Muhamad Rizky Triantoro, mahasiswa Jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, dan empat temannya mengembalikan resep nenek moyang ke era kini dengan membuat gel penyembuh luka dari daun pegagan.
Oleh
Soelastri Soekirno
·5 menit baca
Di zaman serba kembali ke alam, Muhamad Rizky Triantoro, mahasiswa Jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, dan empat temannya mengembalikan resep nenek moyang ke era kini dengan membuat gel penyembuh luka dari daun pegagan. Sebagian besar masyarakat mengenal pegagan (centella asiatica) sebagai tanaman liar yang banyak ditemukan tumbuh di tepi jalan.
Tak hanya puas membuat obat penyembuh luka, lewat riset, kelima mahasiswa itu menambah fungsi pegagan sebagai obat jerawat, memulihkan kulit yang mengalami strechmark (luka akibat peregangan jaringan pada kulit) serta menjadi moisturizer untuk melembutkan kulit. Produk itu mereka namakan La Cica Gel Wound Healing and Moustirizer.
Rizky yang dihubungi lewat telepon pada Kamis (19/8/2021) menceritakan, sebenarnya inovasi itu dibuat untuk mengikuti kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan yang diadakan Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2021. Gel dari pegagan lolos seleksi, lalu mendapat pendanaan. Dari dana itulah ia dan tim mewujudkannya dalam bentuk gel penyembuh luka dan strechmark tersebut.
”Setelah belajar mengenai daun pegagan, berdiskusi dan mendapat masukan dari dosen pembimbing lalu survei ke pasar, kami berniat untuk lebih serius menggarap inovasi ini,” kata Rizky. Ia yakin masa depan penjualan gel dari pegagan itu akan cerah setelah makin banyak orang mengetahui fungsinya.
Cerita ayah
Pilihan membuat inovasi gel pegagan untuk mengikuti kompetisi kewirausahaan datang dari dosen pembimbing tim maahasiswa itu, Uswatun Khasanah, dosen tetap Jurusan Farmasi UB. Ketika Rizky bersama kawan satu timnya, Iin Alipiani, Atha Fawwazah, Nadela Cintya Nurtyas, dan Ulfa Malihatus Sholihah, yang semua satu jurusan di Universitas Brawijaya bertemu dosen pembimbing, ada saran dari Uswatun agar membuat inovasi dari daun pegagan yang memiliki senyawa aktif bernama asiaticoside.
Senyawa itu berperan dalam pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang memiliki peran penting dalam proses penyembuhan luka dan aktivitas antibakteri terhadap bakteri penyebab jerawat propionibacterium acne dan jamur staphylococcus aureus yang menjadi penyebab infeksi jerawat.
Begitu mendengar saran tersebut, Rizky langsung teringat obrolannya dengan ayahnya, Eko Subiantoro, di rumahnya di Sidoarjo, Jawa Timur, awal 2020. Ketika membahas tema skripsi, Rizky mendapat cerita tentang beberapa bahan alam di sekitarnya yang, menurut ayahnya, bisa menjadi berbagai obat.
”Kata ayah, orang dulu biasa memakai tanaman liar yang tumbuh di sekitar rumah untuk menjadi obat luka dan lainnya. Ayah menyebut salah satunya daun pegagan. Ternyata cerita ayah benar,” ujar Rizky.
Setelah tim sepakat membuat inovasi dari pegagan, awal tahun 2021 semua anggota mulai bergerak untuk membuat penelitian kecil tentang daun pegagan. Walau mudah mendapatkan daun pegagan, tim harus memastikan mendapat daun pegagan yang benar-benar asli dan dalam keadaan baik. Dalam arti, tidak berjamur, misalnya, agar saat diteliti di laboratorium senyawa di dalamnya berfungsi sempurna.
”Jalan tikus”
Demi mendapat bahan baku daun pegagan bermutu baik, Rizky dan tim berburu ke produsen tanaman obat yang memiliki daun pegagan sesuai dengan syarat mereka. Beruntung mereka mendapatkan ekstrak daun yang sudah mendapat surat pengesahan keaslian dan bermutu baik dari Balai Besar Penelitian Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisonal Kementerian Kesehatan di Tawangmangu, Jawa Tengah.
Bahan sudah ditemukan, tetapi langkah tim terkendala oleh kenaikan drastis kasus orang Indonesia terpapar Covid-19 sehingga pimpinan kampus Universitas Brawijaya menutup kampus dan laboratorium tempat mereka meneliti dan membuat analisa bahan. ”Awal Juli 2021 sungguh berat bagi kami. Kami tak bisa menggunakan laboratorium di kampus sehingga harus menyewa laboratorium di luar kampus. Padahal, dana yang kami punya amat terbatas,” kata Rizky. Akhirnya mereka menyewa laboratorium herbal di Batu, Malang, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Malang.
Satu masalah teratasi, datang masalah lain. Pada masa pembatasan oemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, aparat menutup sebagian besar jalan di wilayah Kota Malang dan Batu. Demi bisa memakai laboratorium itu, Rizky, Ulfa, Iin, Atha, dan Nadela harus naik sepeda motor melewati ”jalan tikus” agar bisa sampai ke laboratorium. Pada akhirnya karya yang mereka kerjakan selama sekitar tiga bulan membuahkan hasil, terwujudlah La Cica, gel multifungsi.
Sebelum diedarkan, inovasi yang termasuk produk kosmetik tersebut sudah dicoba ke beberapa mahasiswa Universitas Brawijaya yang memiliki luka bagian luar dan jerawat. Mereka menyatakan luka lebih cepat sembuh. Demikian pula dengan jerawat di wajah, dengan pemakaian lima sampai enam hari, jerawat mengering.
Gel yang mengandung lidah buaya itu sejak awal Agustus 2021 sudah mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Rizky dan kawan-kawan menjual dengan harga mahasiswa Rp 80.000 sebotol, sementara merk lain dengan fungsi hanya penyembuh luka dijual lebih mahal.
Biodata
Mohammad Rizky Triantoro
Lahir: Sidoarjo, September 2001
Status: Mahasiswa Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Organisasi: Koordinator Divisi Publikasi, Desain, dan Dokumentasi Mahasiswa Jurusan Farmasi FK UB (2020)
Ulfa Malihatus Sholiha
Lahir: Bantul, Februari 2001
Prestasi: Juara pertama Pengenalan Dasar Kedokteran dalam Kompetisi Remaja Berbasis Kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2018)