Anak Muda yang Tak Bisa Berpaling ke Lain Medium
Membaca koran membuat Alvin Lazuardie, mahasiswa, menghargai kerja jurnalistik dan akurasi. Meski kadang tetap ada kesalahan, menurut dia, berita koran jauh lebih baik daripada berita ”online”.
Zaman digital terus bergerak. Penggunaan medium digital untuk mencari informasi dan berita makin meluas. Namun, masih banyak anak muda dari generasi Z dan Y yang tetap setia membaca koran cetak. Apa yang membuat mereka setia pada koran cetak?
”Buat saya membaca koran sensasinya tidak ada duanya. Bau kertasnya saja sudah enak. Sensasi seperti itu enggak bisa saya dapatkan dari medium lain,” ujar Alvan Lazuardie (25), mahasiswa Jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Jawa Tengah, Kamis (29/7/2021).
Alvan menceritakan, setiap kali menerima koran dari loper langganan, yang pertama ia lakukan adalah mencium bau kertasnya. ”Buat saya bau kertas koran itu seperti wangi-wangian. Setelah itu baru saya ’hirup’ beritanya di setiap halaman,” ujar Alvan yang bersama kembarannya, Alvin Lazuardie, berlangganan harian Kompas dan kadang membeli majalah.
Ia mengaku sejauh ini tidak bisa pindah ke medium digital, bahkan ke Kompas.id yang merupakan ekstensa harian Kompas. Berbeda dengan kembarannya, Alvin, yang masih mencari berita di portal daring. ”Tapi, hanya untuk pembanding saja. Saya lebih suka baca koran atau majalah karena informasinya lebih dalam,” kata Alvin yang baru lulus dari Fakultas Hukum UMS.
Alvan dan Alvin termasuk pembaca yang memiliki minat luas. Alvan suka membaca tulisan di resensi buku, politik, fotografi, tren mode, hingga surat pembaca dan resep makanan. Ia juga senang memperhatikan tata letak (layout) koran yang ia baca. Sementara Alvin lebih menyukai berita politik, hukum, metropolitan, artikel opini, surat pembaca, sampai iklan. ”Yang tidak saya baca hanya berita olahraga,” kata Alvin.
Mereka tidak hanya membaca, tapi juga mendiskusikan isu-isu yang diangkat oleh Kompas. Jika ada yang tidak sreg di hati mereka, Alvan tidak segan-segan menyampaikan kritik secara terbuka melalui media sosial ataupun Whatsapp pribadi wartawan Kompas yang ia kenal.
”Kadang kesal kalau ada perubahan. Makin kesal ketika saya bertanya, tapi tidak ada yang jawab,” tutur Alvan yang tinggal satu kamar dengan Alvin di Pesantren Mahasiswa Internasional KH MAs Mansyur UMS.
Mereka juga menyimpan koleksi koran Kompas sejak mereka langganan pada 2015. Di kamar asrama mereka, kata Alvin, tumpukan koran lebih dari 1 meter. Sebagian mereka simpan di bawah meja belajar. Sekali-kali mereka membongkar tumpukan itu untuk membaca kembali koran edisi lama.
Kebiasaan membaca media cetak juga masih dipertahankan Amin Rois Hidayatullah (22), mahasiswa Jurusan Filsafat Islam Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sejak 2016 sampai sekarang. ”Di sekitar tempat kos saya masih ada yang menjual koran secara eceran. Sambil keluar cari makan atau belanja buat masak, saya sekalian beli koran,” kata Amin Rois yang biasa dipanggil Roy, Rabu (28/7/2021).
Alumnus Madrasah Aliyah Darul Ulum Pamekasan itu awalnya tidak suka membaca koran atau majalah. Baru pada 2018, saat kuliah di UIN Jakarta, ia merasa pengetahuannya kurang luas dibandingkan dengan teman-teman kuliahnya.
”Saya harus mengatasi ketinggalan itu dengan cara banyak membaca koran dan majalah. Kebetulan kantor Lembaga Pers Mahasiswa Islam UIN Syarif Hidayatullah berlangganan koran. Di perpustakaan kampus juga ada koran,” ujar Roy. Seiring kebiasaan membaca koran, ia mulai gemar menulis di blog pribadi dan lembaga pers kampus.
Roy bukan tak mengenal media digital. Ia mengaku mengakses juga berita dari media daring, tapi lama-lama ia tidak suka. Selain mata lebih cepat capek, ia juga sering terganggu dering telepon atau notifikasi yang masuk ke telepon selulernya. Sementara ketika membaca koran, ia bisa lebih konsentrasi dan menikmati.
Artikel di koran dan majalah lebih detail, membuat saya lebih paham tentang masalah yang ditulis. Kalau media digital beritanya pendek, tidak lengkap.
”Artikel di koran dan majalah lebih detail, membuat saya lebih paham tentang masalah yang ditulis. Kalau media digital beritanya pendek, tidak lengkap,” jelas Roy yang kini menjadi Direktur Lembaga Pers Mahasiswa Islam UIN Syarif Hidayatullah.
Seperti si kembar Alvan-Alvin dan Roy, Maria Oktaviana (19), mahasiswi Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Serpong, Tangerang-Banten, terbiasa membaca media cetak. Ia lebih senang lagi jika membaca koran bersama orangtua atau teman-temannya.
