Kesetiaan Menjaga Pelestarian Hewan
Salah satu upaya yang dilakukan generasi muda untuk menjaga bumi adalah dengan melestarikan hewan di sekitar kita.
Memilih jurusan biologi membuat mahasiswa tak hanya belajar di dalam kelas. Mereka bisa belajar langsung di tengah cantiknya alam Indonesia. Meski telah lulus kuliah, cinta dan kesetiaan mereka untuk pelestarian hewan pun tak meluntur.
Setelah lulus dari Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nur Apriatun Nafisahu (26) bersama teman-temannya membentuk Tim Plutonesia. Mereka berenam merupakan alumni dari jurusan biologi dan pendidikan biologi. Keinginan untuk terus mencintai alam dengan melestarikan keanekaragaman hayati membuat mereka turun ke lapangan.
”Tadinya kami merupakan anggota Biolaska, kelompok pencinta alam mahasiswa biologi. Kemudian setelah lulus kami bentuk tim Plutonesia ini. Kegiatan pertama pengamatan capung endemik di Hutan Petungkriyono, Pekalongan,” kata Apri saat diwawancara melalui Zoom, Kamis (9/9/2021).
Selain Apri, Plutonesia beranggotakan Dis Setia Eka Putra, M Solikhin, Febriyan Eka Tama, dan Tiska Ayuma Apipah. Selama lima bulan, September 2020-Januari 2021, mereka keluar masuk Hutan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, untuk mengamati dan mendata populasi capung endemik Jawa Genus Drepanosticta. Mereka mengeksplorasi empat lokasi Hutan Petungkriyono, yaitu Tirta Muncar dan Sokokembang di Dusun Kayupuring, Curug Lawe (Dusun Kasimpar), dan Karanggondang (Dusun Tlogopakis).
”Senang banget kami bisa mendapat dukungan dari BW Kehati untuk kegiatan ini. Kami bisa mendata capung endemik sekaligus memberikan edukasi ke anak-anak di sana,” ujar Apri yang melanjutkan pendidikan di S-2 Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Untuk semua kegiatannya, Plutonesia didukung Biodiversity Warriors Sponsorship Program 2021 dari Yayasan Kehati. Dari pengamatan itu, tim berhasil mendata tiga spesies capung endemik Jawa Genus Drepanosticta, yaitu Drepanosticta sundana, Drepanosticta gazella, dan Drepanosticta spatulifera. Capung-capung itu sering dijumpai di pinggiran sungai atau rembesan air yang merupakan tempat tinggalnya.
”Dari hasil itu, kami mencoba berbuat sesuatu, yaitu mengenalkan capung endemik kepada warga sekitar. Dengan mengedukasi masyarakat apa manfaat capung di alam, salah satunya bioindikator lingkungan. Capung hanya mau hingga di air yang bersih. Kalau ada capung di situ, berarti air masih jernih dan kelestarian lingkungan terjaga,” kata Dis Setia.
Pada Juni 2021, dengan membawa hasil penelitian berupa gambar, foto, dan video, tim Plutonesia bertemu dengan anak-anak SD Negeri 02 Tlogopakis, Petungkriyono. Dengan pendidikan konservasi, mereka berharap bisa menumbuhkan kesadaran dan mencintai lingkungan pada generasi muda.
Dalam kesempatan itu, mereka mengenalkan jenis-jenis capung, lalu memutar video animasi serta meminta anak-anak bercerita pengalamannya melihat capung di sekitarnya. Tak ketinggalan anak-anak juga diminta mengamati serta belajar mengidentifikasi ciri-ciri morfologi umum untuk mengetahui nama spesies capung. Ternyata anak-anak memiliki sebutan untuk capung-capung yang ditemui, seperti kinjeng kebo, kinjeng dom, dan kinjeng pengantin.
”Seru juga bertemu anak-anak, mereka antusias mengetahui jenis-jenis capung. Malah mereka juga menunjukkan tempat-tempat di mana sering terlihat capung,” kata Solikhin.
Tak hanya Plutonesia yang beraksi menunjukkan cintanya untuk pelestarian hewan, Devia Ariesta (21), mahasiswa Program Studi Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, Bandung, memiliki cara yang lain. Dia terlibat dalam penelitian kukang.
”Secara fisik kukang itu cantik di mata ya, terus cara jalannya lambat jadi gemas. Lama-lama aku jadi tertarik sama kukang dan bisa ketemu langsung,” tutur Devia melalui sambungan telepon dari Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/9).
Mulai 2019, gadis ini cukup aktif terlibat dalam kegiatan Kukangku. Devia bahkan mengikuti kegiatan pemantauan kukang yang di rehabilitasi di Gunung Masigit Kareumbi dan kukang liar di Sumedang, Jawa Barat, pada tahun yang sama.
