Usia tidak menjadi penghambat bagi seseorang untuk bisa menjadi teladan atau panutan bagi pihak lain.
Oleh
Soelastri Soekirno
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usia tak menjadi penghambat bagi seseorang untuk bisa menjadi teladan atau panutan bagi pihak lain sebab pada dasarnya usia hanya angka. Asal punya kemampuan, mau terus belajar, dan memberi manfaat bagi sesama, setiap orang pada usia berapa pun dapat melakukannya.
Pendapat tersebut disampaikan Verianti Liana, pendiri Magoods, di acara KompasFest Navigate Instagram Live bertema ”Jadi Teladan, Bikin Perubahan”, Kamis (26/8/2021) sore. Acara itu juga menghadirkan Maria Harfanti, Miss Indonesia 2015 yang mendirikan Yayasan Bangun Sekolah, dan dipandu Tommy Prabowo dari Tanoto Foundation.
Keduanya memaparkan pengalaman masing-masing dalam membangun kelayakan diri sehingga bisa mendorong perubahan demi kehidupan manusia dan lingkungan yang lebih baik.
Verianti, mahasiswa Jurusan Agro Teknologi Fakultas Universitas Brawijaya Malang, mengatakan, ia ingin menjadi jembatan antara peternak ulat maggot dan warga penghasil sampah makanan. Keprihatinannya kepada kerusakan lingkungan membuat dirinya memilih bergerak di bidang tersebut.
Menurut Verianti, maggot adalah jenis ulat yang bisa menjadi pakan ternak. Ulat ini berpotensi menjadi bisnis unggulan untuk komoditas ekspor. Sayangnya, pasokan maggot tidak kontinu karena minimnya pakan untuk ulat tersebut.
Ternyata sebenarnya peternak maggot bisa menggunakan sampah organik berupa sampah sisa makanan rumah tangga untuk pakan. ”Indonesia punya sampah organik dari sisa makanan yang banyak banget. Sampah makanan menghasilkan gas metana yang meningkatkan emisi gas rumah kaca sebesar 21 kali lipat dibandingkan gas karbon dioksida ke lingkungan global,” tutur Verianti.
Ia berharap bisa membantu kesinambungan suplai sampah organik dari rumah tangga untuk pakan maggot. Dengan cara itu, lanjut Verianti, kita bisa ikut membantu menyelamatkan dunia karena pemanasan global. Saat ini, ia dan tim sedang menyiapkan aplikasi Magoods.
Perbaikan sekolah
Maria (29) yang tertarik kepada dunia pendidikan sejak tahun 2018 mendirikan Yayasan Bangun Sekolah setelah melihat kesenjangan yang mencolok antara pendidikan di kota dan desa. Suatu ketika ia pergi ke daerah tak jauh dari Jakarta. Ia menemukan di setiap kecamatan selalu ada sekolah rusak, guru tak tahu teknologi, dan kondisi memprihatinkan lainnya. Tak mau muluk-muluk, ia memulai pekerjaan dari wilayah yang dekat Jakarta dulu. Maria sudah merenovasi sekolah yang kurang layak di wilayah Citereup di Bogor serta Pandeglang dan Serang di Banten.
Tak hanya membenahi kondisi fisik sekolah, Maria dan tim juga memberdayakan para guru dan siswanya dengan mengedukasi tentang kesehatan mental, pengembangan karakter, sampai mengajarkan pemakaian komputer kepada mereka. ”Saya ingin warga yang tinggal di perdesaan juga memiliki kepercayaan diri dan bisa menggapai mimpi seperti anak di perkotaan,” kata Maria.
Ia menceriterakan, pada awalnya niat untuk membantu warga di luar Jakarta tersebut sempat terkendala lantaran masyarakat di daerah kurang mempercayai niat orang kota yang ingin membantu. Hal itu terjadi karena biasanya bantuan dari kota hanya sebatas program singkat yang tidak berkesinambungan.
”Sedangkan program kami justru berkelanjutan. Ada pelatihan bagi guru dan siswa di sekolah minimal selama enam bulan agar mereka tak terus tertinggal,” kata Maria.
Tantangan lain yang harus dihadapai adalah persoalan dana untuk merenovasi sekolah rusak serta meningkatkan kapasitas para guru dan siswa. Demi bisa meneruskan niat baik tersebut, ia dan tim harus mencari donatur untuk program jangka panjang Yayasan Bangun Sekolah.
Terus belajar
Apa yang dilakukan Verianti dan Maria tidak selalu mulus hingga tahap seperti sekarang. Baik Verianti maupun Maria harus melewati perjuangan tidak mudah sebelum menemukan ide cemerlang membantu pihak lain dengan melakukan perubahan.
”Dulu aku pernah merasa inferior kemampuan diriku sendiri, tidak pede untuk jadi agen perubahan, melabeli diri sendiri, malas berpikir dan tak punya tujuan hidup, tetapi kemudian aku move on,” tutur Verianti.
Ia bisa berubah karena mau mengubah pola pikirnya dengan memperbaiki kemampuan yang kurang pada dirinya, mau berpikir, dan banyak belajar. ”Jangan berhenti belajar karena itu akan membuatmu berhenti bertumbuh. Dan, terimalah pendapat orang lain,” katanya.
Mengenali diri sendiri, lanjutnya, juga menjadi bagian penting untuk mengembangkan diri. Setelah itu, cari tahulah di banyak hal, misalnya dengan ikut seminar di bidang yang kita minati dan berkumpullah dengan orang satu visi.
”Dulu saya sempat ragu, bingung apakah mau ikut lomba. Ketika mendapat dukungan orangtua, kawan, saya mencoba. Kalau sudah mencoba, setidaknya tahu dan sudah berproses, kemudian lebih tahu potensi diri serta passion,” ujar Vera memberi saran.
Berawal dari mencoba, Vera menang perlombaan dan mendapat pendanaan untuk meneruskan idenya. Ia juga mendapat bea siswa Teladan dari Tanoto Foundation.
Menerima kritik
Kunci Maria bisa maju menjadi agen perubahan, bahkan bisa menjadi teladan bagi banyak banyak orang, tak lepas dari kesediannya menerima kritik sejak ia mengikuti pemilihan Miss Indonesia. ”Saya sadar punya peran membawa nama kebudayaan dan bangsa Indonesia, bukan buat diri sendiri sehingga saya kuat menerima kritik itu,” ucap Maria.
Bahkan, ia menekankan kepada dirinya sendiri bahwa kritik justru membangun dirinya, apalagi ia mendapat dukungan dari orangtuanya. ”Jika punya mental mudah menyerah, mungkin saya tak akan sampai titik ini. I Have to give them,” tuturnya.
Maria menekankan diri untuk membuat perubahan dari hal kecil serta menekuni bidang yang disukai. Perempuan tamatan Program Magister Bisnis dan Manajemen Universitas Indonesia tersebut juga mengingatkan perlunya bersikap tulus, teguh, tekun, dan konsisten.
”Jangan melakukan sesuatu demi terlihat keren. Pasti branding-nya tak akan tahan lama. Kesempatan membantu orang akan selalu terbuka, tetapi lakukan dengan tekun, konsisten, dan tulus,” katanya.