Setelah membaca, ia bisa bertanya kepada teman-temannya, ”Eh lu udah baca artikel ini belum? Bagus, tuh. Jadi akhirnya kami baca macam-macam artikel,” kata gadis yang biasa disapa Viana itu.
Menurut Viana, kebersamaan yang tercipta saat membaca koran bersama ayah, ibu, dan teman-temannya selalu ia rindukan. ”Itu pengalaman yang tidak saya dapat ketika baca media digital,” ujarnya.
Meski begitu, ia tetap mengikuti dan mengakses berita-berita di media digital. ”Mencari koran atau majalah cetak selama pandemi sulit, jadi dosen aku di kampus mengarahkan mahasiswa untuk membaca artikel dari media digital.”
Kebiasaan keluarga
Viana menceritakan, kebiasaan membaca koran terbentuk sejak kecil lantaran ayah ibunya senang baca koran. Seiring dengan itu, ia mencoba-coba untuk menulis. Salah satu tulisannya, dalam bentuk puisi, yang dibuat Viana saat kelas I SD, dimuat di halaman Kompas Anak.
”Sampai sekarang tulisan itu aku simpan dan pajang untuk kenang-kenangan. Senang sekali rasanya. Sejak itu aku selalu membaca tulisan di Kompas Anak,” kata Viana.
Pada 2018, ia juga berhasil lolos sebagai peserta program magang di Kompas Muda. ”Ketika magang itu aku betul-betul merasakan nikmatnya baca koran cetak karena ada rasa kebersamaan. Satu koran, kan, terdiri atas beberapa lembar halaman. Aku dan kawan-kawan lalu membaca bersama, tapi di halaman yang berbeda,” tutur Viana.
Si kembar Alvan-Alvin juga mengaku kebiasaan membaca koran terbentuk karena sejak kecil melihat ayahnya membaca koran. ”Awalnya saya senang melihat teks judul koran Kompas yang gede-gede. Tapi, waktu itu belum ngerti baca koran,” ujar Alvan.
Ia baru mulai menyimak koran ketika guru Bahasa Indonesia-nya di SMA memberi tugas mengamati apakah berita dan iklan di koran bahasanya sudah baku. ”Saya teliti berita dan iklan Klasika Kompas, ternyata memang baku,” cerita Alvan.
Ia baru benar-benar serius membaca koran pada 2015 saat kuliah tahun pertama lantaran ia ikut mata kuliah Penulisan Feature. ”Saya disuruh mempelajari feature di koran mana saja. Saya pilih Kompas karena saya lihat bagus-bagus dan punya impak langsung ke masyarakat,” kata Alvan yang mengaku sejak saat itu ia merasa tidak bisa lepas dari kebiasaan membaca koran.
Sementara itu, Alvin awalnya senang memperhatikan infografis dan hasil survei Litbang Kompas yang biasanya keluar setiap hari Senin. ”Saya juga senang baca tulisan Om Osdar soal sisi lain Istana. Saya bahkan beli bukunya,” kata Alvin.
Setelah menjalani kuliah, ia makin merasa pentingnya membaca koran. ”Saya mesti mengikuti isu-isu politik dan hukum untuk kepentingan kuliah juga,” ujar Alvin yang bercita-cita menjadi wartawan.
Ia merasa membaca koran itu manfaatnya besar sekali. Berkat berita koran, ia menjadi lebih mudah mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Ia menyebut beberapa peristiwa politik di Tanah Air dan hafal pada edisi tanggal berapa saja peristiwa itu diberitakan Kompas dan sudut pandang apa yang digunakan Kompas.
”Membaca koran membuat saya menghargai kerja jurnalistik dan akurasi. Meski kadang ada kesalahan, koran jauh lebih baik daripada berita online. Apa yang disajikan memang beda dengan berita online,” katanya.
Alvan menambahkan, ia merasa mendapat banyak pengetahuan dari koran. Apalagi yang ditulis koran tidak hanya peristiwa, tapi juga tulisan-tulisan tentang gaya hidup, hobi, dan pernak-pernik keseharian. ”Saya juga jadi tahu sisi-sisi kemanusiaan dari berita yang saya baca dan dampak dari berita,” ujarnya.
Ia mengaku cocok dengan pendekatan Kompas yang selalu mencari hal-hal positif dari sebuah peristiwa. Ia juga mengapresiasi cara Kompas dalam mengkritik. ”Saya ingat wartawan Kompas, Haryadi Saptono, di Kompas TV atau Youtube..., maaf saya lupa, pernah bilang, ’kalau mengkritik jangan sampai membunuh karakter orang yang dikritik. Jangan membabi buta. Saya ingat banget kalimat itu,” katanya.
Alvan juga senang dengan edisi-edisi khusus Kompas yang unik. ”Yang paling saya inget edisi khusus Sumpah Pemuda 2017. Layout-nya yang bikin desainer muda, keren banget,” ujar Alvan.
Ia masih mengoleksi edisi kolaborasi Kompas dan puluhan desainer muda yang bukan karyawan Kompas. Edisi itu menginspirasi Alvan untuk iseng-iseng mendesain ”layout Kompas” dan mengunggahnya di Facebook.