Bagi Devia, bertemu kukang pada 2019 adalah pengalaman yang berkesan. Selain saat mengikuti kegiatan Kukangku, ia sebenarnya juga sempat melihat kukang langsung di acara kampus yang juga digelar di Gunung Masigit Kareumbi pada 2019. ”Pas ketemu itu benar-benar enggak bisa digambarkan, tetapi bersyukur bisa melihat mereka sehat di alam,” katanya.
Lalu, dia memutuskan untuk magang di Kukangku, dengan tugas sebagai analis data. Devia meneliti lokasi dan jumlah kukang dari berbagai pemberitaan. Data juga dibagi menjadi beberapa kategori, seperti penindakan, pelepasliaran, dan penyerahan kukang. ”Data itu kemudian dianalisis untuk mengetahui sebaran kukang ada di mana saja karena belum ada banyak data kukang di daerah perkotaan,” tutur Devia.
Hasilnya, kata Devia, pemberitaan kukang meningkat pesat pada 2019 sampai sekarang. Menurut dia, tren itu bisa mengindikasikan keefektifan strategi konservasi kukang oleh lembaga pemerintah dan nonpemerintah yang cukup efektif.
Sebagai anak muda, jiwa Devia tergerak untuk terus melanjutkan perlindungan kukang di Indonesia. Devia melihat edukasi tentang kukang perlu berlanjut karena kasus penangkapan dan penjualan kukang masih terjadi. Dia menilai ada metode lain yang bisa dipahami masyarakat dengan efektif.
”Kalau edukasi soal peran kukang di alam mungkin kurang mengena, jadi kita bisa edukasi hal merugikan manusia terlebih dulu kalau mereka memelihara kukang,” ujar Devia, yang bercita-cita bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini.
Kukang, Devia menjelaskan, adalah satwa liar sehingga berpotensi membawa zoonosis atau penyakit yang bisa ditularkan dari hewan ke manusia. Selain itu, kukang adalah hewan yang dilindungi negara berdasarkan undang-undang sehingga memelihara hewan ini bisa mendapat hukuman penjara dan denda.
Setelah itu, bisa dijelaskan bahwa kukang juga bisa terjangkit penyakit dari manusia. Hidup sebagai peliharaan bisa menyiksa kukang karena mereka adalah binatang nokturnal sehingga sensitif cahaya. Kukang juga penting bagi ekosistem alam karena berguna dalam menyebarkan bibit tanaman di hutan dan menjaga populasi serangga.
Jatuh hati
Selain kuliah di jurusan biologi, mereka tergerak hatinya untuk mencintai alam dan lingkungan dengan aksi nyata. Dalam obrolan dengan Kompas Muda, Apri, Solikhin, dan Dis Setia menceritakan bagaimana awal mula jatuh hati pada keanekaragaman hayati.
”Ketika masih SD kalau jalan kaki, hawanya masih sejuk, saya sering ketemu monyet, rusa, terus mengejar burung-burung. Sayangnya, waktu SMA merasa kok enggak seperti dulu lagi. Makanya ketika kuliah memilih biologi, saya enggak mau main-main lagi, harus terlibat dalam kegiatan konservasi,” kata Solikhin menceritakan masa kecilnya di lereng Gunung Sumbing di Kajoran, Magelang, Jawa Tengah.
Begitu juga yang dialami Apri dan Dis Setia hingga akhirnya mereka bertemu di Biolaska (Biologi Pencinta Alam UIN Sunan Kalijaga). Mereka juga terlibat dalam berbagai kegiatan. ”Kami enggak sekadar naik gunung, tetapi juga sambil penelitian, pengamatan kupu-kupu. Semua kegiatan jadi terasa menyenangkan,” ujar Apri.
Sementara, Devia mulai mengenal kukang setelah terlibat dalam divisi di kampus yang bergerak di konservasi primata, seperti kukang dan monyet, pada 2018. Ia jatuh hati pada rupa dan pembawaan kukang.
Tahun 2018, Devia mengikuti sebuah acara diskusi di kampusnya yang menghadirkan Ismail Agung Rusmadipraja sebagai pendiri Kukangku. Dari situlah awal mula perkenalan Devia dengan Kukangku, sebuah gerakan kampanye pelestarian serta perlindungan kukang di Indonesia.
Baca juga : Ajakan Kreatif Menjaga Bumi
Ketertarikan itu jugalah yang membuat Devia memutuskan untuk magang di Kukangku pada tahun ini. Sejak Mei, sebagai analis data, dia mendata dan menganalisis pemberitaan kasus kukang di media selama 2016-2021.
”Semua makhluk hidup ada peran masing-masing di bumi. Kita sebagai manusia kalau enggak mau diganggu ya jangan ganggu satwa liar. Mencintai hewan itu bukan berarti membawa pulang ke rumah, melainkan justru menjaga ’rumah’ mereka,” kata Devia.