli 2021. Kreasi mereka bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” berbuntut penghapusan karya tersebut.
Jadi seniman visual itu ada dua perspektif, apakah untuk hobi atau profesional. Aku suka menggambar. Tapi kalau mau realistis, sebagai profesional aku juga adjust karya yang bisa dinikmati orang banyak di berbagai media, seperti tembok, perabot, dan baju. Jadi harus menengahkan. Hobi sama realistis harus hidup.Bunga Fatia
Beberapa rekan Ohaiyoh juga diminta datang ke polsek setempat dan merekam video klarifikasi. Geger. Apalagi, setelah netizen ramai berkomentar. “Sekarang, sudah klir. Bukan kriminal, kami seniman yang menyuarakan aspirasi. Hanya kesalahpahaman. Enggak ada apa-apa lagi,” ucapnya.
Ia menampik jika pengalamannya dianggap tak mengenakkan. Kreativitas Ohaiyoh tak berbeda sebelum dan sesudah peristiwa itu. “Bikin karya lagi. Penghapusan itu biasa. Kalau kami bikin mural lalu pergi, temboknya sudah milik publik,” katanya.
Ohaiyoh misalnya, kembali beraksi pada akhir September dan pertengahan Oktober 2021. Tak sekadar menyikapi konteks sosial, ekonomi, dan politik seperti yang dilakukan bersama komunitasnya, Halfway Connection, Ohaiyoh juga mengekspresikan diri demi edukasi dengan mengingatkan masyarakat agar peduli terhadap batik dan wayang sebagai warisan adiluhung Nusantara.
Baca juga : Anti-Mati Gaya Selama Karantina di London
“Idealis saya, batik dan wayang supaya bisa diamati masyarakat lebih luas. Keindahan batik nggak mesti dinikmati lewat kain saja,” katanya. Ia paling sering mengalihwahanakan motif parang, solo, dan kembang. Ohaiyoh merancang pola lantas melaburnya dengan warna-warni batik jawa.
“Kalau wayang, misalnya kayak Gatotkaca, Arjuna, dan Srikandi. Itu wayang kulit. Wayang orang juga dengan gambar Hanoman,” katnya. Ia memfavoritkan Gatotkaca karena kesaktiannya dan rela berkorban demi kemenangan Pandawa. Sesekali, mural Ohaiyoh dicantumi mimik punakawan yang jenaka.
Ohaiyoh menyerahkan interpretasi karyanya pada masyarakat. Mural ‘Tuhan Aku Lapar’ contohnya, hanya aspirasi. Masyarakat tak leluasa bepergian lantaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). “Sesimpel itu. Cuma, banyak yang komentar jadi random (acak) saja. Tergantung orang-orang yang melihat muralnya,” katanya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F9f4e817a-40f7-49fd-8655-adb81d069db7_jpg.jpg)
Mural ajakan bersyukur berlatar gedung bertingkat di bantaran Kanal Banjir Barat, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (5/10/2021). Selain migrasi dari desa ke kota, penambahan penduduk perkotaan karena reklasifikasi guna-lahan dari kawasan perdesaan menjadi perkotaan.
Ohaiyoh sudah menggeluti mural sekitar 10 tahun terakhir. Awalnya, ia melihat teman kakaknya yang berkreasi. Ohaiyoh yang saat itu masih SMP mencari tahu untuk membuat mural dan mulai menggambar dengan cat murah.
Kemahirannya mengantar warga Tangerang yang dulu berkantor itu mendirikan usaha Ohaiyoh Project. Ia turut terimbas pandemi sehingga tidak lagi jadi karyawan. Sekarang, dirinya fokus menjalankan bisnis mural. Syukurlah, kerjaannya masih lancar. Ia sudah berkeliling antara lain ke Jabodetabek, Bandung, Medan, Palembang, Kediri, Yogyakarta, Karawang, dan Cirebon. Sudah ratusan mural yang dia buat.
Baca juga: Mural, Bintang, dan Seni Parabelia
Menurut Dosen Budaya Populer Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Kunto Wibowo, mural sebagai ekspresi kekritisan punya sejarah panjang. “Mural sebagai subkultur di Amerika Serikat sudah marak sejak tahun 1970-an. Bukan hanya penanda teritori,” kayanya.
Ekspresi itu juga mengungkapkan kekesalan hingga skeptisisme sosial. Lebih jauh, mural dan grafiti di Indonesia dipakai rakyat untuk menentang penjajahan. “Penghapusan mural yang kritis merupakan bentuk pengekangan kebebasan berpendapat,” ujarnya.